Singaraja, koranbuleleng.com| Kejaksaan Tinggi Bali terus mendalami kasus pemerasan yang dilakukan oleh Kepala DPMPTSP Kabupaten Buleleng, I Made Kutayang telah menjadi tersangka. Terbaru, Kejati Bali memeriksa sejumlah pejabat di lingkaran Pemkab Buleleng secara marathon hingga malam hari, Rabu 16 April 2025.
Menurut informasi, sejumlah pejabat yang diperiksa diantaranya, Sekda Buleleng, Gede Suyasa, Kadis PUTR Buleleng I Putu Adiptha Ekaputra, Kadis Perkimta Buleleng, Nyoman Surattini, Kepala Inspektorat Buleleng, Putu Karuna, Kabag Hukum Setda Pemkab Buleleng, Bayu Waringin, serta sejumlah pejabat lain di beberapa OPD. Pemeriksaan tersebut berlangsung hingga malam hari, namun awak media belum mendapatkan konfirmasi resmi dari pihak berwenang pada pemeriksaan tersebut.

Namun, saat kunjungan keBuleleng dalam agenda peresmian Rumah Restorative Justice Bale Kertha Adhyaksa di Gedung Kesenian Gde Manik Singaraja, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, Ketut Sumedana, sempat mengungkapkan adanya potensi penambahan tersangka baru dalam kasus dugaan pemerasan proses perizinan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) untuk pembangunan rumah subsidi di Kabupaten Buleleng. saat itu, sebanyak 12 tim penyidik Kajati Bali tengah berada di Singaraja, menjalankan pemeriksaan marathon terhadap puluhan saksi yang terlibat dalam perkara tersebut.
Menurut Sumedana, proses hukum terhadap dua tersangka yang telah diamankan masih terus berjalan. “Dua tersangka dalam proses pemberkasan, setelah Hari Raya Galungan kita proses,” ujarnya saat ditemui di Singaraja, Rabu, 16 April 2025.
Kedua tersangka tersebut adalah Kepala DPMPTSP Kabupaten Buleleng, I Made Kuta, dan Staf Fungsional Penata Kelola Bangunan Gedung dan Kawasan Permukiman PUTR Buleleng, Ngakan Anom Diana Kusuma. Penetapan terhadap tersangka Anom dilakukan empat hari setelah jaksa lebih dulu menetapkan Kuta sebagai tersangka pada 24 Maret 2025.
Dalam penyidikan, tersangka Anom diketahui diminta membantu tersangka Kuta dalam menyiapkan gambar teknis untuk pengajuan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Dari hasil uang pungutan kepada para pengembang, disepakati adanya pembagian: Rp700 ribu untuk Anom, Rp400 ribu untuk Kuta, sementara sisanya Rp355 ribu disetorkan ke kas negara sebagai retribusi resmi PBG.

Jaksa menyebut praktik ini telah berjalan sejak tahun 2019. Setiap pengembang diminta membayar Rp1,4 juta untuk setiap pengajuan PBG. Pola pembagian tersebut mengindikasikan adanya pemanfaatan jabatan untuk kepentingan pribadi yang berpotensi melanggar hukum secara sistematis.
Ketut Sumedana menegaskan bahwa penyidikan tidak berhenti pada dua tersangka saat ini. Dengan diterjunkannya 12 tim ke wilayah Buleleng, kemungkinan munculnya tersangka baru sangat terbuka. “Kemungkinan tersangka baru sangat mungkin, lebih dari dua sangat mungkin. Sampai saat ini 50 saksi sudah diperiksa. Hari ini ada 12 tim yang ada di Singaraja melakukan pemeriksaan saksi-saksi,” kata Sumedana.
Kejaksaan Tinggi Bali Bentuk Rumah Restorative Justice di Seluruh Desa Buleleng
Kejaksaan Tinggi Bali secara resmi membentuk Rumah Restorative Justice Bale Kertha Adhyaksa di seluruh desa dan kelurahan se-Kabupaten Buleleng. Program ini diresmikan di Gedung Kesenian Gde Manik Singaraja, dan dihadiri langsung oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, Rabu, 16 April 2025.
Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Ketut Sumedana, menegaskan bahwa pembentukan Rumah Restorative Justice ini bertujuan sebagai solusi atas konflik sosial yang sering terjadi di masyarakat. Model penyelesaiannya mengedepankan musyawarah mufakat dengan melibatkan tokoh adat seperti kepala desa dan bendesa adat.
“Tidak semua masalah bisa diselesaikan di Rumah Restorative Justice ini. Kalau masalah berdampak pada masyarakat luas seperti pembunuhan dan perampokan harus dibawa ke ranah hukum,” tegas Sumedana.
Ia menjelaskan, mekanisme keadilan restoratif ini tidak hanya mendamaikan warga secara lokal, tetapi juga berpotensi mengurangi beban keuangan negara. Dalam satu tahun, biaya penuntutan hingga pengadilan bisa mencapai Rp10 triliun. Belum termasuk biaya pemeliharaan napi yang mencapai Rp3 triliun setiap tahunnya.
“Ini anggaran yang sangat besar untuk membiayai hal-hal yang tidak perlu,” ujar Sumedana.
Gubernur Bali, Wayan Koster, memberikan apresiasi atas langkah progresif Kejaksaan Tinggi Bali tersebut. Menurutnya, pendekatan keadilan berbasis desa merupakan warisan kearifan lokal masyarakat Bali yang sudah diterapkan sejak masa lalu.
“Sekarang dikembangkan Kejati, saya tertarik dengan program ini. Bisa diselesaikan dengan cara musyawarah di tingkat desa tidak perlu harus ke ranah hukum formal, itu bagus. Jangan sampai perkara motor hilang, banding ke Kejati hingga MK habis sampai ratusan juta. Berantem tidak perlu ke pengadilan, cukup selesiakan di Rumah Restorative Justice,” kata Koster.
Ia mendorong agar program ini dapat diimplementasikan di seluruh 9 kabupaten/kota di Bali, dengan partisipasi aktif dari para Bendesa Adat dan Perbekel di tiap wilayah.
“Kita punya tanggung jawab moral sukseskan program ini. Ini bukan kepentingan kejaksaan saja. Ini tanggung jawab kita semua. Masalah berkurang, masyarakat jadi tertib sehingga penyelenggaran pembangunan kondusif,” kata dia.(*)
Pewarta: Kadek Yoga Sariada