Menggali Isi Gedong Kirtya Lewat SLF, Hadirkan Dee Lestari

Singaraja, koranbuleleng.com| Singaraja Literary Festival (SLF) kembali digelar Yayasan Mahima Institut. Festival ini sebagai gerakan literasi sastra yang berakar dari Gedong Kirtya.

Seperti diketahui, Gedong Kirtya merupakan sebuah museum yang menyimpan banyak karya dari masa lalu, terbesar di wilayah Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara.  Karya-karya yang disimpan di Gedong Kirtya digali dengan cara menghidupkan, mendiskusikan, mementaskan, dan mengalih wahanakan kembali warisan sastra dan intelektualisme masa lalu, kini dan masa depan lewat SLF.

- Advertisement -

Diskusi akan terjadi pada festival ini. Panitia menghadirkan sejumlah narasumber ternama yang telah malang melintang dalam dunia sastra Indonesia maupun internasional, selama tiga hari di Gedong Kirtya Singaraja, Jumat 23 Agustus 2024 – Sabtu 25 Agustus 2024. Menghadirkan sekitar 50 narasumber seperti Dee Lestari, Henry Manampiring, Sugi Lanus, Aan Mansyur, Willy Fahmi, Oka Rusmini, Pranita Dewi, Sally Breen, Sudeep Sen, Mags Webster, Phillip Cornwell Smith, Nerisa del Carmen Guevara, dan tokoh lainnya.

Direktur Singaraja Literary Festival, Kadek Sonia Piscayanti mengatakan, pada SLF tahun ini mengambil tema Dharma Pamaculan. Tema itu diambil dari bahasa lontar yang diartikan ke dalam Bahasa Indonesia “Energi Ibu Bumi”. 

50 lebih pembicara akan mengisi diskusi panel, workshop, 13 pertunjukan seni, tari, teater, musik, 4 kolaborasi nasional dan internasional, serta ratusan seniman dan budayawan nasional dan internasional. 

Sonia menegaskan SLF tahun ini juga menunjukkan khazanah rempah dalam Lontar. Dalam kegiatan tersebut, akan mengundang sekitar 35 penulis untuk turut terlibat dalam proses produksi pengetahuan tentang khazanah rempah.  Isu-isu akan dikupas dengan kearifan lokal dari apa yang tertulis dalam lontar. 

- Advertisement -

SLF juga akan menampilkan sejumlah kesenian seperti musik, teater, dan film yang diadaptasi dari lontar yang ada di Gedong Kirtya. Nantinya, lontar yang ada akan dialih aksarakan sehingga bisa dibaca oleh generasi muda.

“Mengalih wahanakan supaya dapat diakses generasi muda. Dialih aksara, karena banyak orang yang tidak bisa membaca lontar. Kepentingan kita generasi muda mengakses dengan wahana yang berbeda,” kata dia.

Sementara, Founder Singaraja Literary Festival, Made Adnyana Ole mengatakan, selama ini kebanyakan masyarakat menganggap lontar tersebut angker, magis dan tidak bisa diotak-atik. SLF, akan mengajak masyarakat untuk mempelajari pengetahuan-pengetahuan yang terkandung dalam lontar dengan pendekatan masa kini. 

Hal itu, dilalukan dengan mengalih wahanakan, seperti membuat menjadi film, teater, dan musikalisasi puisi serta seni lainnya. “SLF mencoba menawarkan pendekatan baru dalam mempelajari pengetahuan-pengetahuan yang terkandung dalam lontar dengan pendekatan masa kini,” terang Ole.

Singaraja Literary Festival mengambil tema Dharma Pamaculan dengan tafsir Bahasa Indonesia “Energi Ibu Bumi”. Tema ini diambil berdasarkan judul dari sebuah lontar terkait peradaban pertanian Bali yang direstorasi di Gedong Kirtya.

Penerjemahan dari lontar Dharma Pamaculan akan menjadi dasar dari pementasan teater, film, dan penampilan seni lainnya di Singaraja Literary Festival. Festival ini dalam transformasinya, dapat dilihat sebagai proses pembentukan pengetahuan secara kolektif yang juga partisipatif. Diantaranya,  melibatkan siswa dan mahasiswa se-Provinsi Bali.

Pelaksanaan festival tahun kedua ini juga menjadi salah satu yang spesial dengan kolaborasi bersama Asia Pasific Writers and Translators yang memberikan workshop penulisan kreatif. Di festival ini juga terdapat kerjasama penulisan akademik dengan Jurnal Kajian Bali yang terindeks Scopus. Singaraja Literary Festival juga didukung LPDP melalui Dana Indonesiana Kategori Pendanaan Ruang Publik (*)

Pewarta: Kadek Yoga Sariada

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts