Singaraja, koranbuleleng.com|Anggota Komisi IV DPRD Buleleng, Ketut Ngurah Arya menyebut tak tercapainya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari retribusi pelayanan kesehatan terjadi karena minimnya jumlah tenaga bidang kesehatan, khususnya dokter. Pemkab Buleleng pun didorong untuk menambah tenaga dokter di seluruh puskesmas.
Ngurah Arya mengatakan, dengan penambahan dokter itu akan lebih memaksimalkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan pelayanan kesehatan yang prima, akan menambah kepercayaan masyarakat untuk berobat ke fasilitas pemerintah. Secara tidak langsung, hal itu disebut akan menambah retribusi dari pelayanan kesehatan.
“Kita akan usulkan, kalau ingin dapat hal yang baik harus ada rancangan. Walaupun 1-2 tahun kita rugi. Kedepan dengan kepercayaan masyarakat berobat, niscaya target terpenuhi,” ujarnya ditemui Senin, 8 Juli 2024.
Kata Ngurah Arya, kedepan Pemkab harus menyisihkan 1 persen PAD untuk menambah minimal dua dokter di setiap puskesmas. Pemkab diminta bisa memberikan tambahan gaji, sehingga formasi yang selama ini kosong akibat tak dokter yang melamar bisa terpenuhi.
“Karena ini untuk masyarakat jangan cari keuntungan komersial dari kesehatan. Mana pentingkan, pendapatan 31 miliar apa penambahan dokter lagi 40 orang. Itu jadi pertanyaan besar. Kurangi 1 persen dari PAD kita sudah selesai,” kata dia.
Ngurah Arya meminta, Dinas Kesehatan agar terus melakukan pelatihan terhadap tenaga kesehatan yang digaji pemerintah. Sehingga, mereka bisa melaksanakan tugas secara profesional dan mampu menjalankan tugas dari pekerjaanya.
”Pelatihan harus dilakukan di tingkat puskesmas. Karena saya masih ragu dengn sekolah-sekolah yang menamatkan tenaga kesehatan yang tidak kita harapkan, banyak kekurangan. Masak seorang bidan perawat tidak bisa memasang infus. Kalau sudah diterima asah kemampuannya, yang jadi PPPK pasti bisa,” ucapnya.
Sementara, Plt Kepala Dinas Kesehatan Buleleng dr. Putu Arya Nugraha mengakui saat ini di rumah sakit daerah, masih kekurangan sejumlah dokter. Seperti di dua rumah sakit Rumah Sakit Giri Emas dan Tangguwisia, masih minim tenaga dokter. Sehingga sering kali, pasien harus dirujuk ke RSUD Buleleng. Hal itu pun disebut membuat pelayan kurang prima karena ada penumpukan pasien.
“Kalau berbasis BPJS rujukannya mencari dokter yang ada dokter tersebut, kalau tidak ada di tipe D cari ke tipe C. kalau ga ada ke tipe B. Jadinya ada pengumpulan ke tipe C dan B. Sehingga pemerataan kurang, berdampak terhadap pendapatan rumah sakit,” ujarnya.
dr. Arya menyebut, untuk memaksimalkan pelayanan di dua rumah sakit tersebut diperlukan sebanyak 10 dokter, untuk spesialis penyakit dalam, penyakit bedah, dan kandungan. Dimana, saat ini di rumah sakit tersebut baru ada satu dokter spesialis yang menangani hal tersebut.
“Misalnya kalau dokternya ijin, jadinya dirujuk. Padahal di sana rumah sakit ada biaya besar untuk operasional namun pendapatan menurun karena kurang dokter,” kata dia.
Selain itu, gaji yang diterima dokter pun disebut belum maksimal. Meski bekerja untuk kemanusiaan, dokter juga disebut perlu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Selain itu, saat ini pendidikan dokter juga memerlukan biaya yang besar.
“Kita akui, oke bicara pengabdian di kemanusiaan. Namun mereka juga perlu hidup, sekolahnya masih (biaya) besar. Pemkab perlu memikirkan penghasilan lebih layak. Mungkin tidak meminta tinggi sekali seperti Kabupaten Badung, namun kabupaten lain situasinya sama dengan kita dan itu berikan yang cukup. Sehingga (dokter) pasti memilih Buleleng,” kata dr. Arya.
dr. Arya menambahkan, tidak tercapainya target realisasi retribusi dari pelayanan disebabkan karena target yang diberikan terlalu tinggi. Dimana saat ini Buleleng sudah menerapkan Universal Health Coverage (UHC), sehingga pasien yang berobat kebanyakan menggunakan BPJS.
“Capaian pendapatan tidak sesuai karena memang diberikan target cukup besar. Kalau infrastruktur memadai dan dokter ahli memadai target itu bisa direalisasikan. Buleleng sudah UHC, kan kebanyakan BPJS itu akan menurunkan penghasilan rumah sakit,” kata dia. (*)