Singaraja | Singaraja kini telah mencapai umurnya yang ke-412. Sebuah perjalanan panjang dari sebuah kota yang berujung diutara Bali, warisan dari kebesaran seorang Anglurah Ki Barak Panji Sakti. Dari sejumah kajian sejarah, Kerajaan Anglurah KI Barak Panji Sakti adalah kerajaan besar yang punya visi dan misi besar bidang kemaritiman.
Dosen sejarah dari Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, I Made Pageh mengungkapkan dalam pembangunan bidang ekonomi Panji Sakti menguasai daerah segitiga emas yakni Bali Barat, Pesisir Blambangan (Jawa timur) hingga kepulauan Madura yang saat itu menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang sangat potensial.
Di Kerajaan Buleleng berdiri sejumlah pelabuhan-pelabuhan besar di sejumlah wilayah seperti di wilayah pesisir Desa Pengastulan) di daerah Desa Temukus, Pelabuhan Buleleng, Desa Sangsit Desa Julah, sampai daerah Kabupaten Karangasem dan Lombok. Dulu, Daerah-daerah itu adalah pelabuhan yang digunakan untuk wilayah perniagaan antar pulau di nusantara pada jaman Kerajaan Buleleng.
“Pada Jaman Panji Sakti itu Blambangan dikuasai, Blambangan masa dulu bukan hanya wilayah Banyuwangi sekarang tetapi seluruh pesisir Jawa timur di wilayah Pantura atau saat ini sampai Pelabuhan Tanjung Perak dan Kepulauan Madura. Itu kebesaran Panji Sakti yang senagja memperluas kekuasannya melalui jalur laut. Kenapa Panji Sakti tidak memperluas ke wilayah Jember dan skeitarnya sebagai daerah pertanian, itu karena daerah itu bukan pusat ekonomi,” terang Made Pageh.
Pageh menyayangkan, kepemimpinan di era saat ini tidak ada yang belajar dari sejarah. Seharusnya, Kota Singaraja dikembalikan menjadi kota dagang dan kota pelabuhan dengan cara mengembalikan fungsi Pelabuhan Buleleng sebagai pelabuhan bongkar muat. Dengan demikian distribusi dan perdagangan akan dapat tumbuh.
Saat ini, tidak ada kepemimpinan Buleleng yang mengadopsi visi misi kelautan dari Panji Sakti namun justru mengekor dengan perkembangan di wilayah Bali Selatan.
Menurut Pageh, Buleleng semestinya mengadopsi sistem Pemerintahan di masa lalu. Buleleng berjaya di bidang kemaritiman sehingga menjadi daerah perniagaan besar Hingga pemerintah colonial Belanda mengembangkan Buleleng lebih kuat lagi.
Belanda melakukan studi kelayakan di Bali, bahwasannya tidak menemukan daerah lain di Bali yang sangat fisibel selain Singaraja yang punya kehidupan perniagaan besar dan aktifitas pelabuhan yang sangat tinggi.
Pageh mengandaikan, dimana ada gula disitu ada semut. Pelabuhan Buleleng di jaman dulu adalah wilayah perlintasan perdagangan yang dilintasi oleh pedagang Inggris. Belanda juga takut akan perluasan perdagangan Inggris ke Buleleng sehingga lebih cepat menguasai Buleleng.
Pada jaman dulu, Singaraja adalah “Gula” yang dicari oleh banyak pedagang sehingga hingga kini bekas sejarah perdagangan itu masih terlihat. Karena itulah, di Singaraja sampai saat ini masih terlihat wilayah-wilayah penduduk yang berkumpul sesuai dengan etnis nusantara.
“Kampung baru itu Pecinan sejak dulu,di sebelah barat ada Kampung Bugis, ada wilayah perkampungan muslim di sebelah selatan. Itu terjadi karena kehidupan perniagaan yang hidup. Etnis-etnis inilah yang aktif menjadi pelaku perniagaan.” terang Pageh.
Buleleng itu dari dulu menjadi wilayah laut yang menjadi pusat bongkar muat barang, sehingga Buleleng tidak menjadi ekor seperti sekarang. “Dulu itu, Buleleng adalah kepala di Bali. Semua hasil pertanian dijual ke Singaraja lalu diekspor ke berbagai wilayah di nusantara seperti ke Makassar, Kalimantan, Maluku bahkan sampai ke luar negeri. Nah sekarang, ketika wilayah ibukota dipindahkan ke Denpasar justru Buleleng jadi mengekor dan semua hasil pertanian mengandalkan hasil transaksi ekonomi di Bali selatan. Buleleng matilah seperti sekarang,” papar Pageh.
Pageh menyarankan kepemimpnan era saat ini semestinya bisa mengadopsi visi kepemimpinan Panji Sakti yang menghidupkan potensi kemaritiman. Jika hanya mengandalkan paradigm pembanguna berbasis pertanian, Buleleng tidak akan pernah maju. Paradigma pembangunan yang utama harus kembali kemaritiman.
“Kalau kita lihat secara logika, Buleleng ini bukan daerah pertanian yang luas. Potensi pertanian yang unggul itu hanya ada di Buleleng tengah wilayahnya Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Sebagain Kecamatan Banjar di bagian atas. Coba lihat, daerah timur sudah daerah tandus begitupun daerah Barat seluruhnya hampir tandus. Di sisi lain, proteksi pemerintah terhadap keberlangsungan pertanian juga tidak kuat sehingga banyaklah sekarang lahan-lahan pertanian berubah menjadi pemukiman. Sawah dijual, lahan pertanian dikapling oleh investor. Ini kan sebenarnya sangat berbahaya,” terang Pageh.
Oleh karena itu, Buleleng membutuhkan pemimpin yang bisa belajar dari sejarah. Butuh pemimpin yang berani mengembalikan secara kuat seperti dulu. “Anggaplah Potenis kelautan dikembalikan, potensi pertanian dinomor duakan. Jika potensi kemaritiman sudah hidup, otomatis potensi pertanian akan hidup. “ ujar Pageh yakin.
Ketika segala fasilitas ekonomi di pindah seperti pelabuhan dipindah ke Celukan Bawang dan Benoa, warga keturunan Cina sebagai pelaku ekonomi terbesar di Asia juga bermigrasi ke Surabaya dan Denpasar. Pelabuhan itu menjadi magnet dalam kegiatan ekonomi. “Sekarang hanya tinggal sejarah, yang tersisa bukan sebuah situasi ekonomi yang abru di wilayah Pelabuhan Buleleng saat ini, “ ujarnya.
Menurut Pageh, Pelabuhan Buleleng adalah pelabuhan alami yang harus dihidupkan kembali berbeda dengan pelabuhan Celukan Bawang yang dibuat oleh manusia. Pelabuhan alami itu , kata Pageh akan tetap fungsional walaupun tidak difungsikan. “Berbeda dengan pelabuhan Celukan Bawang yang saat ini berfungsi tetapi sebenarnya tidak fungsional,” ujarnya.
Semestinya kita tidak takut belajar dari masa lalu, katanya. Apa yang menjadi kebaikan di masa lalu tetap harus diadopsi sekarang baik itu pada masa kerajaan Buleleng maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
“Apa yang baik pada jaman Belanda, jaman kerajaan. Semua kecemerlangan masa lalu harus ambil untuk dijadikan ideologi hari ini untuk mengatasi persoalan hidup hari ini dan mengatasi masa depan. Berpikir historis itu seperti itu. Sekarang justru kita belajar dari sejarah kelam, tapi ingin masa depan yang cemerlang,” terangnya.
Versi Berbeda
Dalam dokumen resmi Pemerintah Kabupaten Buleleng yang dirilis dalam website remsi Pemkab Buleleng, Pada sekitar tahun Candrasangkala “Raja Manon Buta Tunggal” atau Candrasangkala 6251 atau sama dengan tahun caka 1526 atau tahun 1604 Masehi, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti memerintahkan rakyatnya membabat tanah untuk mendirikan sebuah Istana di atas padang rumput alang-alang, yakni ladang tempat pengembala ternak, dimana ditemukan orang-orang menanam Buleleng.
Pada ladang Buleleng itu Baginda melihat beberapa buah pondok-pondok yang berjejer memanjang. Di sanalah beliau mendirikan Istana yang baru, yang menurut perhitungan hari sangat baik pada waktu itu, jatuh pada tanggal “30 Maret 1604”.
Selanjutnya Istana Raja yang baru dibangun itu disebut “SINGARAJA” karena mengingat bahwa keperwiraan Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti tak ubahnya seperti Singa.
Demikianlah hari lahirnya Kota Singaraja pada tanggal 30 Maret 1604 yang bersumber pada sejarah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, sedangkan nama Buleleng adalah nama asli jagung gambal atau jagung gambah yang banyak ditanam oleh penduduk pada waktu itu.
Berbeda halnya dengan kajian sejarah dari Made Pageh secara mitologis dan dihubungkan secara kontekstual dengan kenyataan yang ada, bahwa nama Buleleng diambil dari sebuah Pura Ibu yang leleng (miring). Pura Ibu adalah Pura Ulun Carik dipematang sawah jaraknya dua kilometer di sebelah utara dari Istana Sukasada.
Dulunya, Pura Ibu Leleng itu sebutan karena Pura tersebut secara fisik mengalami kemiringan. Sehingga lama-kelamaan sebutan Ibu Leleng itu menjadi Buleleng, sedangkan huruf I tidak terucap dalam sebutan cepat.
“Sejarah yang berkembang selama ini, Asal buleleng berasal dari tanaman buleleng atau diidentikkan dengan jagung gembal. Dari hasil penelitian tidak ada jagung Gembal, yang ada Padi atau jagung. Bali tidak dekat dengan Jagung Gembal. Singa yang diidentikkan menggenggam jagung gembal itu sebenarnya padi itu. Tidak kita temukan sejarah Jagung Gembal di Buleleng,” ujar Pageh.
Begitupun mengenai angka tahun yang diperingati sebagai HUT Kota Singaraja, juga masih perlu kajian dan penelitian yang lebih mendalam. Pageh mengutarakan masih ada kronologi yang tidak beraturan mengenai kejadian-kejadian di masa lalu dengan umur dari Panji Sakti kala itu. |NP|