Singaraja, koranbuleleng.com| Kehidupan tiga bocah bersaudara yang tinggal di dusun Sangburni, Desa Pakisan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng ini memang tidak ringan. Lantaran, kedua orangtuanya telah meninggal dunia beberapa tahun lalu.
Gede Cakra, ayah ketiga bocah malang ini telah berpulang pada bulan Desember 2016, tahun lalu akibat sakit komplikasi diabetes yang menggerogoti tubuhnya sejak tiga tahun silam. Sedangkan sang ibu Luh Sari juga sudah berpulang lebih dulu lantaran sakit sesak nafas akut yang dideritanya.
Siapakah tiga bocah malang warga desa Pakisan itu?
Tiga bocah malang itu, yakni Luh Meli Puspa Dewi (14 tahun), Kadek Sastra Gunawan (11 tahun) dan Komang Tulus Radiasa (7 tahun). Sejak kejadian itu, mereka bertiga kini dirawat oleh keluarga yang berbeda. Pasutri Nyoman Rempon (54) dan Luh Rediti (51) sepupu mendiang alm Gede Cakra merawat Luh Meli Puspa Dewi dan Komang Tulus Radiasa. Sedangkan Kadek Sastra Gunawan kini tinggal bersama Ketut Suarta (46) yang juga masih sepupu mendiang almarhum Gede Cakra.
Ketiganya kini harus menjalani tempaan hidup yang demikian keras, hingga sering kali membuat ketiga bocah itu harus kehilangan indahnya momen masa kecilnya.
Ketika koranbuleleng.com mengunjungi ketiga bocah malang pada Minggu, 12 Maret kemarin, Luh Meli terlihat sedang sibuk di beranda bangunan rumah semi permanen yang berdiri diatas tanah seluas 100 meter persegi. Kedua tangannya pun terlihat cekatan, merapikan tumpukan pakaian yang sudah mengering. Selang beberapa menit tumpukan pakaian tersebut sudah nampak tersusun dengan rapi.
Luh Meli kemudian langsung menuju sebuah ruangan berukuran sekitar 1 x 1,5 meter untuk meletakkan tumpukan pakaian yang sudah dirapikannya. Sepintas, terlihat ada tiga ruang tidur yang posisinya berderet pada bangunan yang ditempati oleh Luh Meli bersama si bungsu Komang Tulus.
Ternyata, bangunan yang ditempati kedua bocah itu merupakan rumah satu satunya peninggalan orangtua yang baru saja selesai direnovasi.
Setelah itu, Luh Meli bersama Komanng Tulus kembali melangkahkan kakinya menuju sebuah bangunan rumah yang jaraknya berdekatan dengan letak rumah miliknya. Rupanya, rumah yang dituju merupakan tempat usaha pembuatan kerupuk.
Tanpa rasa ragu sedikitpun Luh Meli kemudian duduk diantara anak anak seusianya dan langsung mengambil potongan plastik berlogo krupuk Arvina. Usaha kecil rumahan itu milik pamannya sendiri.
Di mata pemilik usaha kerupuk, Gede Sumerada (38), Luh Meli merupakan sosok anak yang bertanggung jawab kepada adik-adiknya. Karena sejak kecil selalu dididik prihatin oleh mendiang orangtuanya agar tahu betapa sulitnya mencari uang.
Melihat nasib ketiga bocah malang itu, Sumerada sangat merasa iba. Apalagi ketika melihat anak-anak lain hidup berbahagia berkumpul bersama keluarga dan orangtuanya, namun mereka hanya hanya dapat berandai-andai mengalami hal serupa.
“Dia (Luh Meli) dari dua bulan sudah diajak untuk bantu bungkus kerupuk. Bagi kami, terpenting tidak ganggu sekolahnya. Kasihan nasib keponakan kami,” ujar Sumerada.
Menurutnya, pekerjaan yang dilakoni Luh Meli banyak membuat warga bersimpati karena mereka berjuang hidup tanpa harus mengemis di jalan atau mengharap belas kasihan orang lain
“Biasanya Luh Meli bantu kami sepulang sekolah. Upah membungkus kerupuk bisa Rp 15 ribu, hanya tiga jam. Kami selalu berpesan, agar Luh Meli selalu mengutamakan tugas-tugas yang diberikan sekolah terlebih dahulu,” ungkapnya.
Bagi ketiga bocah malang itu, tidak ada waktu untuk bermain atau bersosialisasi dengan anak-anak sebayanya, demikian pula ketika libur akhir pekan atau liburan panjang tiba. Mereka selalu meluangkan waktu untuk mengais rupiah.
Sambil membungkus kerupuk, Luh Meli mengatakan kerap bersedih karena tak ada lagi orangtua yang bisa menjadi tempat baginya untuk mengadu dan berkeluh kesah.
Terutama bagi adiknya si bungsu, Komang Tulus. Namun dirinya selalu bersyukur karena banyak keluarga yang masih peduli dan memperhatikannya. Salah satunya, Luh Rediti.
Selama ini dia bersama si bungsu menggantungkan hidup kepada Luh Rediti mulai dari urusan makan, sekolah juga kesehatan.
Kegetiran yang dialami Luh Meli bersama kedua adiknya tidak membuatnya menjadi pasrah. Siswi yang tengah duduk di kelas VIII di SMP N 4 Kubutambahan selalu bersemangat dan penuh percaya diri. “Sekolah jalan kaki, jarak rumah dan sekolah kira-kira satu setengah kilometer,” ujarnya.
Luh Meli memiliki cita-cita yang sangat mulia, dia sangat berharap kelak bisa menjadi seorang guru.
“Saya ingin melanjutkan sekolah sampai kuliah, karena inginnya sih jadi guru saja. Biar bisa bantu adik-adik,” ungkap Meli. Meraih asa serta harapan tersebut memang bukan perkara mudah bagi Luh Meli. Apalagi di era modernisasi seperti sekarang ini.
Persoalan yang kerap membuatnya kebingungan, terutama ketika ada tugas sekolah yang mengharuskannya untuk mencari di situs internet. Keterbatasan kemampuan ekonomi kembali menjadi penghalang. Uang yang mereka dapatkan dari bekerja membungkus kerupuk itu kerap kali tak menjangkau kepentingan sekolah dan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Bingung, jika ada tugas sekolah. Uang tidak punya dan harus cari tugasnya di internet. Biasanya menghabiskan Rp 10 ribu dan juga bisa lebih. Belum lagi ketika kami sekeluarga sakit mata, berobat ke puskesmas bayar karena kami tidak punya Kartu Indonesia Sehat (KIS), kalau Kartu Indonesia Pintar (KIP) kami punya,” ungkapnya.
Meski harus bekerja membungkus kerupuk, Luh Meli mengaku tidak malu. Dan alasan yang dilontarkan sangat mulia. Meli justru merasa bangga, karena pekerjaan itu bisa membantu meringankan beban keluarga.
“Tidak malu, ini kan semua halal. Kalau upahnya ada sisa, ditabung nanti bisa untuk bayar listrik juga beli alat tulis buat sekolah,” tutur Meli.
Atas kondisi itu, Luh Rediti mengaku kerap mencemaskan kehidupan dan masa depan ketiga keponakannya. Namun, apa daya, tubuhnya yang sudah makin menua membuatnya harus menerima keadaan ini tanpa bisa berbuat apapun dan hanya mengandalkan upah dari membungkus kerupuk.
Karena semangat dari anak-anak, semua beban keluarga bisa dipikul bersama-sama. Pulang sekolah, ia bersama ketiga keponakannya kembali bekerja membungkus kerupuk agar mereka tak sampai putus sekolah. “Saya sepupu dengan almarhum, bekal sekolah Luh Meli tiga ribu, dan Komang tulus tiga ribu. Mereka tidur di rumahnya, kebetulan satu halaman. Rumahnya Luh Meli kan baru diperbaiki, dapat jatah program bedah rumah tahun 2016,” kata Rediti.
Rediti pun sangat berharap ada pihak donatur baik swasta ataupun pihak pemerintah bersedia membantu meringankan kebutuhan anak-anak malang tersebut agar.
“Pesan terakhir almarhum Gede Cakra sebelum berpulang membuat pihak keluarga merasa ikut memilili tanggung jawab membesarkan anak-anak mereka. Amanah itu disampaikannya kepada Ketut Suarta,” jelasnya.
Detik-detik sebelum Gede Cakra menghembuskan nafas, Ketut Suarta diminta melanjutkan tugas sebagai orangtua asuh
Ketut Suarta warga dusun Sangburni, desa Pakisan mengatakan bahwa saat kondisi kesehatan mendiang Gede Cakra terus menurun, pada detik-detik terakhir sebelum menghembuskan nafas, almarhum sempat membisikkan sepenggal kalimat kepadanya.
Suarta yang sehari-hari bekerja mengandalkan pendapatan dari buruh harian lepas itu pun sempat terkejut mendengar amanah terakhir almarhum Gede Cakra.
“Ajakang panak icange, ede kutang-kutange. Bareng-barengin nah Tut … (jaga anak-anak saya, jangan dibuang begitu saja. Ajak anak saya ya Tut),” kata Suarta.
Mendengar amanah itu, tanpa keraguan Suarta yang telah memiliki tiga orang putra langsung menggantikan posisi Gede Cakra sebagai orangtua asuh.
“Amanah itu merupakan tanggung jawab yang harus saya emban. Namun kami hanya bisa membiayai mereka makan, dan biaya sekolah sampai SMP. Ekonomi keluarga kami pas-pasan, Kadek Sastra Gunawan saya yang asuh. Sepupu lainnya, diberikan tanggung jawab mengasuh Luh Meli dan Komang Tulus,” ungkapnya.
Sementara itu, Wayan Mudana selaku Kepala Sekolah SDN 1 Pakisan tempat Kadek Sastra mengenyam pendidikan mengatakan selalu memprioritaskan anak-anak yang kurang mampu untuk mendapatkan bantuan beasisiwa.
Menurut catatan dari pihak sekolah, terdapat dua orang siswa yang kurang beruntung di sekolah tersebut. Pertama, Kadek Sastra Gunawan dan terakhir siswa kelas VI, Gede Pandita putra alm Astawa yang juga ibundanya cerai dan juga bermukim di dusun Sangburni.
“Kami selalu mengutamakan bantuan beasiswa untuk siswa yang kurang mampu. Namun, pihak sekolah hanya mengusulkan dan menunggu kapan dana APBN itu turun, kalau sudah turun langsung kami bagikan,” singkatnya. |NH|