Sungai Bersih Apabila Masyarakat Sadar dan Pemerintah Bangun Fasilitas Pembuangan Sampah Memadai

Singaraja, koranbuleleng.com | Aspal jalan di permukiman LC, Desa Baktiseraga masih basah oleh guyuran hujan. Volume air di sungai dekat kawasan itu juga meninggi seiring intensitas hujan yang deras.

Sejumlah personel tampak mengambil tumpukan sampah plastik yang terjaring di trash barrier. Trash barrier ini merupakan jaring terapung yang sengaja dipasang di permukaan sungai untuk menjaring sampah-sampah plastik yang dibawa oleh aliran sungai. Jaring ini sangat membantu menghambat laju sampah sungai agar tidak sampai ke laut.

- Advertisement -

Personel-personel yang mengambil sampah plastik di sungai itu berasal dari Sungai Watch. Di Singaraja, mereka mempunyai markas di Jalan Serma Karma, Desa Baktiseraga, Buleleng.

Komang Mudiastra bersama rekan-rekannya dari Sungai Watch terus melakukan patroli siang hari, memantau jaring-jaring yang telah dipasang. Sampah-sampah plastik yang terjaring itu diangkat lalu dibawa ke markas untuk dipilah. Markas mereka berfungsi sebagai kantor untuk mengurus data sekaligus sebagai gudang penyimpanan sampah plastik.

Di gudang, sampah plastik ini harus melalui pemilahan dan pengepakan. Residu-residu yang menempel di sampah plastik dibersihkan sebelum dilakukan pengepakan.

Menurut Mudiastra, sungai bukan sekadar aliran air, tetapi juga sumber kehidupan bagi ekosistem dan manusia. Namun, ancaman pencemaran dan eksploitasi lahan semakin menggerogoti keberlangsungan sungai-sungai di Buleleng. Jika tidak segera diatasi, dampaknya bisa berujung pada bencana lingkungan yang sulit dipulihkan.

- Advertisement -

Sungai-sungai di Buleleng kini menghadapi permasalahan serius, mulai dari tumpukan sampah, limbah rumah tangga, hingga alih fungsi lahan di sepanjang bantaran. Kondisi ini memperparah degradasi lingkungan, menurunkan kualitas air, dan mengancam keanekaragaman hayati di sekitarnya.

Sementara itu, Station Manager Sungai Watch Singaraja, Gede Hari Yogiswara, menjelaskan bahwa seluruh sampah plastik yang diambil dari sungai dibersihkan lalu dipilah per kategori, yakni bening dan berwarna.

Kategori bening meliputi botol air mineral atau botol lainnya yang transparan tanpa warna, sementara plastik berwarna biasanya berasal dari kemasan minuman atau barang tertentu seperti pembersih alat rumah tangga, sampo, maupun alas sepatu berbahan karet. Dalam satu bulan, gudang tersbeut bisa mengumpulkan 8 ton sampah yang sudah bersih dan dikemas sesuai jenis.

“Dari dua itu, nanti kita pilah lagi, ada gelas kemasan jadi satu, botol bening, atau plastik-plastik sachet berwarna, bahkan kresek. Itu dipisahkan sesuai jenis setelah terpilah dan dibersihkan,” terang Yogi beberapa hari lalu, di bulan Maret 2025 ini.

Begitu pula sampah kaleng dan styrofoam, juga dipilah dengan baik. Plastik yang rusak maupun yang masih baik juga dipisahkan. Seluruh plastik yang telah melalui pembersihan dan pemilahan akan dikirim ke mitra bisnis mereka.

Plastik-plastik tersebut akan didaur ulang menjadi barang tertentu. Dalam proses daur ulang itu, semua plastik dicacah dan diolah menjadi barang-barang bernilai ekonomi, bahkan bisa menjadi aspal.

“Kemarin kan ada aspal bahkan katanya juga digunakan untuk aspal di jalan menuju Pura Segara Rupek. Ada juga yang dibuat paving atau benda lain,” ujar Yogi.

Yogi bercerita, jenis plastik yang paling banyak ditemukan di sungai adalah kemasan plastik untuk bungkus benda cair seperti sampo, pembersih alat rumah tangga, dan lainnya.

Bersama tim Sungai Watch di Singaraja, mereka memasang trash barrier di sungai-sungai dengan volume air sedang. Trash barrier ini belum bisa dipasang di sungai besar karena kekhawatiran terjadi peningkatan volume air saat banjir.

Untuk pemasangan trash barrier, Sungai Watch selalu berkoordinasi dengan aparat desa, pengurus subak, dan pihak berwenang lainnya.

“Karena ada juga yang takut kalau jaring ini membuat aliran air tersendat, padahal tidak begitu,” katanya.

Sistem kerja dari jaring apung ini dipasang di permukaan muara sungai, kali, atau aliran irigasi agar mampu menangkap sampah yang terbawa arus air, seperti daun, plastik, dan material lainnya. Jaring tersebut dilengkapi pelampung sehingga mengapung di atas aliran air. Setelah terjaring, sampah-sampah tersebut diambil oleh tim Sungai Watch secara manual, baik menggunakan tangan, sekop, maupun alat lainnya.

“Intinya, trash barrier ini mencegah plastik terbawa ke laut. Menjaga ekosistem perairan, memudahkan pengambilan sampah di sungai, dan membantu melindungi laut dari sampah plastik,” terang Yogi.

Sungai Watch memasang jaring di beberapa lokasi, yaitu, 1 unit di Desa Banjar, 3 unit di Desa Patemon, Kecamatan Seririt, 1 unit di Kelurahan Seririt, 1 unit di Desa Tangguwisia, 1 unit di aliran subak Kelurahan Banyuasri, 1 unit di aliran sungai Desa Baktiseraga, 1 unit di aliran sungai Desa Panji.

Yogi menjelaskan bahwa rata-rata di Bali ada dua jenis sungai, yakni sungai mati atau pangkung yang biasanya musiman dan teraliri air dari hulu, serta sungai hidup yang mengalir terus. Jaring tersebut lebih banyak dipasang di sungai hidup.

Sampah-sampah plastik dan karet dari sungai mati diambil secara langsung. Pemetaan lokasi sungai mati juga sudah dilakukan sehingga bisa dibuat agenda pembersihan setiap minggu.

Sungai Watch biasanya mengundang elemen masyarakat seperti aparatur desa, pemuda, ataupun pihak lainnya untuk ikut serta.

“Yang penting kami sudah komunikasi. Jika ada yang ingin bergabung membersihkan sungai, kami sangat senang. Kalaupun tidak ada, ya kami lakukan sendiri,” tambahnya.

Yogi juga menyadari bahwa upaya Sungai Watch saja tidak akan mampu membersihkan seluruh sudut dari sampah plastik. Perlu gerakan kolaborasi dari semua elemen untuk membersihkan lingkungan. Yang terpenting adalah kesadaran tinggi dari masyarakat untuk memilah sampah dan membuangnya secara bijak.

“Tetapi pemerintah juga harus menyediakan sarana pembuangan sampah yang memadai. Karena jika masyarakat sudah sadar, ada juga yang bingung ke mana harus membuang sampah? Akhirnya, karena sarana tidak ada, ya sudah buang sembarangan,” terang Yogi.

Yogi bersama timnya melihat fenomena itu di masyarakat sehingga penanganan sampah ini harus dilakukan bersama-sama.

Sungai Watch masih terbatas dalam pemasangan alat tersebut karena keterbatasan sumber daya. Di sisi lain, pemasangan jaring juga berdasarkan hasil pemetaan fakta di lapangan bahwa sungai tersebut memiliki potensi pencemaran sampah plastik yang tinggi.

Di tempat lain, upaya berbeda juga dilakukan komunitas lain dengan mendirikan bank sampah. Namun, cara kerja bank sampah tentu berbeda dengan Sungai Watch.

Bank sampah biasanya lebih banyak menunggu kiriman sampah plastik dari konsumennya, yakni warga sekitar. Konsumen juga tidak hanya membawa sampah plastik, tetapi juga berbagai sampah yang masih bisa didaur ulang seperti kertas, kaleng, dan lainnya.

Gede Ganesha, salah satu penggiat Bank Sampah Galang Panji dari Desa Panji, mengungkapkan bahwa dalam satu bulan mereka bisa mengumpulkan hingga 500 kilogram sampah.

“Itu semua jenis sampah non-organik, mulai dari kardus, besi, botol kaca, kaleng, dan itu di luar plastik kresek,” kata Ganesha.

Menurutnya, keberadaan Bank Sampah Galang Panji tidak hanya membantu mengatasi permasalahan sampah di Desa Panji, tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.

“Di awal-awal, pengumpulan sampah dilakukan secara manual dengan mendatangi rumah-rumah warga. Setahun kemudian, tampaknya masyarakat mulai sadar akan pentingnya pengelolaan sampah, sehingga petugas bank sampah hanya perlu menunggu di bank smapah untuk menerima sampah yang disetor oleh warga.” tutup Ganesha.(*)

Pewarta : I Putu Nova Anita Putra

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts