Hakikat pengendalian pemanfaatan ruang sangat erat kaitannya dengan lingkungan yang dipahami sebagai alam semesta, ekosistem, atau bumi yang lebih sempit tempat tinggalnya dan seluruh atmosfer yang menaungi dan menopang segala kehidupan. Lingkungan sebagai suatu ekosistem tempat makhluk hidup termasuk manusia hidup, yang merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan terus berkembang secara dinamis. Prinsip pendekatan preventif dalam pengelolaan lingkungan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi terkait kebijakan lingkungan menuju pembangunan berkelanjutan.
Untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, perlindungan lingkungan harus dianggap sebagai bagian yang terintegrasi dari proses pembangunan dan tidak dapat dianggap sendiri-sendiri. Kebutuhan luar ruang, khususnya pariwisata (tempat rekreasi dan rekreasi) dan permintaan ruang terbuka hijau di perkotaan, tentu meningkat pesat karena manfaat yang diberikannya (Zhang, 2014); (Romolini, M., Ryan, R. L., Simso, E. R., & Strauss, 2019); (Septilia, 2018)), keberadaan ruang terbuka publik sebagai kawasan wisata tidak hanya sebagai sarana rekreasi tetapi juga membantu perekonomian daerah. Sebagai destinasi wisata, ruang terbuka publik harus didukung oleh unsur aksesibilitas, unsur fisik, fasilitas yang baik dan berbagai aktivitas.
Dari segi hak asasi manusia, pengakuan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap orang memberi kesempatan kepada pemerintah untuk mengontrol agar semua orang mempunyai kesempatan yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Perangkat hukum administrasi memiliki peran yang sangat efektif untuk diterapkan oleh pemerintah untuk melindungi lingkungan hidup dari kerusakan dan/atau pencemaran sehingga dapat memberikan hak kepada setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hal ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang diimplementasikan dalam penguasaan dan pemanfaatan lingkungan hidup. Pada dasarnya penguasaan dan pemanfaatan lingkungan hidup berlandaskan akhlak karena pada dasarnya segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah ciptaan Tuhan. Penyelenggaraan perlindungan lingkungan hidup dan fungsinya dimaknai secara rasional dan bijaksana atas dasar kemanusiaan dengan jiwa nasionalisme yang tinggi guna mewujudkan lingkungan hidup Indonesia yang berkelanjutan. Semangat gotong royong atas dasar kekeluargaan dilandasi kesadaran akan pentingnya lingkungan yang sehat bagi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pengelolaan sumber daya alam di muka bumi didasarkan pada perilaku yang benar dengan tidak merusak sistem hukum alam dengan menghentikan eksploitasi alam secara brutal demi kenikmatan sesaat. Hal ini dapat terwujud jika dilandasi dengan pikiran yang jernih melalui tindakan nyata dalam pengelolaan sumber daya alam. Ada paradigma antroposentrisme yang melihat manusia sebagai pusat dari segala sesuatu dan sebaliknya, alam semesta dianggap tidak memiliki nilai intrinsik dalam dirinya selain nilai instrumen ekonomi untuk kepentingan ekonomi manusia.
Perilaku antroposentrisme ini melahirkan perilaku eksploitatif berlebihan yang merusak alam sebagai komoditas ekonomi dan sarana pemuas kepentingan manusia. Oleh karena itu, dalam pengelolaan lingkungan sedapat mungkin paradigma radikal harus diubah dari antroposentrisme menjadi biosentrisme atau bahkan ekosentrisme. Dalam konteks ini, melihat alam sama pentingnya karena ada kehidupan di dalamnya. Kehidupan ini bukan hanya kehidupan manusia tetapi juga kehidupan makhluk hidup pada umumnya yang harus dihormati dan dilestarikan, (Sudira, 2019).
Oleh karena itu pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan terencana melalui penataan ruang sangat penting agar penguasaan dan pemanfaatan ruang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Jika dianalisis dengan teori Jeremy Betham “the greatest happiness for the greatest number of people”, dalam konteks ini masyarakat memiliki kesempatan yang sama, termasuk dalam memanfaatkan tanahnya yang berada dalam kawasan lindung (local protection) agar memiliki nilai ekonomi untuk memenuhi kesejahteraan mereka. Asas keadilan (Rawls, 2019) terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang, bahwa penataan ruang harus selalu menjunjung tinggi rasa keadilan agar ruang wilayah yang tersedia dapat dimanfaatkan secara adil untuk memenuhi kepentingan pemerintah dan masyarakat.
Terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang berdasarkan kearifan lokal yang pada hakikatnya memiliki pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan untuk memelihara, meningkatkan, mengembangkan unsur-unsur kebutuhan dengan memperhatikan lingkungan dan sumber daya manusia yang terdapat pada penduduk setempat. Masyarakat tradisional Indonesia telah lama mengenal konsep penataan ruang dalam melaksanakan pembangunan yang erat kaitannya dengan pengetahuan, pemahaman dan adat istiadat tentang manusia, alam dan hubungan antar seluruh penghuni komunitas ekologi yang harus dibangun.
Tentang Penulis
Ni Ketut Sari Adnyani, S.Pd.,M.Hum. Dosen Prodi Ilmu Hukum, Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan. Fakultas Hukum Dan Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha