Singaraja |Beberapa waktu lalu, sempat berkunjung ke Desa Sidatapa, sebuah desa tua di Buleleng. Berada di ketingian sekitar 500 – 600 diatas permukaan laut. Desa tua yang berada di wilayah Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng ini ternyata masih mampu menceritakan masa lalunya dengan beragam warisan adat dan budayanya yang masih bertahan di jaman modernisasi seperti sekarang.
Saat berkunjung, ada sejumlah anak-anak dan remaja yang sedang berlatih Tari Rejang. Latihan tari Rejang ini sebenarnya sangat sering digelar oleh Pasraman dari Desa Pekraman Sidatapa tiada lain untuk menjaga eksistensi warisan adat dan budaya Desa Sidatapa.
Menurut ahli tabuh yang juga mantan Kelian Desa Pekraman Sidatapa, Ketut Arka, ada 14 jenis Tarian Rejang khas dari Desa Sidatapa. Ke-14 tarian itu sebenarnya punya makna yang saling terkait.
Empat belas jenis Rejang itu adalah Rejang Penundun, Rejang Papag Rurung, Rejang Ginada, Rejang Tanding, Rejang Lilit, Rejang Embat-embatan Penyalin, Rejang Cirig Kuri, Rejang Lilit Nyali, Rejang Pereret, Rejang Embung Kelor, Rejang Ginangring, Rejang Renteng, Rejang Legong Manis, Rejang Legong Bantes.
Tarian-tarian rejang ini ditarikan pada saat hari-hari piodalan di Desa Sidatapa, baik itu pada saat Hari Raya Galungan maupun piodalan di pura-pura di Desa Sidatapa.
“Sebenarnya memang harus ditarikan tari-tarian ini, supaya warisan adat dan budaya leluhur bisa terjaga dan lestari dengan baik. Pantangannya hanya ketika ada remaja yang mengalami masa haid tidak boleh menarikan tarian rejang,” kata Ketut Arka di sela-sela latihan Tari Rejang yang digelar di halaman SDN 2 Desa Sidatapa.
Arka menyebut, desa pekraman secara khusus merekrut anak-anak dan remaja ini untuk ikut latihan tari-tarian rejang dan tari lainnya yang khas Sidatapa untuk mewujudkan kelestarian warisan adat dan budaya desa Bali Aga.
Semua gerak tarian sebenarnya mempunyai makna yang saling terkait secara langsung, kata Arka. Kalau Tari Rejang Penundun bermakna sebagai membangunkan anak-anak dan remaja desa untuk segera berias menarikan tari-tarian sakral ini. Lalu kedua, Tari Rejang Papag Rurug bermakna menjemput para penari dengan tarian papag rurug. Sampai pada Tare Rejang yang terakhir yakni Tari Rejang Legong Bantes, artinya sampai di batas itulah tari ini ditarikan.
Penyarikan Desa Pekraman Sidatapa, Nyoman Tarma menambahkan beberapa tarian seperti Tarian Rejang Penundung hingga Tari Rejang Ginangring dipentaskan oleh anak-anak atau remaja, sementara tiga tarian Rejang yakni Tari Rejang Renteng, Rejang Legong Manis dan Rejang Legong Bantes harus ditarikan oleh orang-orang dewasa. Jumlahnya ada tujuh penari yang melambangkan dedari atau bidadari.
Diluar tarian rejang itu, Desa Sidatapa juga mempunyai tarian dan tetabuhan khas Desa Sidatapa. Mislanya ada tetabuhan Palian Taksu, Tabuh Taksu dan kedua tabuhitu sangat sakral. Tetabuhan ini biasanya digunakan untuk mengiringi penari yang kerauhan.
“Jika tetabuhan ini dibunyikan atau ditabuh maka akan ada yang kerauhan. Yang kerauhan ini secara otomotais akan menari dan diiringi oleh tetabuhan itu,” jelas Tarma.
Ada pula Tarian Jangkang, Tarian menggung, Tarian Ngaleganti, Tarian Ngabwang, Tari Pendet dan Tari Baris semua tarian itu adalah tarian khas Desa Sidatapa.
Semua tarian khas desa Sidatapa itu kini diajarkan kepada anak-anak desa setempat. Terutama, mereka yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan remaja. Pihak desa pekraman Sidatapa justru sngaja mencari anak-anak untuk diajar menarikan kesenian desa untuk mengantisipasi pula perkawinan usia dini yang masih sering terjadi.
“Sedari mereka kecilah yang harus kita latih, karena ketika mereka sudah dewasa sangat sulit karena masih banyak anak-anak yang menikah diumur 17 tahun. Maka itu, supaya ada waktu yang panjang, maka anak-anak ini harus sejak dini dilatih sehingga kelak mereka dewasa mereka sudah mengetahui dan pasti akan menekuni tarian khas Desa Sidatapa. Kecintaan mereka akan tumbuh sehingga mereka lebih memilih untuk melestarikan adat dan budaya,” papar Tarma.
Tari dan tabuh, kata Tarma terkait erat dengan upacara adat yang ada di Desa Sidatapa. Beberapa upacara adat yang juga sangat sakral yang ada di Desa Sidatapa yakni Upacara Beriang Agung. Makna Beriang artinya Meberiong, Meberiug atau sinarengan, mebarengan sementara Agung artinya Besar. Tujuannya ngerebeg nyiatin satru yang berupa Buta-buti atau buta kala.
Upacara Beriang Agung ini adalah upacara besar yang dilaksanakan setiap tiga tahun sekali di Pura Desa. Sarana upacara ini salah satunya menggunakan hewan hutan berupa kijang. “Maka sebelum upacara warga secara rama-ramai melakukan perburuan seekor kijang di hutan belantara,” ujar Tarma.
Selain itu ada juga Upacara Sanghyang Gandrung. Upacara ini adalah upacara pecaruan yang digelar selama 42 hari. Upacara ini juga ada tariannya sebagai simbolnya, Sangyang ditarikan oleh dua orang wanita lajang yang disimbolkan sebagai dedari, sementara Gandrung adalah simbol Genderuwo yang ditarikan oleh laki-laki berpakaian wanita. Upacara ini diadakan setiap tiga tahun sekali.
“Dulu pernah diadakan setahun sekali, namun karena ada pantangan hari atau dewasa seperti tumpek lut, muncal balung maka digelarlah setiap tiga tahun sekali,” ujarnya.
Semua warga terlibat dalam upakara pecaruan ini. Pecaruan itu diadakan di masing-masing rumah warga atau di pemesuan (pintu gerbang) rumah. Sarana upacaranya segehan caru, diatas terdaat dua caru berwarna putih dan dibawahnya manca warna.
Pada penutupan upacara Sanghyang Gandrung juga diadakan puncak acara berupa mesuang tegen-tegenan seperti pale bungkah, pale gantung.
Rumah tua
Sebagai Desa tua, Sidatapa juga punya ciri khas tersendiri yakni berupa rumah adat. Rumah adat ini secara khusus dibangun berlawanan arah dengan jalan raya. Hal ini menjadi tradisi di masa lalu, karena konon warga desa Sidatapa adalah orang-orang terdesak oleh kekuatan Prajurit Majapahit di masa lalu.
Maka dari sisi keamanan, warga Sidatapa pun membuat rumah yang berlawanan arah dan jika terdesak bisa menyelamatkan diri. Begitulah kata Wayan Ariawan, salah satu tokoh masyarakat Desa Sidatapa menceritakan terkait Rumah Adat Sidatapa ini.
Namun seiring dengan perkembangan jaman, Diakui oleh Wayan Ariawan, warga juga kini sudah mulai membangun rumah berhadapan dengan jalan raya, bahkan di jalan raya banyak warga yang sudah membuat usaha pertokoan.
“Ya ini mungkin karena sudah menjadi bagian perkembangan jaman. Mereka berupaya untuk memaksimalkan diri dari sisi ekonomi. Namun tetap tradisi dipertahankan dengan membuat bagian-bagian rumah adat khas sidatapa,” kata Ariawan.
Dari sisi bahan bangunan, kata Ariawan juga bangunan masa kini di Desa Sidatapa sudah berbeda. Sudah banyak yang menggunakan bata atau batako. Tentu ini bagian dari perkembangan jaman, karena tidak mungkin kini warga mencari bahan bangunan seperti dulu kala.
Rumah adat Sidatapa itu dinamakan Bale Gajah Tumpang Salu. Bahan bangunanan rumah adat Sidatapa terbuat dari batu paras dan tanah liat.
“Dulu tanah liat ini dicampur dengan air tuak sebagai bahan perekat dinding rumah. Lalu tanah liat ini dilempar-lempar begitu saja ke dinding untuk merekatkan batu-batu paras untuk dinding rumah,” ujar Ariawan.
Walaupun banyak yang membuat rumah bergaya masa kini, tetapi rumah-rumah adat di Desa Sidatapa masih banyak yang dipertahankan. Umurnya sudah mencapai ratusan tahun.
Rumah adat Desa Sidatapa ini dinamakan Bale Gajah Tumpang Salu. Bale dimaknai sebagai tempat berlindung atau rumah, Gajah dimaknai sebagai perlambang ilmu pengetahuan, Tumpang Salu dimaknai Tiga Bagian.
Artinya, Rumah adat Desa Sidatapa terdiri dari tiga bagian atau tingkatan secara keyakinan warga setempat. Dibagian pertama disebut Nista Mandala atau tempat untuk menerima tamu maupun kerabat. Setelah itu ada ruangan Nista Madya Mandala atau bilik kedua sebagai tempat bagi pemilik rumah untuk menjalankan aktifitas rumah tangga seperti memasak, makan dan sebagainya.
Di bilik Nista Madya Mandala ini juga ada tempat perapian atau Dapur yang diyakini sebagai perlambang stana Dewa Brahma, Tempat penyimpanan air sebagai perlambang stana Dewa Wisnu, serta Penyimpanan Beras sebagai perlambang stana Dewa Sri.
Di Nista Madya Mandala juga ada tempat untuk menaruh sagi atau punjung ketika hari raya tiba.
“Jadi warga di sidatpa itu mekaukan semua aktiftas kehinduannya di dalam rumah. Berbeda dengan warga diluar Bali Aga kalau misalnya aktifitas memunjung pasti akan ke setra, warga sidatapa cukup di dalam rumah saja,” terang Ariawan.
Setelah itu, ada ruang atau bilik Utama mandala sebagai tempat yang sangat disakralkan. Disinilah, warga Sidatapa juga melakukan persembahyangan. Sebuah Pelinggih Kemulan ditempatkan diatasnya tepat dibawah atap rumah.
Dibawah pelinggih di sisi kanan dan kiri ada tempat tidur. Tempat tidur ini dibagian sisi kanan ditempati oleh orang tua, bapak dan ibu. Sementara disi kiri ditempati oleh anak-anaknya.
“Jika anak-anaknya sudah menikah, maka mereka wajib untuk membuat rumah yang sama di areal lain. Jika karena faktor ekonomi belum bisa membuat rumah, maka pasangan suami istri yang baru menikah ini dibuatkan bilik di bagian Nista Mandala,” terangnya. Begitupun ketika ada keluarga yang meninggal, jenasah ditempatkan di area bilik Utama Mandala.
Diatas pintu rumah yang paling depan, warga jugamenematkan sebuah pelangkiran. Pelangkiran ini sama maknanya dengan sanggah Penuun Karang yang dibangun oleh warga diluar Bali Aga.
Walaupun tergerus jaman, rumah-rumah adat di Desa Sidatapa masih banyak berdiri terutama di dusun-dusun terdalam di wilayah desa ini. Mereka masih tetap melestarikan sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur. |NP|