Petani kopi |FOTO : arsip koranbuleleng.com|
Kontributor : Wayan Artika
Perkebunan kopi di Kabupaten Buleleng dikembangkan di subak-subak abian di daerah ketinggian pegunungan di Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng berbatasan dengan Kecamatan Pupuan, kabupaten Tabanan.
Di wilayah ini perkebunan atau sektor pertanian sejak sebelum kolonial hingga penjajahan Belanda, Jepang, dan memasuki periode awal kemerdekaan, telah menjadi pusat ekonomi di Pulau Bali. Sektor ini mnyerap banyak tenaga kerja. Tenaga kerja berdatangan dari Bali Dataran di wilayah tengah (Gianyar) dan Timur (Karangasem dan Klungkung), mengadu nasib di perkebunan kopi.
Struktur tenaga kerja perkebunan berubah ketika Gunung Agung meletus (1963). Persaingan semakin ketat, jumlah tenaga kerja meningkat karena pengungsi menyasar dua daerah kecamatan ini: Busungbiu (khususnya desa-desa perkebunan yang berbatasan dengan Tabanan dan Jembrana) dan Pupuan.
Masuknya tenaga kerja dari Gianyar, Klungkung dan beberapa kecamatan di Karangasem yang berdekatan dengan Klungkung, didukung oleh tumbuhnya terminal bus di Dapdap Putih (sebuah desa penghasil kopi di Kecamatan Busungbiu) ke Kota Klungkung. Bus “Manis” kayu milik warga Tionghoa yang tinggal di Dusun Pompatan (Desa Batungsel, Tabanan) melayani trayek ini, selama mendekati seabad. Bus ini berangkat pada pukul 03.30 dari gudangnya, menuju terminal Dapdap Putih. Yang mana, ketika itu, keberangkatannnya menjadi penanda waktu bagi warga desa di Batungsel, Pujungan, Pupuan, Sai, dan desa-desa lain yang dilewati.
Bus membangunkan warga desa dan adalah pertanda hari pagi. Pada pukul 06.00 pagi, anak-anak SD menggunakan saat bus ini berangkat menuju Klungkung, waktu ke sekolah. Pada pukul 14.00 lewat sedikit, bus Manis kembali ke terminal awal dan kira-kira pukul 15.30 sudah masuk gudang.
Kejayaan ekonomi perkebunan kopi berakhir ketika pariwisata berkembang di desa-desa pantai dan satu perkecualian di desa agrararis, Ubud, sebagai kelanjutan rintisan industri pariwisata kolonial yang pusatnya di Kota Denpasar. Tenaga kerja perkebunan yang berasal dari desa-desa tersebut kembali dan menjadi faktor penyebab berhentinya operasi bus Manis.
Bahkan, gelimang atau gemerincing dolar juga menarik minat tenaga pertanian setempat (Busungbiu dan Pupuan) untuk mengadu nasib di sektor baru yang sangat menjanjikan itu. Inilah menjadi cikal-bakal terjadinya krisis tenaga kerja di perkebunan kopi.
Sebelum arus balik migrasi tenaga akerja, perkebunan kopi Busungbiu dan Pupuan, yang mengandalkan varietas kopi jawa (kopi yang tumbuh besar, tinggi, berumur panjang) memberi hasil panen yang melimpah; ekonomi perkebunan kopi memberi jaminan hidup sejahtera bagi para petani. Orang-orang kaya merajai desa-desa di kedua kecamatan itu.
Kopi sebagai komuditas dengan sejarah panjang, sejak Belanda, tidak luput dari goncangan atau pergolakan di kalangan petani ketika masuknya komditas baru yang dianggap lebih menjanjikan. Ketika vanili memasuki wilayah ini (1980-an) kopi harus mengalah. Demikian pun ketika periode cengkeh. Namun kedua komiditas ini tidak bertahan lama. Kejayaan emas hijau (julukan untuk vanili karena saking mahlanya) berakhir ketika hama busuk batang menyerang. Cengkeh tumbuh dengan baik tetapi harganya sangat murah. Lantas petani kembali ke kopi.
Sejak dekade 1980-an, ketika kebun kopi Busungbiu dan Pupuan dilanda krisis tenaga kerja karena industri pariwisata menyedot angkatan-angkatan tenaga kerja baru, hingga kini kedua kecamatan yang berada di ketinggian mendekati 1000 MDPL, ajeg dengan komoditi pertanian kopi.
Kerja edukasi para penyuluh/PPL menemani para petani secara perlahan mampu memasukkan ideologi atau prinsip-prinsip produktivitas atau keserakahan kapitalisme pertanian lewat revolusi hijau atas nama pembangunan sektor pertanian dan perkebunan. Ternyata revolusi hijau tidak hanya identik dengan pertanian tanah basah dengan varietas padi PB atau IR. Revolusi hijau pun terjadi di perkebunan kopi, seperti yang dialami Busungbiu dan Pupuan.
Petani terobsesi melipatgandakan hasil dan menyiasati alam dengan teknologi pertanian. Di sinilah prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan varietas kopi jawa dengan dadpdap oong (pohon dapdap besar yang tinggi dan berduri, sebagai perindang), terancam dengan varietas kopi baru. Citra kopi jawa jatuh. Para petani membabat dan menggantikan dengan tanaman baru yang nanti akan direkayasa dengan teknologi “sambung”. Kebutuhan lahan meningkat dan cara ini diatasi dengan mempersempit jarak tanam dan mengganti pohon inang dengan gamal karena dapdap oong membutuhkan lahan yang luas.
Perkebunan kopi jawa yang rimbun, menjadi habitat aneka burung, landak, lubak, lebah, belakang hutan, berganti dengan tanaman-tanaman kopi setinggi 1 M. Petani mengatur ketinggian pohon dan dianggap salah satu keunggulan varietas kopi baru (kopi top) karena rendah dan mudah di kala panen, tidak seperti kopi jawa yang tinggi. Berbagai mata sambung dikenalkan dan dicoba, seperti tugu sari.
Pada puncaknya, kopi top varietas baru, seperti tugu sari memberi hasil berton-ton, tentu menjadi bukti yang amat melegakan petani jika pilihan melakukan revolusi hijau tidak sia-sia. Namun mereka tidak menyadarai jika pola ini berbiaya mahal dan sejatinya menjadi ancaman prinsip pertanian berkelanjutan, seperti kopi jawa. Umur kopi top tidak lama. Paling banter sepuluh tahun. Setelah itu mati. Petani kembali mengganti dengan tanaman baru. Ribuan bibit harus dibeli, seperti stek res misalnya yang harga per pohon Rp 3000-5000. Selama menunggu pakok siap disambung, membutuhkan waktu dua tahun dan masih harus menunggu tiga tahun lagi untuk menghasilkan. Maka ada jeda 6 tahun tanpa hasil. Maka pada tahun ketujuh puncak panen kopi mulai dinikmati. Namun hanya berlangsung paling banyak empat atau lima kali. Setelah itu, petani kembali menanam bibit baru.
Berbeda dengan kopi jawa. Sekali tanam cukup. Selanjutnya hanya memelihara dengan telaten. Sistem peremajaan dilakukan dengan cara memotong tunas atau ranting yang tidak berguna. Beberapa pohon yang terlalu tua harus diganti dengan tanaman baru yang tidak harus dibeli karena setiap petani bisa menyediakan bibit secara mandiri dengan memilih biji-biji kopi jawa yang unggul. Kopi jawa juga memberi hasil tambahan yakni kayu api yang melimpah. Di bawahnya ruang tersedia memadai untuk menanam keladi atau menanam rumput untuk pakan ternak.
Kopi jawa sesungguhnya lebih memberi jaminan stabilitas ekonomi ketimbang kopi top yang menyusup ke kehidupan petani melalui revolusi hijau. Tulisan ini bermaksud untuk mengajak para petani dan PPL untuk melihat kembali pilihan-pilihan teknologi pertanian kopi sebagaimana dilakukan melalui revolusi hijau. Di dalamnya kesetiaan dan kepatuhan para petani dimanfaatkan dan dipertaruhkan! Kepatuhan dan kesetiaan yang dibayar amat mahal. (*)