Singaraja, koranbuleleng.com |Sebanyak 375 siswa tingkat SMP di Kabupaten Buleleng yang hingga kini belum mampu membaca, mengikuti tes kecerdasan pada Rabu, 7 Mei 2025. Langkah ini ditempuh pemerintah sebagai bentuk intervensi dini terhadap hambatan belajar yang dialami ratusan pelajar tersebut.
Pelaksanaan tes dipusatkan di SMP Negeri 1 Singaraja, dengan melibatkan tim psikologi dari Pradnyagama. Para siswa yang mengikuti tes berasal dari kelas 7, 8, dan 9, tersebar di sembilan kecamatan se-Buleleng. Hadir secara langsung, Bupati Buleleng dr. I Nyoman Sutjidra dan Wakil Bupati Gede Supriatna memantau jalannya tes.

Bupati Sutjidra mengungkapkan bahwa dari pemantauan yang dilakukan, ditemukan sejumlah anak dengan indikasi kelainan perkembangan. Hal ini diduga menjadi faktor utama yang menghambat kemampuan mereka dalam membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
“Tim akan buat resume rekomendasi masing-masing anak. Penanganan tergantung rekomendasi, misal punya kemampuan normal, di perbatasan, atau kecerdasan dibawah rata-rata,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa hasil tes nantinya juga akan disampaikan kepada orang tua siswa. Harapannya, orang tua bisa memahami kondisi anak dan turut serta dalam proses penanganan secara berkelanjutan. “Mereka lahir dengan keterbatasan, kita harus terima. Kita apakan anak ini kedepan supaya tidak menjadi beban keluarga. Paling tidak mereka bisa mandiri. Karena ini sudah SMP, sebentar lagi SMK kita harus perhitungkan keterampilan yang diberikan kepada mereka,” ucap Sutjidra.
Sebagai langkah pencegahan berkelanjutan, Sutjidra telah menugaskan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng untuk mulai mendata siswa tingkat SD yang juga belum menguasai kemampuan membaca dasar. “Kalau mereka bisa baca dan hitung tetap diberikan bimbingan. Agar tidak diberikan rekomendasi ke jenjang berikutnya,” tegasnya.

Sementara itu, pendiri Pradnyagama, Retno Indaryati Kusuma, menjelaskan bahwa nilai kecerdasan normal berada pada angka 80. Jika siswa memperoleh skor di bawah angka tersebut, maka bisa dipastikan mereka memiliki gangguan intelektual. Sedangkan nilai di atas 80 bisa mengarah pada gangguan belajar seperti disleksia.
Psikolog yang juga berpraktik di RSUP Prof. Ngoerah Denpasar ini menjelaskan bahwa secara fisik, anak-anak dengan gangguan intelektual tampak normal. Namun dalam aspek penalaran, mereka mengalami kesulitan signifikan. “Dari atas sampai bawah orang awam melihat normal saja memang tidak ada masalah gangguan fisik tapi di dalamnya kemampuan menalar, karena membaca dan menulis perlu penalaran perlu logika berpikir. Ketika lambat makanya sampai SMP belum bisa baca tulis,” ujarnya.
Retno menambahkan bahwa kondisi tersebut bisa berasal dari faktor genetik maupun sejak kelahiran. Anak-anak dengan kecerdasan di bawah rata-rata akan terus tertinggal jika disamakan dengan siswa reguler tanpa penanganan khusus.
Meski demikian, mereka tetap dapat dididik dalam bidang keterampilan yang sesuai dengan kapasitas masing-masing.
“Mereka tetap punya makna dan peran baik di masyarakat dan punya penghasilan. Kalau mereka memang kemampuannya borderline memang lama sekali. Tetap tidak akan bisa baca tilis namun biasanya bertahap bisa 5-10 tahun mereka bisa menghafal,” kata dia.
Retno menekankan pentingnya pendidikan inklusi dan pelatihan keterampilan bagi siswa dengan disabilitas intelektual. Ia mengusulkan pembentukan kelas khusus di SMP dan SMK, serta pelibatan balai latihan kerja sebagai jalur alternatif.
“Bisa kami kasih gambaran kalau SMP kemungkinan besar pasti disabilitas intelektual. Sekolah perlu bentuk kelas inklusi sehingga bikin program ke SMK yang inklusi sehingga bisa bekerja. Balai latihan kerja punya peranan penting. Kalau suka seni suka menggamel pentas di hotel. Sesuai kemampuan mereka,” tutupnya.(*)
Pewarta: Kadek Yoga Sariada