“Cinta Bersemi di Penimbangan” Mereka-reka PP Jadi Pantai Literasi

Suasana pagi di Pantai Penimbangan |FOTO : Wayan Artika|

Beberapa legenda Buleleng, kecap Meliwis (Sumber Rasa), Pantai Lovina, Drama Gong Banyuning dengan lakon Sampik, Siobak, dan tentu saja Jayaprana. Namun rupanya  tanah Lor Adri ini tidak pernah berhenti mencipta legenda. Sebut saja, yang paling tidak jelas: lapangan terbang atau bandar udara Bali Utara. Kabar beritanya bergulir naik turun dari timur ke barat dan sebaliknya. Segala ketidakjelasan soal bandara ini justru telah menjadi legenda.

- Advertisement -

Juga, Pantai Penimbangan tampaknya telah semakin melegenda sebagai pantai cinta romantis anak muda. Pantai yang membentang pada dua desa, Baktiseraga dan Pemaron sepanjang kurang lebih 4 kilometer sudah sejak lama menjadi tujuan bersosialisai anak muda. Lambat laun, menggusur popularitas eks-Pelabuhan Buleleng, sebagaimana kemeriahannya dilantunkan dalam lagu pop  Bali  yang berjudul “Sore-sore di Pelabuhan Buleleng” karya Gusti Made Yudana, S.H, musisi yang juga dosen Undiksha, asal Desa Pengastulan Seririt. Saking ramainya, Pantai Penimbangan atau PP, penuh sesak oleh warung-warung aneka  makanan dengan harga terjangkau semua kalangan.

PP tidak hanya tempat nongkrong bagi anak-anak muda tetapi, sesungguhnya dipersiapkan sebagai pantai yang menyajikan edukasi konservasi penyu.  Di sebelah timur Pura Penimbangan, sebuah komunitas penyelamat penyu dibangun. Penyu-penyu kembali ke pantai untuk bertelor. Komunitas ini mengumpulkan telor-telor tersebut di tempat penangkaran hingga menetas tukik-tukik, yang dipersiapkan selama beberapa minggu di kolam khusus. Ketika waktu pelepasan tukik ke laut tiba, maka komunitas ini mengundang masyarakat untuk ikut berpartisipasi. Merupakan “atraksi” yang sangat menarik dan ditunggu-tunggu.

Melalui keterlibatan tersebut, masyarakat mendapat edukasi ekologis. Mereka memperoleh informasi mengenai penyu dan untuk selanjutnya menyadari betapa hewan yang menjadi simbol umur panjang ini, tengah terancam. Pesan moral ekologis kegiatan ini adalah mengajak masyarakat untuk mendukung dan melakukan tindakan-tindakan konservasi. PP fokus pada konservasi penyu dan terumbu karang. Namun demikian, siapa saja yang pernah ikut kegiatan ini dapat melakukan konservasi apapun sesuai dengan minat dan persoalan lingkungan yang ada.

- Advertisement -

Jika dibandingkan dengan PP di sebelah barat Pura Penimbangan, PP di sebelah timur berkembang berdasarkan satu konsep yang jelas, sejalan dengan keberadaan komunitas pelestari penyu itu, hendak menjadi pantai dengan core edukasi ekologis bagi warga masyarakat. Jadi ada nilai tambah yang sangat penting hendak dikembangkan oleh para aktivisnya. Sementara itu, PP di sebelah barat pura, murni sebagai tempat rekreasi murah dan pusat kegiatan ekonomi rakyat.

PP timur pura Penimbangan penuh dengan warung-warung yang dibangun dengan pendekatan seni dan berkarakter kebebasan. Tampak sekali kreativitasnya. Terlihat dari penataan yang artistik, natural, merakyat, namun mengusung semangat ekologi dan kebebasan berekspresi.

Tidak hanya itu, masih di PP sebelah timur, Warung Dewangkara hadir memikat dengan mengusung konsep literasi. Hal ini tampak dari lingkungan warung yang sangat kaya dengan teks walaupun berupa kutipan. Pengunjung disuguhi oleh berbagai teks yang mengundang “selera”. PP akan menjadi legenda urban di Kota Singaraja. Dengan melihat konsep pada Warung Dewangkara, maka PP tidak terlalu sulit akan lahir menjadi pantai literasi. Hal ini bisa diusung bersama oleh setiap warung di kompleks PP timur Pura Penimbangan.

Mengunjungi PP yang literat adalah berdampak pada sentuhan atau gesekan terhadap budaya literasi masyarakat. Hal ini tentu dipadukan dengan konservasi penyu yang sudah berhasil dikenal luas. Lantas, semangat literasi PP timur bisa difokuskan pada pengetahuan laut, terumbu karang, dan tentu saja penangkaran penyu. Itu dapat digagas menjadi tema atau semangat pantai literasi di PP.

Salah satu sudut Pantai Penimbangan dengan tulisan yang unik dan membuat pengunjung penasaran |FOTO : Wayan Artika|

Dasar-dasar praktik baik literasi PP telah dibangun oleh pendiri atau pengonsep Warung Dewangkara. Selanjutnya merancang peran PP timur menjadi rekreasi dengan perspektif  literasi. Setiap warung di kompleks timur PP disiapkan untuk menyediakan buku-buku yang menarik. Buku-buku ini dibaca oleh pengunjung sambil makan dan bersantai menikmati keindahan laut dan cakrawala berhiaskan perahu-perahu bermesin tempel dan mungkin sesekali waktu gerombolan lumba-lumba berlompatan, seperti atraksi di gelanggang samudera.

Pengunjung juga bisa membawa buku sendiri untuk sengaja dibaca di tempat ini. Buku-buku bisa juga didonasi di warung langganan. Dengan demikian, koleksi buku semakin bertambah. Gagasan pengembangan PP sebagai rekreasi pantai yang berbudaya literasi adalah sebuah kreativitas atau inovasi yang sangat dibutuhkan oleh perkembangan sebuah kota di era milineal.

Warung-warung di PP timur dengan konsep pantai literasi adalah arena praktik baik literasi. Program-program literasi bisa dikerjasamakan dengan aktivis gerakan literasi dari seluruh dunia. Mereka diundang sebagai sukarelawan untuk berpraktik literasi di tempat ini. Pengelola warung di PP bisa pula mengembangkan bahan-bahan literasi dengan bekerja sama dengan pihak perpustakaan daerah Kabupaten Buleleng. Paket-paket kegiatan literasi dikembangkan dan memadukan dengan kegiatan bersantap di warung, sehingga secara ekonomi pemilik warung memperoleh penghasilan dan dlam waktu yang bersamaan ikut serta dalam membangun gerakan literasi masyarakat.

Universitas dan sekolah di Singaraja khususnya dan di Buleleng pada umumnya bisa mengagendakan kunjungan literasi ke PP.  Pengunjung akan menerima dua menu utama, yakni menu makanan atau minuman dan menu literasi atau bacaan. Waktu membaca mereka di warung-warung ini sangat fleksibel, disesuaikan dengan waktu yang dimiliki oleh pengunjung. Di warung ini pengunjung mendapatkan pengalaman literasi yang nyata. Jadi literasi adalah praktik sosial yang bisa dilakukan di warung dan sambil menyantap aneka makanan dan minuman.

Tulisan ini lahir dari sebuah ide ketika menyaksikan warung-warung di PP timur Pura Penimbangan, pada konservasi penyu dan terkhusus atau teristimewa lagi pada Warung Dewangkara. Warung ini mengusung spirit literasi yang mungkin telah menjadi passion pemiliknya. Pertanyaan yang muncul adalah, “Mengapa PP kompleks timur tidak dikembangkan secara konsepsional menjadi pantai literasi?” Pertanyaan ini sama sekali tidak mengandung hal baru. Justru lahir terbesrsit dari fondasi-fondasi yang telah dibangun oleh sejumlah warung, terutama pada Warung Dewangkara, dikaitkan dengan aktivitas penangkaran penyu yang juga sangat dekat dan relevan dengan literasi ekologis; bagaimana masyarakat membaca aneka pengetahuan tentang penyu saat berekreasi murah di PP kompleks timur. (*)

Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali, Redaktur koranbuleleng.com)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts