Singaraja, koranbuleleng.com | Desa Beratan Samayaji merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Buleleng yang masih eksis sampai saat ini mempertahankan warisan budaya leluhurnya yaitu budaya tenun kain songket dan kerajinan perak dan emas.
Sejarah perajin yang ada di Desa Beratan tidak akan pernah lepas dari konsep agaluh agandrig yaitu pada saat berdirinya Desa Beratan di abad ke-14. Agaluh adalah sosok perempuan dalam keluarga yang berprofesi sebagai perajin kain tenun songket, dan Agandring artinya sosok laki-laki atau kepala keluarga yang berprofesi sebagai perajin emas dan perak.
Kendati demikian para perajin di Desa Beratan Samayaji telah turun temurun mewarisi budaya tenun songket dan perak tersebut. Adapun yang membedakan kerajinan di desa ini dengan daerah lainnya yaitu dari segi motif yang digunakan.
Motif yang digunakan pada kerajinan songket dan perak terutama bokor slaka di Desa Beratan ialah sama yaitu motif seet mingmang yang telah diwariskan turun temurun oleh leluhur masyarakat Desa Beratan.
Motif ini mempunyai filosofi yang sangat bertuah, yaitu sebuah lilitan yang tidak ada ujung pangkalnya yang mampu memberikan potensi energi postitif terhadap isi rumah dan lingkungannya sehingga itu dijadikan sebagai sebuah konsep lama untuk menjaga diri terutama ditempat memproduksi kerajinan.
Akan tetapi didalam kerajinan songket motifnya lebih bervariasi yaitu terdapat motif lama dan motif baru. Motif lama merupakan motif yang sudah diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Motif lama terdiri dari empat yaitu seet mingmang, tambalan, patra sari dan patra punggel. Sedangkan motif baru meliputi motif senan cekuh, motif bulan, motif kedis, tapuk manggis dan motif merak.
Menurut penuturan dari salah satu artisan (desainer) yang menggambar motif baru kerajinan songket Desa Beratan, Kadek Resmini bahwa motif baru tersebut terinspirasi karena adanya permintaan dari pelanggan, namun tidak meninggalkan ciri khas dari motif yang sudah ada sejak dahulu.
Ia sangat cekatan dalam menggunakan alat tenun sampai dengan menghitung jumlah bedumas yang ada dikerajinan songket. Bedumas merupakan suatu benang yang nantinya akan menjadi motif yang muncul di permukaan kain.
“Saya mendesain ulang permintaan dari pelanggan dengan cara memodifikasi kembali serta menciptakan keinginan pelanggan tetapi masih berpatokan pada motif lama yang sudah ada” ujarnya.
Tokoh desa setempat, I Made Ngurah Wedana menyebutkan kalau kain songket biasannya digunakan pada saat pelaksanaan yadnya terutama pada saat manusia yadnya dan dewa yadnya. Para perajin kain songket di Desa Beratan masih menggunakan cara tradisional untuk memproduksi kain songket. Selain untuk mempertahankan pakem yang sudah ada, hal tersebut juga dilakukan untuk mempertahankan kualitas dari kain songket di Desa Beratan.
Adapun harga jual dari kerajinan kain songket buatan Desa Beratan terbilang tinggi sampai jutaan rupiah. Kisarannya bisa sampai Rp3.000.000-Rp4.000.000 atau bahkan bisa lebih tergantung tingkat kerumitannya.
Sedangkan untuk proses pembuatannya itu bervariasi tergantung kerumitan motifnya serta ukurannya. Misalnya saja untuk pembuatan kamen bisa sampai 1 bulan pengerjaan. Begitu pula dengan udeng dan senteng itu mempunyai waktu pengerjaan yang bervariasi.
“Prosesnya cukup lama, mulai dari nyelup atau mewarnai, nganyinin, ngeliying, nuduk atau mendesain, gulung dipandanan dan yang terakhir baru melakukan proses penenunan dengan alat tenun cagcag” Jelasnya.
Selain eksis karena masih digunakan sebagai sarana untuk yadnya, I Made Ngurah Wedana juga membuat terobosan baru untuk mengembangkan kerajinan songket bahkan sampai ke manca negara. Ia merealisasikan hal tersebut dengan membuat figura atau lukisan yang ditempeli dengan beberapa kain songket, sehingga menghasilkan karya seni yang artistik.
Sedangkan untuk perajin perak dan emas sampai saat ini jumlahnya sudah semakin berkurang. Kebanyakan dari mereka sudah beralih profesi mencari pekerjaan lain yang lebih menjamin. Namun masih ada beberapa yang menekuni pekerjaan sebagai perajin perak khususnya bokor. Salah satunya ialah Jero Putu Sudana.
Saat ini ia sudah berumur 65 tahun. Terbilang umur yang sudah cukup tua untuk menggeluti perkerjaan sebagai perajin bokor. Kendati demikian saat ditemui dirumahnya ia masih terlihat energik dan cekatan dalam mengayunkan palu pada pahat kecilnya untuk mengukir ukiran-ukiran kecil didalam bokor yang ia buat.
Bokor buatan Desa Beratan umumnya disebut dengan bokor slaka (perak). Slaka kalau diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia berarti perak. Jadi penyebutan tersebut merupakan representasi dari bahan dasar yang digunakan yaitu perak. Namun karena harga bahan dasar perak lumayan mahal maka para perajin bokor biasanya menggunakan kuningan juga sebagai bahan dasar yang kemudian akan disepuh menggunakan cairan perak. Sepuh sendiri terbuat dari campuran air keras, potasium dan logam mulia berupa perak.
Ia menceritakan bahwa dirinya telah belajar membuat bokor sejak masih duduk di bangku SMA, namun pernah berhenti sejenak karena menunaikan pekerjaan sebagai PNS di Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng (Disdikpora).
“Setelah saya tamat SMA, saya langsung diterima kerja di Disdikpora Kabupaten Buleleng, sehingga pekerjaan sebagai perajin hanya saya jadikan sebagai sampingan. Namun setelah pensiun, saya akhirnya menggeluti pekerjaan ini secara penuh” Jelasnya.
Sementara itu dalam membuat kerajinan bokor slaka ia masih menggunakan cara-cara yang masih tradisional dalam proses pembuatannya. Bahkan ia masih menggunakan mesin pemanas yang masih digerakan secara manual dengan cara dipompa untuk mencairkan bahan dasar logam yang dipakai.
Adapun harga jual dari bokor buatan Desa Beratan bervariasi disesuaikan dengan ukuran dan bahannya. Apabila menggunakan bahan dasar kuningan satu buah bokor dibandrol mulai Rp.300.000-Rp.350.000. Sedangkan bila menggunakan perak sebagai bahan dasarnya itu hargannya relatif lebih mahal tergantung dari besar kecilnya, bahkan bisa tembus harga jutaan. Biasannya dalam membuat sebuah bokor ia bisa menghabiskan waktu selama 5-6 hari pengerjaan. Selain membuat bokor ia juga mahir mengerjakan perabotan lainnya seperti sangku, saab, lepekan, cangkir, serta dulang.
Kemudian terkait dengan pemasaran dari produk kerajinan yang dihasilkan oleh para perajin di Desa Beratan baik itu berupa kerajinan songket maupun kerajinan perak tidak didistribusikan secara langsung ke pasar melainkan menunggu pembeli yang datang untuk memesan.
Disisi lain I Made Ngurah Wedana memiliki kekhawatiran yang besar terkait dengan belum adanya regenerasi perajin di Desa Beratan kedepannya. Hal ini dikarenakan generasi muda khususnya lebih memilih untuk mencari pekerjaan di bidang lain seperti pariwisata ataupun perkantoran.
“Pemerintah sudah pernah melakukan pelatihan di Desa Beratan terutama untuk kerajinan perak dan emas. Sedangkan untuk kerajinan kain songket belum terlaksana” Pungkasnya
Selain itu dirinya juga sudah melakukan upaya lainnya yaitu dengan pendekatan kepada pemerintah SKPD yang memang menangani warisan budaya terutama dinas kebudayaan, kemudian dinas perdagangan dan perindustrian yang selalu intens mensosialisasikan pentingnya pelestarian budaya. (*)
Pewarta : Made Wijaya Kusuma
Editor : I Putu Nova A.Putra