|Wayan Artika |FOTO : arsip koranbuleleng.com |
Sebelum pandemi, moda daring (dalam jaringan) yang membawa pembelajaran ke ruang-ruang virtual, masih diabaikan. Ada sikap bersikeras pada prinsip bahwa bersemuka adalah moda yang paling sempurna. Pembelajaran-pembelajaran elektronik ketika itu hanyalah jargon inovasi dunia pendidikan. Pandemi memaksa guru mengajar dengan moda daring.
Siswa angkat kaki dari sekolah.
Sebagai paksaan, pembelajaran virtual tentu saja mempengaruhi kualitas. Pembelajaran pada umumnya menggunakan WAG dan sedikit pertemuan virtual dengan Zoom atau Meet. Tidak banyak yang dapat dilakukan dalam WAG. Grup kelas atau guru bidang studi menggunakan pola seperti ini.
Guru kelas/wali (di SD) membentuk WAG. Demikian pula guru-guru mata pelajaran (SMP, SMA/SMK). Setelah grup dibentuk, guru mulai “mengajar”. Guru menyapa siswa. Guru meminta siswa membaca buku pelajaran halaman sekian dan mengerjakan latihan halaman sekian. Kertas kerja siswa lalu dikirim kembali di grup. Semua itu terjadi dalam pesan-pesan WAG.
Demikian seterusnya. Semua guru melakukannya. Pada pertemuan berikutnya, kejadian yang sama berulang. Hanya berbeda dari segi halaman materi dan tugas yang harus dikerjakan. Setelah siswa mengirim foto kertas kerja di WAG, segala urusan belajar telah selesai. Karena itu, guru tidak pernah lagi mengomentari atau memberi pembahasan hasil kerja siswa. Siswa hanya menunggu tugas-tugas berikutnya. Sampai pada waktunya jadwal ulangan tengah semester pun tiba. Tidak terasa, satu semester akan berakhir. Semester baru, tiba. Tidak ada beda antara hari sekolah dan libur. Siswa kembali belajar yang sama artinya dengan membikin tugas (biasanya menjawab soal-soal), memoto, dan mengirim.
Berbagai survei dan riset telah dilakukan oleh lembaga dan para peneliti. Semua riset dan survei sepakat bahwa pembelajaran daring sarat dengan persoalan. Yang mengemuka adalah jaringan komunikasi yang tidak memadai, daya dukung perangkat (gawai), dan biaya pulsa internet. Namun di sisi lain, banyak survei juga yang mengungkap persoalan yang sangat mendasar, justru dialami oleh para guru: belum memahami konsep pembelajaran daring.
Hal itu masuk akal karena pandemi secara tiba-tiba dan radikal membelokkan pendidikan tatap muka fisik dan sosial ke pendidikan jarak jauh atau nontatapmuka atau daring. Mengapa belajar daring selama pandemi dirasakan penuh persoalan? Hal ini bukan semata-mata kendala teknologi dan daya beli paket data (kemiskinan orang tua siswa) atau ketidakmampuan guru; namun belajar secara virtual atau daring tidak sanggup memfasilitasi dimensi terdalam pendidikan, yakni dimensi sosial, kelembagaan dan hubungan-hubungan antarindividu.
Pembelajaran virtual menghancurkan dimensi sosial pendidikan. Ketika pandemi menutup sekolah-sekolah dan siswa kembali ke rumah-rumah keluarganya, sejatinya telah terjadi kehancuran, yaitu sekolah sebagai lembaga sosial, masyarakat sekolah, ruang interaksi guru dan siswa. Sekolah adalah ruang sosial bagi siswa yang sangat penting karena selama bertahun-tahun mereka tumbuh dan tidak luput dari keniscayaan dinamika sosial yang hebat.
Siswa sebenarnya siap saja belajar di rumah namun sangat tidak siap menerima kenyataan, hancurnya lembaga sosial itu: masyarakat sekolah atau sekolah sebagai sebuah sistem sosial. Ada kehilangan besar di sini. Kehilangan ini sangat mengganggu siswa ketika mereka menemukan dirinya di rumah. Mereka kehilangan upacara bendera, berdoa bersama lewat komando pengeras suara, hidup penuh peraturan, menunggu guru idola, persahabatan dan permusuhan, kompetisi fisik di lapangan olah raga, piket kelas, membaca buku dalam gerakan literasi, menunggu pelajaran berikutnya, romansa cinta anak sekolah. Siswa kehilangan ruang bercerita di hadapan teman-temannya. Siswa tidak lagi makan di kantin. Dan masih banyak aspek-aspek sosial yang hilang.
Siswa akhirnya belajar di rumah dalam segala perasaan keterasingan besar. Belajar bagi siswa adalah terintegrasinya dua kondisi atau dua dunia: dunia sosial yang dinamis humanis romantis dan dunia ilmu pengetahuan atau kurikulum. Dunia sosial siswa memang kurang dihayati bahkan oleh pihak sekolah karena dinilai tidak penting dan hanya memiliki ruang bertumbuh secara alamiah. Sebaliknya, sekolah jauh lebih berpihak kepada dunia ilmu pengetahuan, dunia pelajaran, atau kurikulum.
Dimensi pengetahuan, pelajaran, dan kurikulum mendominasi sekolah, sebagai kegiatan resmi yang terlegitimasi. Di baliknya dimensi dunia sosial tumbuh secara alamiah, menjadi ruang-ruang yang ditempati oleh dimensi pengetahuan atau kurikulum.
Permasalahan belajar di rumah atau belajar daring adalah terrenggutnya dimensi sosial belajar di sekolah. Karena sikap lembaga pendidikan yang lebih mengutamakan dimensi pengetahuan dan keberpihakan kepada kurikulum nasional atau kurikulum negara, maka dimensi sosial diabaikan maka sudah pada ghalibnya pendidikan harus memberi perhatian terhadap dimensi sosialnya.
Dalam waktu-waktu yang masih belum pasti ini, kapan sekolah akan dibuka kembali, sekolah perlu menggalang pertemuan-pertemuan virtual yang bukan lagi pertemuan belajar akademik kurikulum tetapi terjadinya silaturahmi-silaturahmi virtual. Di dalam pertemuan ini diketengahkan agenda-agenda yang bernuansa kreatif, seperti stand up comedy, baca puisi, balas pantun, bercerita, bernyanyi atau musik, menyaksikan film pendek atau dokumenter, dan lain-lain. Silaturahmi virtual akan dapat mengobati kerinduan-kerinduan sosial siswa kepada sekolahnya (guru, kelas, kantin, lapangan olah raga, pohon di halaman yang rindang, graffiti-grafiti di bangku, dll.).
Silahturahmi virtual sekolah yang bisa dilakukan pada kelas-kelas atau satu sekolah secara menyeluruh adalah energi atau motivasi belajar di rumah bagi siswa. Mereka tetap memelihara tumbuhnya keyakinan bahwa, sekolah masih ada secara sosial. Dimensi sosial siswa harus diberi perhatian. Selama pandemi dan itulah awal ketika siswa dirumahkan, semuanya sibuk memikirkan kurikulum formal dan dengan cara inilah, siswa benar-benar diselamatkan dalam pemahaman semua itu sejatinya hanyalah adanya satu pandangan besar bahwa siswa adalah objek.
Dimensi sosial mereka diabaikan karena pendidikan daring dalam kelas-kelas dengan komunikasi virtual itu hanya sesak oleh beban pengetahuan dan kurikulum. Mungkin dalam pandemi, buku pelajaran dan tugas-tugasnya sudah dibaca dan dikerjakan, kurikulum kelas telah selesai atau tuntas, namun demikian, kekosongan, rasa hampa, dan keterasingan siswa di rumahnya sendiri, diabaikan. Semua pihak hanya fokus berbicara atau menyoroti jaringan internet yang tidak mendukung dengan maksimal, keterbatasan gawai, dan daya beli paket data karena orang tua siswa mengalami penurunan penghasilan secara signifikan. Sementara itu, kerinduan, rasa hampa, siswa tidak pernah diperhatikan. (*)
Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali, Kontributor koranbuleleng.com)