Tari Menjangan Salukat, Terasa Sakral saat Ditarikan di Pura Agung Mpu Kuturan

Singaraja, koranbuleleng.com| Sabtu malam lalu, mendung sebenarnya sudah menebal. Kala itu, bertepatan dengan Hari Rasa Saraswati. Dari pelataran Pura Agung Mpu Kuturan terlantun kekidungan. Membuat suasana terasa sakral malam itu di Kampus STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Lantunan kekidungan itu juga terdengar oleh warga sekitar.  Kesakralannya terasa semakin meninggi ketika empat gadis muda melangkah perlahan, bersiap untuk menarikan Tari Menjangan Salukat, sebuah tarian bebali yang kini menjadi ikon sakral di Pura Agung Mpu Kuturan.

Tari Menjangan Salukat bukan sekadar pertunjukan seni biasa. Tarian ini wajib dipentaskan setiap pujawali yang jatuh pada Saniscara Umanis Wuku Watunggunung, bertepatan dengan Hari Raya Saraswati, di kampus itu.  Tarian ini diciptakan dengan dedikasi tinggi dan melalui proses panjang selama lebih dari satu tahun sejak akhir 2021.

Penari Menjangan Salukat
- Advertisement -

Tarian ini dipentaskan pertama kali pada tahun 2022 lalu, tepatnya saat pelaksanaan Ngenteg Linggih Pura Agung Mpu Kuturan. Sejak itu, tarian ini menjadi bagian tak terpisahkan dari prosesi sakral pujawali, seperti yang kembali digelar pada Sabtu 8 Februari 2025 malam.

Pementasan Tari Menjangan Salukat diawali dengan kekidungan yang sifatnya mengundang. Kekidungan ini dilantunkan oleh mahasiswa dan mahasiswi yang tergabung dalam UKM Tabuh dan Dharma Gita. Tidak hanya itu, tetabuhan khas Bali seperti geguntangan turut mengiringi, berpadu dengan irama kekidungan yang semakin syahdu seiring dengan meningkatnya intensitas tabuhan.

Prosesi tarian ini memiliki keunikan tersendiri. Dari empat orang penari yang telah bersiap, hanya dua yang akan benar-benar menari. Pemilihannya pun tidak sembarangan, melainkan melalui lekesan, sejenis daun sirih yang berisi uang kepeng. Penari yang mendapatkan lekesan dengan uang kepeng berhak menarikan tarian tersebut.

Setelah melakukan doa untuk memohon taksu, dua penari yang terpilih mengenakan gelungan khas. Gelungan ini terbuat dari tanduk menjangan asli, memperkuat makna spiritual tarian. Begitu mengenakan gelungan, kedua penari memasuki fase trance atau kerauhan, sementara dua penari lainnya tetap berjaga di belakang untuk mengantisipasi jika penari yang trance mengalami kesulitan.

- Advertisement -

Gerakan para penari yang kerauhan tampak begitu lemah gemulai. Kadang, senyum sumringah tergambar di wajah mereka, tetapi di momen lain, ekspresi sedih seolah terpancar dari tarian mereka. Hal ini mencerminkan makna mendalam yang tersirat dalam Tari Menjangan Salukat.

Penari Menjangan Salukat

Setelah beberapa menit menari dalam kondisi trance, gelungan tanduk menjangan pun dilepas. Secara perlahan, kesadaran para penari kembali, ditandai dengan dipercikkannya tirta suci oleh Jro Mangku. Prosesi ini menandakan akhir dari pementasan yang sakral dan penuh makna.

Dosen Seni STAHN Mpu Kuturan, Putu Ardiyasa, S.Sn., M.Sn., menjelaskan bahwa proses penciptaan tarian ini melibatkan seniman akademisi di kampus, seperti almarhum Prof. Dr. Putu Parmajaya, M.Pd. (seniman tabuh) dan I Gusti Ayu Desy Wahyuni, S.Sn., M.Pd.H. (seniman tari). Seluruh prosesnya diawali dengan matur piuning hingga memohon taksu di Pancoran Solas, Bangli.

Menurut Ardiyasa, dalam filosofi tarian ini, dua penari yang terpilih melambangkan konsep rwa bhineda yang berarti dualitas dalam kehidupan seperti baik-buruk, siang-malam, dan pria-wanita. Bukan sekadar pertunjukan estetika, tetapi juga refleksi nilai-nilai kehidupan.

“Dua orang penari ini bukan melambangkan Menjangan Luh-Muani. Tetapi lebih dari itu. Dua penari ini sebagai simbol Rwa Bhineda. Simbol dua hal yang selalu berbeda yang ada di dunia ini,” paparnya.

Penari Menjangan salukat

Dijelaskan Ardiyasa, sebagai proses sakralisasi, busana tarian ini juga tidak sembarangan.  Menggunakkan Gelung Palegongan dengan tambahan tanduk menjangan asli. Kemudian Menggunakan simping yang terbuat dari kulit dan kain bebali, Pakaian menggunakan konsep palegongan dengan dasar baju warna putih, Menggunakan sabuk lilit dari kain bebali, Menggunakan selendang kuning dan Menggunakan kamen kain bebali

“Proses sakralisasi Gelungan dan pakaian pingit dengan proses pasupati, ngelinggihang busana. Kemudian, Penari melalui pross pelukatan dan pewintenan pregina. Selanjutnya proses nedunang busana dengan bakti piuning dan segehan Agung serta menyimpan busana di gedong. Jadi proses sakralisasi itu dari menyimpan busana tidak boleh sembarangan,” tutupnya.

Sebagai tarian sakral, para penari diwajibkan menjalankan brata atau pantangan sejak sehari sebelum pementasan. Mereka tidak diperbolehkan mengonsumsi daging hewan berkaki empat dan harus melakukan semedi agar tetap dalam keadaan suci saat menari. (*)

Kontributor : Rika Mahardika

Editor           : I Putu Nova Anita Putra

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts