Singaraja, koranbuleleng.com | Pasangan suami istri, I Wayan Sukerta dan Wayan Budatri, sedang duduk santai di bale bengong di rumahnya di Dusun Bukit, Desa Jinengdalem, Kecamatan Buleleng, Bali, Minggu sore 14 Januari 2024. Rumah mereka tepat berada dipinggir jalan dusun itu. Di depan rumahnya, tampak beberapa kain jumputan dijemur agar mendapat sinar matahari.
Wayan Budatri, adalah salah satu perempuan penenun di desa ini. Umur Budatri sudah mencapai 55 tahun. Dia sudah menenun kain Songket sejak remaja, diajarkan oleh orangtuanya.
Saat santai duduk di bale bengong itu, dia sedang bercengkerama dengan suami, I Wayan Sukerta. Tangan Sukerta tampak merapikan kain-kain Songket yang sudah selesai dalam proses tenun. Sementara, Budatri sedang merapikan sejumlah buah-buahan setelah ada upacara manusia yadnya.
Di teras depan rumah Budatri, sudah terpasang sebuah alat tenun tua nan kokoh. Alat tenun yang dinamakan cagcag itu sudah menjadi warisan dari pendahulunya. Dia generasi ketiga dari keluarga suaminya yang mengggunakan alat tenun itu.
Sore itu, di alat tenun itu sudah terpasang warna-warni benang sutra, diantaranya ada warna keemasan sebagai ciri khas warna Songket. Dia sendiri memasangnya, dua hari sebelumnya. Namun karena kesibukan lain dia menunda dulu pekerjaan menenun itu.
Saat ini, kata Budatri, menenun kain Songket menjadi pekerjaan sampingan, berbeda dengan di masa lalu. Warga yang biasa menenun lebih memilih untuk memprioritaskan pekerjaan lain seperti bertani, berdagang dan lainnya. “Sore harinya jika pekerjaan yang utama sudah selesai dan jika tidak capek, baru menenun,” terang Budatri, membuka ceritanya.
Saat ini, sulit mencari generasi penerus untuk menenun songket. Kebanyakan, warga memilih untuk bekerja lain karena lebih cepat menghasilkan uang. Sementara, proses menenun kain Songket cukup lama. Bisa dikerjakan berminggu-minggu sehingga penghasilannya juga lama. Itu juga menjadi salah-satu alasan bagi penenun yang sudah ada, untuk mengerjakan secara sampingan selain pekerjaan utama.
“Sekarang yang muda-muda sangat jarang menenun lebih banyak bekerja lain, ada yang ke luar negeri, atau merantau bekerja hotel ke Badung.” kata Budatri.
Dia sendiri mengaku saat ini belum mempunai generasi penerus untuk meneruskan pekerjaan tenun songket ini. Dia juga mempunyai kehawatiran tersendiri, jika suatu saat kain Songket khas Jinengdalem ini punah karena tidak ada lagi yang mau menenun. Dia merasakan, bagaimana orangtua begitu riuh dengan kehidupan dan segala bunyi dari alat tenun itu, sehari-harinya.
Sejak lama, desa Jinengdalem adalah penghasil kain songket tersohor di Bali. Hampir setiap warga di rumah mereka mempunyai cagcag untuk menenun Songket. Dari desa ini, muncul berbagai motif Songket yang khas seperti motif gunung-gunungan, motif wayang, motif tumpal, motif pinggiran dan banyak lagi. “Kalau soal motif Songket banyak sekali disini,” kata dia.
Budatri bisa menyelesaikan satu kain Songket dengan waktu dua minggu bahkan lebihdari satu bulan. Tetapi dia juga menerima tenun Songket dari perajin lainnya di sekitar rumahnya. Dia sendiri yang membelikan benang sutra bagi perajin lainnya. Nanti para perajin itu, menyerahkan hasil tentunnya kepada Budatri dan juga mendapatkan upah sebagai jasa membuat kain Songket.
Budatri memasarkan kain-kain Songketnya secara tradisional. Dia bersama suaminya kadang mempunyai hari pasar tertentu, menjualnya ke daerah lain seperti wilayah Pasar Kintamani, Pasar Badung, dan hingga Klungkung dan Karangasem. Dia sudah mempunyai pelanggan tetapdi sejumlah wilayah.
“Makanya kalau bawa barang (kain) itu tidak banyak, misalnya hanya tiga atau empat kain Songket. Ada juga kain jenis jumputan,” terang Budatri.
Sambil menjual kain Songket, Budatri juga mencari benang untuk bahan songket. Namun, hidup di era teknologi seperti sekarang juga dimudahkan, dia kadang meminta tolong kepadaanak-anaknya untuk memesan benang sutra hanya melalui ponsel saja. “Jadi tinggal telepon juga bisa dikirim langsung ke rumah oleh penjualnya,” katanya. Harga untuk benang sutra sebagai bahan Songket cukup mahal dan mempengaruhi harga kain Songket juga menjadi mahal.
Budatri mengaku, harga kain Songket juga bervariasi, tergantung motif dan kualitas bahan sutranya. Ragam harga kain Songket bisa dari harga Rp1.800.000 hingga Rp4.000.000. Selain Songket, Budatri juga memproduksi kain tradisional, yakni kain Jumputan.
Menurut sang suami, Wayan Sukerta, kain jumputan yang diproduksi tradisional di Jinengdalem memang bukan khas dari Jinengdalem. Kain Songket yang paling awal adadi Desa Jinengdalem. Produksi kain Jumputan di Desa Jinengdalem karena pengaruh dari daerah Klungkung.
Sejumlah warga menenun jumputan untuk memenuhi pasar tentang kain tradisional. Namun seiring perjalanan, kain jumputan dari Desa Jinengdalem juga mampu bersaing di pasaran, banyak peminatnya.
“Alat tenun untuk Jumputan ini berbeda, lebih besar lagi dan tidak menggunakan cagcag untuk menenun Songket,” terangnya.
Perbekel Desa Jinengdalem, Ketut Mas Budarma juga sempat mengenang desanya di masa lalu dengan suasana perkampungan tenun yang khas. Bebunyian yang ditimbulkan dari cagcag ini saat perempuan-perempuan desa menenun menjadi kehasan. Hampir setiap rumah warga berisi cagcag dan perempuan bisa menenun hingga malam hari.
“Saya mengingatnya sampai sekarang, kalau malam hari bunyi bunyi cagcag itu terdengar sekali. Khas sekali bebunyian itu dan menandakan bahwa perempuan-perempuan desa sedang menenun,” kenang Mas.
Dia mengakui generasi muda saat ini tidak banyak yang berminat untuk menenun. Anak muda lebih memilih pekerjaan lain.
Saat ini, kata Mas, warga desa yang menenun lebih banyak perempuan yang berumur diantara 45 tahun – 55 tahun. Itupun masih menjadi pekerjaan sampingan.
“Biasanya lebih banyak warga bekerja di sawah, walaupun ada yang jadi buruh tani mereka bisa mendapatkan upah paling minim seratus lima puluh ribu perhari.” kata Mas.
Sementara, kata Mas, penghasilan dari menenun jauh lebih kecil karena sebagian perajin tenun ini menyerahkan hasilnya kepada pengepul. Para perajin ini biasanya diberikan modal dalam bentuk bahan-bahan tenun seperti benang ataupun peralatan tenun lainnya. Hasil dari kain Songket dikembalikan kepada pemodal atau para pengepul, dan para penenun biasanya mendapatkan upah untuk jasa menenun.
Pemerintah desa Jinengdalem bersama BUMDesa setempat sedang menata potensi unggulan ini dengan membentuk kelompok usaha perajin Songket. Bumdes akan memberikan bantuan permodalan bagi kelompok usaha hingga memberikan akses promosi dan pemasaran. Cara itu juga salah satu upaya memancing warga untuk kembali membangkitkan tenun Songket khas Jinengdalem.
“Dengan upaya ini kita berharap, tidak sampai merugikan mereka sebagai perajin Songket.” Ujar Mas.
Saat ini, keberadaan penenun Songket itu lebih banyak berada di tiga dusun, yakni Dusun Bukit, Dusun Kerep dan Dusun Gambang. Dia berencana membuat terobosan, Desa Jinengdalem sebagai salah satu desa wisata dengan produk unggulan warisan tradisi Songket ini.
“Saya merancang untuk membuat paket wisata misalnya wisatawan berkunjung ke penenun songket. Ada yang mengajarkan bagaimana membuat songket, jadi wisatawan mencoba langsung,” katanya. (*)