Singaraja, koranbuleleng.com| Permainan Gangsing adalah salah satu bentuk permainan rakyat yang bersifat tradisional. Di Buleleng, permainan ini sangat terkenal menjadi sebuah permainan yang juga bisa dipertandingkan.
Bisa dikatakan, hanya beberapa Desa saja yang memiliki permainan ini. Seperti Catur Desa Adat Dalem Tamblingan yang meliputi Desa Munduk, Desa Gobleg, Desa Gesing di Kecamatan Banjar, serta Desa Uma Jero di Kecamatan Busungbiu. Selain itu, ada pula Desa Bengkel di Kecamatan Busungbiu yang memainkan permainan tradisional ini.
Salah satunya dimainkan oleh Kadek Wahyudi Permana Putra. Pria yang kini telah berusia 17 tahun itu mengaku bahwa permainan gangsing adalah hobi. Ia mulai mempelajari permainan ini sejak usianya menginjak 12 tahun.
Saat itu, ketertarikannya terhadap permainan karena teman sepermainannya banyak yang belajar bermain gangsing. Terlebih lagi, baik ayah dan juga sanak saudaranya semuanya piawai memainkan Gangsing.
Menurutnya, menguasai permainan gangsing ini tidaklah mudah, terutama saat melemparkan gangsing ke tanah.
Diawal-awal belajar, Ia mengaku sangat kesulitan bahkan hampir menyerah. Beberapa kali kakinya terluka saat belajar melempar gangsing. Kini bekas luka itupun masih membekas pada bagian kakinya.
“Pertama yang sulit itu adalah ketika ngilit tali ke gangsing, itu kalau tidak kuat putaran gangsingnya tidak akan maksimal. Kemudian setelah itu dikuasai, baru melempar gangsing. Disana membutuhkan tenaga yang kuat. Kaki saya beberapa kali luka, karena terkena pentalan tali saat melempar gangsing,” Jelasnya.
Menurutnya, permainan gangsing di Desanya merupakan salah satu alat untuk melakukan interaksi sosial. Sebagian besar anak-anak seusianya dulu hingga sekarang memang hoby bermain gangsing. Karena terlalu sering berinteraksi dengan permainan ini, kini Ia pun sudah menguasai permainan ini dengan baik.
“Dulu kalau kumpul sama teman ya ngadu gangsing. Secara tidak langsung kami merasa apa yang kami lakukan itu sebagai upaya untuk pelestarian. Ya kami juga tidak menutup diri dengan dunia modern. Begini-begini kami juga sering bermain game online di HP,” Aku Wahyudi.
Disisi lain, permainan gangsing ini merupakan sebiah permainan tradisional untuk menanamkan nilai-nilai positif kepada anak-anak muda yang menekuninya. Khusus di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, atraksi Magangsing merupakan salah satu sarana untuk menyamabraya.
Dari lomba-lomba yang digelar, baik pemain atau masyarakat pendukung masing-masing Desa akan berbaur. Walaupun ada persaingan, namun hal itu justru semakin mempererat jalinan kerukunan.
“Melalui permainan ini, akan tertanam nilai-nilai positif kepada generasi muda. Apakah itu nilai sportivitas, dan juga nilai menghargai keluhuran budaya. Efeknya tentu akan berpengaruh pada perkembangan pariwisata. Namun yang harus diingat, Pariwisata itu bukanlah tujuan utamanya,” jelas Kelian Desa Pakraman Munduk, Jro Putu Ardana.
Menurutnya, hingga kini permainan gangsing di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan masih sangat eksis. Perkembangannya pun terjadi secara alamiah. Walaupun tidak ada lomba yang digelar oleh Pemerintah daerah, namun pertandingan-pertandingan persahabatan antar sekaa gangsing rutin dilakukan. Tentunya yang bertindak sebagai tuan rumah dilakukan secara bergilir.
Perkembangan dan eksistensi megangsing yang alamiah ini pun, menjadi salah satu faktor permainan tradisional ini masih sangat lestari, khususnya untuk regenerasi pemain. Faktor kebiasaan menjadi salah satu daya tarik anak-anak muda untuk mau mempelajari dan bermain gangsing.
“Regenerasinya juga berjalan secara alamiah. Karena pemain gangsing ini seringnya turun temurun. Alamiah itu justru membuat dia kuat pemahamannya. Walaupun gempuran teknlogi itu juga sangat kuat,” tegasnya.
Jro Ardana mengatakan, atraksi Magangsing di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan sudah ada sejak lama, jauh sebelum tahun 1950. Saat itu, warga setempat memainkan gangsing berdiameter 10 cm. Kemudian, periode 1950-1070-an, ukuran gangsing berkembang jadi diameter 15 cm.
Gangsing ini memang diproduksi oleh masing-masing desa itu sendiri. Biasanya, bahan yang digunakan adalah kayu keras dan memiliki serat yang halus, seperti kayu kemuning, lengkeng, asem, kesambi. Namun yang paling sering dimanfaatkan selama ini adalah kayu kemuning karena dirasa memiliki kualitas paling unggul.
Dahulu pula, ukuran gangsing memang tidak pernah memiliki standarisasi. Sekaa gangsing yang ada di Catur Desa bebas membuat gangsing dengan ukuran sebesar-besarnya.
Namun ketika tahun 2001, sempat dibuat sebuah kesepakatan tentang standarisasi gangsing yakni dengan lingkar diameter maksimal 66 Cm dengan berat maksimal 1,5 Kg. |Rika Mahardika|