Kesempatan masuk ke banyak bangunan sekolah, termasuk SD terkait dengan undangan sebagai pembicara, pembinaan literasi sekolah, pengabdian kampus, mengawas mahasiswa praktik mengajar, sampai pada suatu kenyataan umum. Terkait dengan pengalaman tersebut, esai ini bercerita mengenai keadaan kelas-kelas gedung SD: tembok kusam, bangku, sudut-sudutnya, hiasan dinding, dan bendera merah putih yang memudar.
Bangku-bangku siswa sudah berusia tua. Sejak belasan tahun tidak pernah dicat. Ada yang “bergoyang” ketika diduduki. Bagian atas meja siswa penuh coretan ballpoint dan stipo. Siswa selalu “usil” mencoret bangku mereka. Kolong bangku juga unik karena tempat siswa menyimpan sampah bertahun-tahun. Piket kelas atau tim kebersihan sekolah tidak pernah menyasar kolong bangku.
Kelas tidak hanya tempat belajar. Kelas adalah seting sebuah negara yang merepresentasikan pemerintah ketika sejatinya aktivitas belajar di lembaga pendidikan adalah politis (Paulo Freire). Itulah alasan mengapa lambang dan dasar negara serta potret persiden dan wakilnya dipajang tinggi di dinding depan. Sementara itu, bendera negara hadir secara nyata pula. Foto-foto para pahlawan nasional juga dipasang memenuhi dinding kelas. Hal ini masih ada kaitan dengan pesan-pesan nasionalisme dan penghormatan kepada negara.
Terkait dengan ikon-ikon negara yang selalu dijumpai di kelas, maka yang sudah pasti “nasibnya” adalah potret presiden dan wakilnya. Paling tidak setiap lima tahun akan diganti dengan yang baru. Namun tidak demikian ceritanya ketika Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto. Bayangkan, selama 32 tahun, potret Pak Harto abadi di ruang kelas di seantero Indonesia. Yang diganti tentu saja foto wakilnya.
Sementara itu, bendera merah putih di ruang kelas, makin hari makin pudar. Demikian pula sederet potret pahlawan nasional. Potret Tuanku Imam Bonjol atau I Gusti Ngurah Rai, sudah lama pudar. Tidak hanya pudar namun juga diabaikan oleh siswa, bertahun-tahun yang panjang. Pelajaran sejarah atau pelajaran warga negara seolah tidak pernah sanggup menyentuhnya. Pun ruang-ruang kelas itu makin bisu ketika potret para pahlawan dan bendera merah putih “pucat pasai”.
Pada dinding kelas yang juga hanya sekali dicat ketika dibangun, tertempel berbagai semboyan pendidikan, kampanye narkoba dan HIV, Dewa Nawa Sanga, dan hasil prakarya anak-anak. Inipun sama nasibnya dengan potret pahlawan yang memudar. Setiap ada karya baru berebut ruang. Di sudut-sudut kelas, terutama di belakang dipenuhi alat-alat kebersihan, seperti sapu lidi dan sapu ijuk yang tidak tertata rapi. Kelak, ketika digaungkan GLS, dengan salah satu wujudnya berupa adanya pojok baca, maka ruang kelas itu makin sesak.
Keadaan di atas yang mengabaikan dinding kelas, adalah satu kenyataan betapa lemahnya pengelolaan kelas secara fisik. Salah satu bentuk pengelolaan ruang kelas adalah dengan menata dekorasi dinding. Karena ruang sangat terbatas maka harus ada periode pajang atau periode tempel karya di dinding ruang kelas. Sehubungan dengan ini juga, semboyan-semboyan pendidikan dan berbagai kampanye harus diperbarui agar nyaman dipandang. Potret para pahlawan juga harus diperbarui. Semua ikon nasionalisme, pendidikan, karakter, yang berupa poster atau aforisme, harusnya diperbarui. Pengelolaan ruang kelas akan mampu menjadikan semua ikon dan informasi di dinding bermakna bagi siswa. Agar dinding-dinding kelas bercerita kepada siswa.
Dinding-dinding kelas yang bercerita SDN 1 Selumbung, di Kabupaten Karangasem, sungguh berbalik dari kondisi dinding-dinding kelas SD pada umumnya. Dinding-dinding itu sepenuhnya didedikasikan kepada anak-anak yang menempatinya. Guru-guru bekerja bersama untuk memanfaatkan dinding kelas-kelas agar tidak semata tempat ikon negara yang toh juga diabaikan; tetapi untuk lingkungan yang semarak cerita atau narasi visual bagi anak-anak.
Gambar-gambar penuh warna yang berukuran sangat besar, sebagimana misalnya dibuat di ruang baca perpustakaan, membawa siswa masuk ke dalam dunia cerita yang dibangun oleh gambar itu. Lukisan di ruang perpustakaan yang memenuhi satu sisi bagian depan menunjukkan bentang alam yang menghadirkan keceriaan khas anak-anak. Keceriaan ini diposisikan pada dunia buku. Lewat gambar ini, SDN 1 Selumbung hendak menarik perhatian semua siswa karena sejatinya dunia membaca atau dunia literasi yang berwujud perpustakaan sekolah adalah dunia yang penuh dengan bentangan alam keceriaan. Makna atau dampak gambar dinding yang bercerita ini memberi kesan yang sangat menggembirakan atau menghadiahi anak-anak dengan keceriaan. Di dalam suasana hati yang ceria itulah mereka belajar dan selalu membaca untuk menjadi siswa yang literat setamat dari SDN 1 Selumbung. Sudah cukup membangun fondasi literasi yang kokoh, lewat pengalaman sekolah literat ini.
Di kelas I, ada dua gambar besar di dinding belakang. Ketika Ibu Guru kelas I yang sangat berpengalaman, mengajar di salah satu sudut kelas ini, yang dilatarbelakangi oleh gambar besar, berupa sebuah pohon yang menjulang tinggi, mengesankan bahwa mereka sedang belajar di bawah sebuah pohon yang rindang. Gambar ini sungguh penuh makna bagi siswa dan pasti sangat mengesankan. Kesan atau kenangan belajar di kelas ini akan mengisi nurani anak-anak ini. Dampak estetika gambar ini sangat kuat bagi siswa dan tersimpan untuk dibawa ke masa depan.
Selain itu, ada dinding di sudut sekolah yang menjadi bagian taman, berupa tembok tiga sisi, tempat adegan-adengan terpenting tiga cerita yang berbeda, dipahat. Pada satu sisi adalah relief dari khazanah Tantri Kamandaka yang di Bali terkenal dengan satua Ni Diah Tantri. Sisi berikutnya adegan Arjuna bertapa, dari cerita Arjunawiwaha, pecahan epos Mahabarata yang sangat terkenal di Bali, baik lewat seni pertunjukan maupun seni lukis tradisional. Sisi ketiga adalah seorang pemburu yang ketakutan di atas pohon, sementara di bawahnya seekor harimau hendak memangsanya. Inilah salah satu adegan kunci cerita Lubdaka yang dikaitkan dengan perayaan Malam Siwa dari lontar Siwaratri Kalpa, khazanah sastra Jawa Kuno, zaman Kediri.
Di SDN 1 Selumbung, literasi tidak lagi sebatas gerakan 15 menit baca buku dalam rangka GLS (Gerakan Literasi Sekolah) yang masif tetapi juga jauh sebelum itu, literasi berdenyut dari jantung pendidikan sebuah sekolah bertaraf internasional “milik” Desa Selumbung, yang dikelola oleh kepala sekolah berpendidikan magister dan sekaligus penulis puisi, Ida Ayu Sugiantari, S.Pd., M.Pd.. Karena itu, tiga relief ini yang tidak memaksakan gaya seninya yang serius serius (ala orang dewasa) adalah ruang atau titik temu dunia teks (buku) dengan dunia teks yang lain, yakni realitas visual.
Tiga dinding relief ini berbicara dan bercerita soal persahabatan dan kesetiaan sepasang angsa dan seekor empas walaupun nasib si empas amat tragis karena tidak mengikuti kata-kata sahabatnya sebelum “penerbangan” itu terjadi berbicara soal filosofi keguhan hati sorang pertapa yang divisualkan dengan gaya seni anak-anak; bercerita soal ambivalensi Lubdaka sang pemburu, antara membunuh dan dosa.
Dinding-dinding yang bercerita memperkaya pengalaman narasi anak, yang tidak selamanya verbal tetapi juga visual, dimana di dalamnya pembagian, proporsi, dan komposisi ruang ikut berperan penting. Di SDN 1 Selumbung, dinding-dinding kelas dan sekolah tidak hanya didedikasikan bagi pembentukan jiwa nasionalisme siswa, dunia yang masih asing buat mereka, namun pendidikan di sekolah sebagai praktik politis akan meleburkan mereke ke dalamnya walaupun di tengah ironisme ketika bendera, burung garuda, sederet potret pahlawan nasional, semboyan-semboyan pendidikan dan karakter dan kampanye narkoba atau HIV-AIDS; harus memudar karena sikap abai sekolah; namun dinding di SDN 1 Selumbung, benar-benar bercerita banyak kepada siswa.(*)
Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.