Singaraja, koranbuleleng.com | Desa Adat Suwug di Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali punya struktur organisasi pemerintahan adat yang unik. Lazimnya prajuru adat akan membentuk panitia khusus untuk melaksanakan piodalan di desa adat. Tapi di Desa Suwug, pelaksanaan piodalan diserahkan pada kelompok saye yang disebut Sekaa Petang Dasa alias Kelompok Empat Puluh. Mereka akan bertanggungjawab terhadap pelaksanaan upacara selama setahun penuh.
Keberadaan Sekaa Petang Dasa tidak bisa lepas dari sejarah desa. Alkisah ada 40 orang pengungsi dari wilayah pesisir Kerajaan Menasa. Kerajaan itu diyakini terletak di sisi utara dari lokasi Desa Suwug saat ini. Untuk mengenang keempat puluh orang pendiri Desa Suwug, dibuatlah saye sejumlah empat puluh orang yang diganti setiap tahun.
Tokoh Adat di Desa Pakraman Suwug, I Wayan Nawa menuturkan, sekaa petang dasa dulunya merupakan orang-orang khusus. Tugas itu diemban secara turun temurun. Seiring berjalannya waktu, awig mulai disesuaikan. Tugas tersebut tidak lagi dibebankan secara turun temurun. Namun diemban bergiliran kepada seluruh krama desa.
Pemilihan dilakukan melalui banjar adat. Desa Adat Suwug diketahui terdiri atas empat banjar adat. Yakni Banjar Adat Lebah, Banjar Adat Sabi, Banjar Adat Kajanan, dan Banjar Adat Kelodan. Kelian banjar adat kemudian akan mendata krama-krama yang sudah menikah. Setiap tahun, kegiatan ini dilaksanakan bergilir dari setiap banjar. Ketika banjar satu selesai dilanjutkan ke banjar berikutnya dan seterusnya.
Ilustrasinya, bila tahun ini menjadi giliran Banjar Adat Lebah, maka seluruh krama harus mendapat giliran menjadi sekaa petang dasa. Apabila dalam kurun waktu lima tahun seluruh krama di Banjar Lebah sudah dapat giliran, maka kewajiban akan diserahkan ke Banjar Sabi. Begitu seterusnya.
Setiap tahun, kelian banjar adat akan menyetorkan nama yang dipilih kepada kelian desa adat, yang selanjutnya ditetapkan sebagai sekaa petang dasa melalui prosesi metata linggih.
“Tugas ini wajib untuk semua krama desa adat. Agar semua krama merasakan dan tahu tradisi metata linggih,” ungkap Nawa saat ditemui di rumahnya pada Sabtu 2 Desember 2023.
Tradisi metata linggih, hanya dilakukan setahun sekali. Yakni setiap purnama kaulu. Terakhir tradisi itu dilakukan pada 5 Febuari 2023 silam, dan akan dilakukan kembali pada Januari mendatang.
Tradisi itu diawali dengan penentuan giliran menjadi sekaa petang dasa oleh kelian banjar adat. Setelah ditentukan, maka sekaa petang dasa bersama pasangannya (suami-istri) melaksanakan ritual mekala-kalaan di Pura Desa Adat Suwug.
Setelah upacara mekala-kalaan selesai, sekaa petang dasa menjalani ritual ngutang reged untuk menghilangkan pengaruh negatif. Ritual itu dilakukan di sungai dekat Pura Beji, yang ditandai dengan cara membuang kain putih kuning yang mereka pakai setelah upacara mekala-kalaan.
Selanjutnya sekaa petang dasa melanjutkan ritual mejaya-jaya di Pura Desa Adat Suwug. Dengan tuntasnya ritual tersebut, maka seluruh sekaa petang dasa di Desa Adat Suwug telah membersihkan diri secara lahir batin dan siap ngayah. Sedangkan sekaa petang dasa yang sudah purna tugas, menghaturkan lawar intaran ke Pura Desa Suwug.
“Kalau sudah metata linggih, mereka yang dipilih sebagai sekaa petang dasa punya tanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan upacara keagamaan. Seperti ngayah pada saat piodalan dan mesangkepan di pura desa setiap purnama dan di pura dalem setiap tilem. Metata sendiri diartikan sebagai etika, sementara linggih diartikan kedudukan.” jelas pria yang juga mantan Kelian Desa Adat Suwug itu.
Uniknya mereka yang mendapat tugas sebagai sekaa petang dasa juga wajib mengonsumsi lawar intaran di pura desa setiap rahina purnama. Lawar intaran tidak menggunakan daging dan darah. Bahan utamanya adalah daun intaran. Sedangkan bumbu dan proses pembuatannya sama seperti lawar pada umumnya.
Lawar intaran memiliki penampilan yang sederhana. Nasi ditempatkan di atas selembar daun pisang. Nasi diletakkan di tengah-tengah wadah, yang kemudian dilengkapi dengan sambel serondeng, kacang-kacangan, ikan teri goreng, telur asin, garam, sambal pangi, serta perlengkapan upacara berupa lekesan dan kwangen.
Sensasi rasanya pun unik. Pahitnya daun intaran bercampur dengan rasa manis dari air parutan kelapa. Dalam satu sajian, orang yang menikmatinya dapat merasakan semua elemen rasa, termasuk manis, asam, asin, pahit, hingga sepat.
Menurut Nawa, hidangan itu punya filosofi tersendiri. Nasi yang disajikan dalam bentuk bulat melambangkan kesatuan tekad sekaa petang dasa. Dalam lawar intaran tersebut, sekaa petang dasa akan merasakan rasa pahit, manis, dan asin. Rasa pahit dan asin mencerminkan makna sulitnya perjuangan tokoh masa lalu. Sementara rasa manis bermakna keberhasilan dalam membangun Desa Suwug.
Salah seorang krama yang pernah duduk sebagai sekaa petang dasa di Desa Suwug adalah I Kadek Artiyasa. Menurutnya tatkala sudah duduk di bale agung, sekaa petang dasa wajib mematuhi berbagai aturan yang tertulis maupun tidak tertulis.
Aturan tidak tertulis itu diantaranya sekaa petang dasa tidak boleh turun dari bale agung hingga upacara selesai. Mereka juga akan diberi sajian hidangan. Hidangan tersebut harus dihabiskan. Jika tidak, maka bisa dikenakan sanksi sebagai karena dianggap tidak menghormati tradisi.
“Kita sangat diatur etikanya. Dari perkataan sampai perilaku. Kita harus tetap fokus pada upacara. Kita juga harus menghabiskan nasi lawar intaran itu. Kalau tidak, ada sanksinya,” ungkap Artiyasa. (*)
Kontributor : Ni Putu Satriyani
Editor : I Putu Nova Anita Putra