Singaraja, koranbuleleng.com | Umat Hindu di Bali akan merayakan hari suci lain yakni Tumpek Wayang yang jatuh Sabtu 5 Maret 2022. Tumpek Wayang jatuh pada Saniscara Kliwon Wuku Wayang, biasanya lebih dikenal dengan hari untuk pebayuhan atau ruwatan Wayang Sapuh Leger. Namun sejatinya, esensi sebenarnya adalah momen untuk menjaga keseimbangan atau harmonisasi kehidupan sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana.
Jika merujuk pada sudut pandang keilmuan, Tumpek Wayang secara etimologis berasal dari kata tumpek dan wayang. Tumpek terdiri berasal dari kata tum dan pek. Tum berarti kesucian dan pek yang berarti terakhir. Jadi tumpek berarti hari suci yang berada diakhir. Maksudnya adalah diakhir pancawara dan saptawara. Dalam hal ini tumpek wayang jatuh pada saniscara kliwon wuku wayang.
Sedangkan wayang sendiri adalah bentuk karya seni yang merepresentasikan tokoh-tokoh tertentu. Jadi secara umum tumpek wayang adalah hari suci untuk perayaan kesenian, pada hari ini para seniman menghaturkan sesajen agar keberlangsungan kehidupan berkesenian bisa berjalan langgeng.
Akademisi STAHN Mpu Kuturan Singaraja Ida Bagus Gede Paramita menjelaskan, Tumpek Wayang dipilih sebagai hari suci dalam memuliakan kehidupan berkesenian karena dalam wayang sudah mencakup semua unsur seni. Misalnya dalam proses pembuatan wayang ada unsur seni lukis dan ukir. Kemudian dalam pementasan wayang terdapat unsur seni tarik suara dharma gita, tari-tarian, teatrikal dan tetabuhan.
“Jadi momentum tumpek wayang inilah yang dipakai sebagai perayaan suci untuk memuja Dewa Iswara oleh masyarakat Bali,” jelasnya.
Lebih lanjut Bagus Paramita mengatakan, dalam lontar Sundarigama menceritakan awal mula pertunjukan wayang. Dewa Iswara sebagai dalang didampingi oleh Dewa Brahma dan Wisnu diringi Gender dan Kecapi menggelar pertunjukan wayang di atas kelir dengan menceritakan perjalanan Bhatara Siwa dan Dewi Uma.
Begitu pula dalam lontar tantu pagelaran, menceritakan pula asal mula pertunjukan wayang kulit, dimana Bhatara Siwa kala itu berwujud Kala Rudra dan ingin membinasakan semua mahluk. Sehingga mengakibatkan ketakutan di alam fana. Turunlah kemudian Dewa Iswara sebagai dalang didampingi, Brahma dan Wisnu dengan mempertunjukkan wayang kulit dan menceritakan siapa sebenarnya Kala Rudra.
Dosen Kajian Budaya STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini melanjutkan, dalam kehidupan sosial religius masyarakat Bali khususnya masyarakat beragama hindu, Tumpek Wayang sering diidentikan dengan pelaksaaan ruwatan sapuh leger. Sapuh adalah bersih sedangkan leger dalam Bahasa jawa bersinonim dengan leget yang berarti tercemar atau kotor. Jadi sapuh leger dapat diartikan pembersihan atau penyucian dari keadaan kotor atau tercemar.
“Yang disucikan atau dibersihkan dalam ruwatan ini adalah kelahiran seseorang yang lahir pada wuku wayang atau bertepatan dengan tumpek wayang. Pembersihan atau penglukatan dilakukan dengan tirta sapuh leger, tirta yang diperoleh setalah pementasan wayang sapuh leger oleh seorang Dalang. Ruwatan atau penglukatan ini diyakini akan menghindari dari santapan Bhatara Kala, seperti mitologi yang diyakini oleh masyarakat hingga saat ini,” sambungnya.
Jika ditelisik lebih dalam, semangat Tumpek Wayang sebagai sebuah momentum sakral pemuliaan terhadap kehidupan berkesenian bisa memiliki makna keseimbangan. Hal ini pun sejalan dengan diterbitkannya Instruksi Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2022 tentang perayaan Rahina Tumpek Wayang. Dimana dalam salah satu poinnya disebutkan untuk melaksanakan perayaan Rahina Tumpek Wayang dengan upacara Jagat Kerti sebagai pelaksanaan tata-titi kehidupan masyarakat Bali berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal sakerti dalam era baru.
Ida Bagus Gede Paramita menyebutkan, dari mitologi ruwatan sapuh leger, terdapat konsep keseimbangan atau harmonisasi yang berusaha dijaga oleh masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu. Sementara jika dikaitkan dengan pementasan wayang, dalang adalah penjaga keseimbangan, dalang adalah pemain semua peran, berperan baik dan juga berperan jahat.
“Ibarat Kehidupan, Dalang mengeluarkan wayang dari kropak, memainkan dan memasukkan memasukkan kembali satu persatu tokoh-tokoh wayang dalam kropak. Proses pementasan wayang itu adalah simbolisasi ajaran Tri Kona Utpeti (kelahiran), Stiti (kehidupan) dan pralina (kematian) semua dijaga dan dimainkan dalam scenario seorang dalang,” ujarnya.
Gusde, demikian Ia akrab disapa menambahkan, selama ini masyarakat Hindu berusaha selalu menjaga hubungan baik dengan semua mahluk, berusaha menjaga ekosistem supaya tetap berjalan dengan alami. Dan ada keyakinan segala yang tercipta di dunia ini mempunyai peran dan fungsinya masing-masing. Salah satu dirusak akan mengganggu dan melumpuhkan yang lain.
“Ibarat badan manusia, mengalami kesakitan walau sedikit akan mengganggu aktifitas dalam kesehariannya,” ucapnya.
Selama ini, manusia Hindu dalam praktik-praktik kegiatan sosio-religiusnya selalu mengedepankan ajaran-ajaran Tri Hita Karana. Yakni seimbang menjaga keharmonisan dengan Tuhan, dengan alam lingkungan maupun dengan sesama, mengaplikasikan panca yadnya sehingga akan tercipta jagat kertih atau dunia yang tenteram dan sejahtera.
“Masyarakat Bali yang selalu berbuat untuk menyucikan dan memuliakan alam semesta beserta isinya, termasuk memberikan persembahan kepada kepada para bhuta dalam bentuk bhuta yadnya. Jadi jelas ada hubungan keterkaitan antara Upacara Tumpek Wayang dengan Upacara Jagat Kerti, apalagi di tengah situasi pandemic saat ini,” pungkas Gusde. (*)
Kontributor : Putu Rika Mahardika