Re-use botol Kecap Meliwis, Buleleng |FOTO : Luh Sinta Yani|
Singaraja, koranbuleleng.com| Kecap bisa jadi adalah satu bukti kosmopolitanisme Buleleng, wilayah pesisir yang membentang di Bali Utara, seperti ditulis oleh Ian Caldwell dalam satu artikel yang berjudul “Anak Agung Panji Tisna, Balinese Raja and Indonesian Novelist, 1908–78”. Berbagai etnis tinggal di daerah ini dan mereka pula berinteraksi dalam perkara cita rasa (lidah). Tidak hanya menyantap masakan dengan cita rasa lokal tetapi juga mencicipi cita rasa asing.
Kisah kecap memang panjang. Menurut buku History of Soy Sauce yang ditulis oleh William Shurtleff dan Akiko Aoyagi, sejarah kecap bisa ditarik jauh semenjak abad ke-3 di semenanjung Tiongkok. Kemudian kecap tersebar ke seluruh dataran Asia. Jepang tercatat menjadi salah satu negara produsen kecap terbesar. Kecap mulai masuk Nusantara pada 1737. Saat itu serikat dagang Hindia Belanda membawa kecap ke Batavia, untuk kemudian dikemas dan dikirim ke Amsterdam.
Kosmopolitanisme itulah kiranya dapat digunakan untuk menyimak sebuah “legenda rasa” dengan produk yang sudah tentu legendaris, Kecap cap Meliwis yang diproduksi oleh perusahaan Sumber Rasa di Desa Temukus, Kecamatan Banjar. Pabrik kecap ini berdiri sejak tahun 1939.
Predikat “legenda” patut disandang oleh merek ini. Bayangkan saja, di tengah gempuran kecap yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik besar di Jawa, kecap Meliwis yang terdiri dari dua varian rasa, manis dan asin, dengan tetap mempertahankan kemasan botol kaca, sejak awal, pabrik ini tetap berdiri kokoh.
Husin Sudarta, adalah pengelola Perusahaan Sumber Rasa yang boleh bangga karena tidak menyumbang pencemaran lingkungan tanpa penggunaan kemasan botol plastik. Kedua varian kecap yang dihasilkan oleh pabrik yang mempekerjakan pada umumnya ibu-ibu dan sedikit laki-laki dari desa tempatnya berdiri, dikemas dengan menggunakan botol kaca (kemasan besar dan kecil) yang mana pastinya menggunakan kembali botol-botol yang sebelumnya.
Husin mengelola botol kemasan dengan sistem re-use dari botol kecap sebelumnya, yang menjadi kunci tiadanya limbah dari produksi ini. Konsumen akan mengembalikan kembali botol kecap tersebut. Perusahaan kemudian mencuci botol sampai bersih lalu memanaskannya di oven sehingga botol tersebut steril kembali dan dapat digunakan.
“Sistemnya itu tukar pakai. Perusahaan hanya menyediakan isinya saja. Jadi ada botol kita tukar dengan yang isi.” kata Husin.
Para pelanggan setianya akan mengembalikan lagi botol-botol kecap yang kosong. Agen atau sales pemasaran yang berkeliling ke seluruh Bali dan ke desa-desa di kecamatan, membawa kembali semua botol yang sudah kosong itu ke pabrik.
Jadi, perusahan kecap ini sungguh nyata mempraktikkan “Bali Tanpa Plastik” justru jauh sebelum kampanye menolak atau mengurangi pemakaian plastik dikampanyekan di Bali. Tidak hanya itu, tahun 2017 Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Denpasar telah memeriksa kandungan pengawet pada kecap Meliwis. Hasilnya, kandungan pengawet kecap tersebut tidak melebihi batas. Jadi sangat aman.
Salah satu ciri industri makanan adalah mengelola kemasan sehingga konsumen bisa membeli dan terkesan murah. Perusahaan kecap besar juga demikian. Ada berbagai ukuran dan bentuk kemasan kecap. Karena itu, konsumen membeli produk ini di samping karena promosinya di berbagai media dengan sangat gencar. Dikaitkan dengan kemasan kecap Meliwis yang tetap menggunakan botol kaca dan inipun hanya dengan dua ukuran, tentu tidak menjangkau konsumen yang luas dengan kebutuhan kecap “sedikit”. Jika membeli satu kemasan botol kecil saja, untuk dikonsumsi di sebuah keluarga, tentu tidak segera habis dan pasti akan rusak jika disimpan terlalu lama.
Limbah yang dihasilkan dari Perusahaan Kecap Meliwis ini hampir tidak ada. Botol yang dipakai pengemasan bisa digunakan kembali. Botol yang tidak sengaja pecah, akan diambil oleh pemulung. Ampas-ampas kedelai biasanya dibawa oleh karyawan untuk pakan ternak mereka.
Lantas, mengapa Meliwis tetap jaya? Namun sebelum sampai pada jawaban pertanyaan ini, perlu kiranya menyimak nasib perusahan kecap yang sedikit lebih besar dari skala rumahan, seperti paparan dalam tulisan “Jejak Kecap Tradisional Membelah Nusantara”. Walaupun kecap tradisional seperti halnya kecap Meliwis, mempunyai penggemar fanatik, namun masih harus berjuang menghadapi pabrik kecap yang besar dan menggurita. Pabrik kecap tradisional tentu juga kalah dalam promosi di TV. Satu-satunya iklan yang pernah dimiliki oleh Perusahaan Sumber Rasa untuk produk kecapnya ini misalnya, adalah sebuah iklan yang disiarkan di RRI Singaraja.
Pertanyaan tersebut ditemukan jawaban pada siapa yang menjadi ujung tombak pasarnya. Untuk itu, silakan kunjungi warung-warung makan di seluruh Bali, apalagi di Buleleng dan Jembrana. Di warung-warung ini selalu menyediakan kecap cap Meliwis. Para pelanggan warung ini selalu menyantap masakan yang mereka beli lengkap dengan tetesan kecap Meliwis. Sangat jarang warung-warung makan menggunakan kecap yang diproduksi oleh perusahan besar. Para pedagang itulah penjaga dan pembangun legenda rasa sehingga kecap ini tetap dinikmati.
Karena legenda rasa yang berhasil dibangun oleh perusahaan Sumber Rasa itu, banyak yang tertarik untuk mengenal lebih dekat. Sebuah blog milik Fajar menerangkan bahwa kecap Meliwis adalah kekayaan kuliner yang tidak ternilai harganya dan tentu menjadi aset budaya masyarakat yang sudah seharusnya dibanggakan.
Tiga tahun yang lalu Kadek Arianti dan kawan-kawannya mengkaji pabrik kecap Meliwis dari aspek pariwisata. Dalam penelitiannya yang diberi judul “Kajian Potensi Objek Wisata Budaya di Kawasan Wisata Lovina” tim peneliti tersebut secara jelas menyatakan bahwa pabrik ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata budaya yang sudah tentu akan memerkaya “menu” pariwisata di Buleleng.
Namun demikian, ide menjadikan pabrik ini sebagai objek wisata budaya tampaknya belum terlaksana. Para pengusaha pariwisata dan pemerintah Kabupaten Buleleng masih memaknai pariwisata budaya sebatas atraksi kesenian, seperti Sampi Gerumbungan atau pertunjukan seni.
Salah satu hasil karya kuliner bangsa Indonesia adalah kecap manis. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kecap manis merupakan karya leluhur Nusantara. Di belahan dunia mana tidak dapat menemukan kecap atau saus kedelai dengan rasa manis dan kental berkaramel, kecuali di Indonesia. Rata-rata kecap adalah asin gurih, terbuat dari fermentasi kedelai hitam dengan garam dan beberapa jenis rempah tertentu. Bisa menemukannya di Tiongkok, Jepang, Thailand, Vietnam, atau negara tetangga Malaysia. Namun kecap dengan rasa manis yang legit hanya bisa ditemukan di Indonesia.
Kecap manis adalah produk silang budaya terbaik bangsa Indonesia. Sama halnya dengan Tempe, kecap manis merupakan produk kuliner yang tercipta di tanah Nusantara, namun dengan dasar-dasar yang di perkenalkan oleh para pendatang dari Tiongkok.
Dengan demikian, wajar dan sudah pada tempatnya menghargai kehadiran satu item sejarah tua kuliner dunia, yang lahir dan tetap ada hingga saat ini di bumi Buleleng: kecap Meliwis, “legenda rasa” kosmopolitan Bali Utara.
Rasa Meliwis Tak Berubah Walaupun Pengelola Berganti di Generasi Ketiga
Kecap Meliwis adalah produk kecap yang sangat legendaris di kalangan masyarakat Buleleng. Pabriknya di desa Temukus, Kecamatan Banjar, telah berdiri semenjak tahun 1939. Saat ini, perusahaan Kecap Meliwis Sumber Rasa sudah dikelola oleh generasi ketiga dari pemiliknya.
Rasa kecap yang tidak pernah berubah sudah menjadi selera di lidah masyarakat Buleleng walaupun banyak sekali terdapat produk-produk kecap dari perusahaan besar.
Husin Sudarta, generasi ketiga dari pemilik Perusahaan Kecap Meliwis menuturkan bahwa, proses pembuatan kecap Meliwis tidak menggunakan bahan pengawet dan perasa. Proses produksinya hanya memakai kedelai, gula, dan garam. “Kami tetap mempertahankan mutu dari produk tersebut.” ungkap Husin.
Proses produksi kecap Meliwis dari bahan baku menjadi produk jadi menghabiskan waktu sampai 1 bulan dengan mempertahankan pengolahan secara tradisional. Pertama, kedelei direbus selama 2 hari lalu dibawa ke ruang penjamuran kurang lebih selama 1 minggu. Keluar dari proses penjamuran, kedelei melewati proses fermentasi selama 3 minggu. ” Proses pembuatannya sampai 1 bulan. Untuk kadaluarsanya sampai 1 tahun” ujar Husin.
Perusahaan Kecap Meliwis juga masih memperkerjakan masyarakat lokal desa Temukus. Sudah 36 orang yang menjadi karyawan di Perusahaan Kecap Meliwis.
Husin Sudarta, sebagai pewaris untuk melanjutkan produk Kecap Meliwis, Temukus dari generasi sebelumnya, sudah mengikuti kebijakan leluhurnya untuk memperkerjakan warga lokal di Desa Temukus.
Hubungan antara warga dengan pemilik perusahaan sangat erat, tak berbatas apapun. Mereka yang bekerja di pabrik ini lebih banyak warga Bali walaupun Husin adalah warga keturunan. Hubungan erat diantara mereka menandakan rasa toleransi yang tinggi. Desa Temukus dikenal sebagai desa dengan penghuni yang majemuk. Disini hidup warga dari berbagai suku, ras dan agama berbeda. Kondisi itu sudah terjadi lama, mereka berbaur dan menjadi kesatuan dalam kehidupan desa yang aman dan tenteram.
Pedagang-pedagang kecil di Buleleng masih banyak yang menggunakan kecap Meliwis untuk menambah cita rasa olahan pangan. Salah satunya adalah Made Sudami yang menjual olahan ketupat santok di dekat Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha.
Sudami yang sudah berjualan semenjak tahun 2001 mengaku tidak pernah mengganti kecap dengan merk lain. “Saya lebih memilih kecap meliwis karena enak dan rasa sesuai dengan lidah kita. Kalau sudah ada produk lokal, malas mencari produk lain?” ungkap Sudami. (*)
Pewarta : Wayan Artika dan Luh Sinta Yani
Editor : I Putu Nova A. Putra