Singaraja, koranbuleleng.com| “Enggalang ba nganten, pang sing enggalan nepuk uncal balung.” Kalimat ini mungkin terbilang akrab bahkan populer di kalangan remaja Hindu di Bali, khususnya mereka yang telah menjalin hubungan cinta dalam waktu lama dan dirasakan sudah siap dan matang untuk menempuh ke jenjang pernikahan.

Namun sebenarnya, di balik ungkapan tersebut, tersembunyi makna filosofis yang lebih dalam terkait tradisi dan kesucian waktu dalam agama Hindu Bali. Sayangnya, tak sedikit yang belum memahami secara utuh apa itu sebenarnya Uncal Balung.

Akademisi STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja, Dr. I Wayan Titra Gunawijaya, S.Fil., M.Ag, menjelaskan bahwa Uncal Balung merupakan salah satu periode paling sakral sekaligus penuh pantangan dalam sistem penanggalan wariga Bali. Secara teknis, Uncal Balung merujuk pada rentang waktu antara Hari Raya Galungan (Buda Kliwon Dungulan) hingga Buda Kliwon Pahang, yang berlangsung selama 35 hari atau satu siklus wuku.
Menurutnya, Uncal Balung diyakini sebagai masa transisi antara dunia manusia (sekala) dan dunia roh (niskala). Dalam kepercayaan umat Hindu Bali, setelah upacara Galungan dan Kuningan, roh leluhur (pitara) belum sepenuhnya kembali ke alam asalnya, melainkan masih “ngubeng” atau berkeliling di dunia manusia. Keberadaan mereka dianggap belum “pegat” alias belum benar-benar berpisah dengan dunia nyata.
“Masa ini adalah waktu di mana dunia sekala dan niskala belum sepenuhnya terpisah. Secara spiritual, ini adalah masa rawan yang belum bersih dari pengaruh energi negatif (bhuta kala),” terang Dr. Titra.
“Karena itu, masa Uncal Balung diyakini sebagai kāla ala (waktu yang tidak suci) untuk menyelenggarakan upacara besar, terutama yang tergolong Manusa Yadnya, seperti pernikahan (pawiwahan), potong gigi (metatah), dan upacara transformasi status spiritual lainnya,” tambahnya.

Dr. Titra yang juga Dosen Teologi Hindu ini menyatakan jika pantangan, kesucian waktu dan makna dari Uncal Balung termuat dalam beberapa sastra. Mulai dari Lontar Sundarigama sebagai sumber utama perayaan Galungan-Kuningan, yang menjelaskan mengenai rentan hari sacral atau uncal balung sebagai berikut:
“Iṅ rahinā Galungan punika, Dewa-Dewi pada turuṅ ka buwana, nyaksama dharmaning kawula ring marcapada. Ring rahinā Kuningan sampun pada mapamit, mulih ring kahyangan. Nanging ring Budha Kliwon Pahang, pegat wukan, sampun prayascitta, sida ngaturang Manusa Yadnya”
Terjemahan:
Pada Galungan, para dewa turun ke dunia; pada Kuningan, mereka kembali. Namun, baru pada Pegat Wukan, hubungan antara dunia sekala dan niskala benar-benar “pegat” (terputus), dan waktu telah suci kembali untuk melaksanakan Manusa Yadnya.
Hal tersebut juga di jelaskan pada Lontar Gong Wesi mengenai penentuan dewasa ayu/ala untuk pelaksanaan upacara Yadnya, termasuk larangan pelaksanaan upacara Yadnya pada rentan waktu uncal balung yakni 35 hari (“Buda Kliwon Dunggulan sampai Buda Kliwon Pahang”).
“Uncal Balung punika, tan wenang mapawiwahan, tan wenang matatah, tan wenang nglaksanayang karya ring manusa. Ring Wrespati Kliwon Pahang, sampun pepatih, ring Budha Kliwon Pahang sampun ngametuang pegat wukan, punika sida.”
Terjemahan:
Selama Uncal Balung, Manusa Yadnya dilarang karena belum bersih dari pengaruh pitara dan bhuta kala. Baru pada Pegat Wukan, setelah pitara “pepateh” (berangkat) dan “pegat”, yadnya diperbolehkan.
Kemudian larangan mengenai pelaksanaan upacara Yadnya juga dijelaskan dalam Lontar Wariga Krŗttika mengenai larangan pelaksanaan karya manusa Yadnya, yang berbunyi “Sasampun rahina Kuningan, tan sida magawé pawiwahan ring sasampune, tan ngidang ngalaksanayang karya manusa, yening durung pegat wukan”
Terjemahan:
Setelah Kuningan pun, tidak serta merta boleh melaksanakan upacara, manusia harus menunggu hingga Pegat Wukan, sebagai masa bersih (suddha).
Bagi masyarakat Hindu Bali, waktu bukan hanya hitungan hari, melainkan juga berkaitan erat dengan keharmonisan semesta. Dr. Titra menekankan bahwa Uncal Balung adalah representasi dari prinsip ṛta – hukum kosmis yang menjaga keteraturan dunia.
“Pelaksanaan upacara keagamaan tidak hanya soal kesiapan lahiriah, tetapi juga kesiapan waktu secara spiritual. Itulah mengapa larangan Uncal Balung penting untuk dipatuhi, demi menjaga harmoni antara manusia, alam, dan para leluhur,” ujarnya.
Dr. I Wayan Titra Gunawijaya, S.Fil., M.Ag mengatakan jika Uncal Balung adalah pengingat bahwa kesucian hidup perlu ditopang oleh penghormatan terhadap waktu. Uncal Balung merupakan jembatan antara dunia kasat mata dan tak kasat mata, ruang spiritual dimana manusia diajak menahan diri, menghormati yang tak terlihat, dan bersiap untuk waktu yang lebih suci.
“Dalam lanskap spiritual Hindu Bali yang begitu kaya dan simbolik, Uncal Balung adalah cerminan betapa waktu bukan hanya linier, tetapi juga skcral, tempat di mana manusia belajar menjaga jarak demi mendekat lebih dalam kepada kesucian,” tutup Titra. Rika Mahardika