Penjual bendera di Singaraja selalau mulai ramai menjelang HUT Kemerdekaan RI |FOTO : Arsip koranbuleleng.com|
Singaraja, koranbuleleng.com | Pada setiap tahun awal Juli, kesibukan merayakan hari ulang tahun kemerdekaan RI biasanya mulai terasa. Jalan-jalan raya mulai macet oleh latihan gerak jalan para siswa dan pemuda. Biasanya kota terasa semarak tapi sekarang suasana itu tampak menghilang, karena ada larangan berkerumun untuk penerapan protokol kesehatan dampak dari pandemi COVID-19.
Namun penjual bendera dan umbul-umbul mulai kelihatan. Bendera dan umbul-umbul itu dijajakan di jalan-jalan utama Kota Singaraja dan bahkan hingga ke Desa Rangdu di Kecamatan Seririt. Kehadiran para penjual bendera itu menandai jika hari ulang tahun RI sudah dekat.
Suji, nama salah satu penjual bendera tadi. Dia berasal dari desa Leles, sebuah desa di pinggiran kota Garut, Jawa barat. Jauh dari tanah kelahirannya, dia berani menempuh ribuan kilometer dan menyeberang lautan untuk menjual bendera dan umbul-umbul ke Singaraja.
Dari Garut, ransel besar ala backpacker penuh berisi bendera, siap berangkat menuju Singaraja, Bali, di bawah bayangan pandemi dan PPKM darurat Jawa Bali, bersama Sembilan orang kawannya.
Dia bercerita kepada tim koranbuleleng.com, I Wayan Artika. Kata Dia, tahun ini, seperti biasa , ia berjualan di daerah Ahmad Yani Barat, tepatnya di seputaran Tirta Dewata. Lokasinya disitu saja setia tahun. Walaupun saat ini pandemi, dia tetap menjual bendera, memeriahkan HUT RI.
“Tahun-tahun sebelumnya saya ke sini bersama 18 orang.” katanya di awal percakapan.
Namun, teman-teman lainnya lebih banyak memilih tinggal di rumah tahun ini karena tidak yakin jua akan ada yang membeli bendera. Bahkan, mungkin juga sebagian besar warga negara harus melupakan kemeriahan pesta ulang tahun republik tercinta. Keraguan itu muncul tiada lain disebabkan pandemic COVID-19 ini.
“Sudah tiga hari, belum laku satu pun.” tandasnya. Namun masih harus ia dapat menikmati rokok terakhir di bungkusnya.
Ia pun berkisah perjalanannya meninggalkan Leles dan kawan-kawannya di sana. Di kampungnya, banyak warga memproduksi bendera. Semuanya hanya untuk mengais rezeki ketika negaranya berulang tahun. Hal itu telah ia tahu dan pernah dinikmati bertahun-tahun silam sebelum wabah melanda. Itu menjadi alasan menuju Kota Singaraja, pada setiap tahun.
Pak Suji, penjual bendera dari Leles tidak sendiri. Biasanya dalam perjalanan dia bersaa rombongan Komedi Putar dari Lumajang, namun pasti tahun ini juga tidak hadir di Lapangan Buana Patra, tempat sebulan penuh Pemerintah Kabupaten Buleleng menyelenggarakan hiburan rakyat dan pameran pembangunan. Begitu pula penjual kerak telor dari Jakarta.
“Saya beberapa kali diperiksa selama perjalanan naik bus.” katanya.
Pak Suji selalu mengingatkan kita sedang hidup dalam sebuah Negara, NKRI. Mengingatkan kemerdekaan bangsa ini dari tangan para penjajah. Dia juga masih berjuang mengais rejeki ke pulau seberang, ketika NKRI sudah menginjak 76 tahun.
Suji biasanya sudah berada di Bali di pertengahan Juli. Bersama teman-temannya, dia kadang membagi wilayah. Ada yang berjualan di Singaraja, ada juga berjualan di kota lain. Namun saat ini, rombongannya memang lebih sedikit. Suji sendiri tetap memilih Singaraja sebagai lokasi penjualannya.
Bukan hanya Suji, seorang penjual bendera lain juga membuka lapaknya di sebelah barat gerbang kota SIngaraja, di Desa Pemaron. Namanya, Ginanjar. Dia juga berasal dari Garut, Jawa Barat.
Sama, Ginanjar juga menjual bendera dan umbul-umbl. Kata Dia, sebagian besar penjual bendera yang ada di Singaraja ini sudah saling mengenal, karena berasal dari kota yang sama, Garut. Mereka sering saling berkomunikasi. “Jika bendera saya habis, saya pasti telepon ke teman untuk ambil bendera,” ujarnya.
Namun dia berkata, awal-awal buka biasanya memang masih sepi. Pembeli ramai jika sudah mendekati 17 Agustus. Berbagai ukuran bendera dia jual ke masyarakat. Mulai bendera yang kecil yang di pasang di spion kendaraan sampai bendera besar untuk dinaikkan di tiang bendera.
Ginanjar datang bersama kelompoknya. Dia sjuga udah menghitung jumlah bendera yang harus dibawa ke Bali selama dijual di bulan Agustus. Menurut Ginanjar, pergi ke Bali selama PPKM memang lebih sulit. Dia harus membawa surat vaksinasi agar bisa sampai pintu Bali. “Saya juga sudah jalani rapid tes. Kemarin sehari sebelum berangkat dari kampung cari dulu surat tes cepat antigen. Untung hasilnya non reaktif,” katanya merasa beruntung. (tim)