Rupanya masih banyak guru bergeming dengan merdeka belajar. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Untuk kesekian kali, perubahan pendidikan terhadang mental status quo para guru. Sekolah berjalan seperti sedia kala. Guru mengajar sebagaimana empat dekade silam: berceramah dan suka memberi PR.
Guru masih cuap cuap dan siswa menyimak dengan takzim. Masih ada guru-guru yang gila administrasi mengajar, seperti aneka rupa perangkat pembelajaran. Iklannya mudah ditemukan di facebook. Segala kemudahan administrasi untuk merancang yang paling sederhana pun, rupanya guru tak sanggup. Kalau guru saja pilih status quo bagaimana siswa?
Jangan tanya pembelajaran berbasis proyek atau pemecahan masalah di kelas. Juga jangan tanya guru fokus pada pendalaman pemahaman siswa. Ironisnya, justru di era merdeka belajar guru menyelenggarakan pembelajaran berbasis ceramah, berbasis ketuntasan materi dan abai apakah siswanya mengerti dan tercerahkan karena berhasil memasuki suatu dunia konsep yang abstrak.
Di samping ceramah dan belajar yang masih berpusat pada guru; guru adalah episentrum proses belajar mengajar; maka yang menjadi bentuk status quo belajar saat ini adalah pembelajaran berbasis PR (pekerjaan rumah). Guru ringan ucapan ketika memberi siswa PR. Setiap satu pokok bahasan selesai, PR adalah wajib.
Esai ini mencoba memahami penyakit guru yang sangat suka memberi PR. Ya, sebatas memberi. Siswa dan orang tua (untuk siswa SD kelas rendah) kalang kabut. Pada pertemuan berikutnya, guru lupa membahas PR yang banyak itu karena harus masuk ke materi yang baru. Demikian selanjutnya, PR baru disiapkan. PR lama mengendap.
Di rumah siswa tidak sempat belajar lagi, misalnya dengan membaca atau menyimak video. Mengerjakan PR untuk mencapai target selesai, menyita seluruh waktu siswa. Belajar adalah dialog dan mengerjakan PR adalah mekanisasi dan pemaksaan. Dalam belajar mandiri siswa di rumah terjadi petualangan konsep untuk mencapai pengetahuan. Tapi PR adalah kerja para tukang. Lama-lama, PR menggusur semua waktu belajar siswa. Maka belajar adalah bikin PR. Bahkan ada jasa les privat khusus untuk membantu siswa mengerjakan PR—PR-nya.
Bagi guru, memberi PR adalah konvensasi atas segala keterbatasannya dalam mengajar. Lewat PR guru hendak melimpahkan tanggung jawab kepada siswa. Jika siswa tidak bisa mengerjakan PR maka guru menilai siswa bodoh atau malas. Tugas guru seharusnya membantu siswa dari tidak tahu menjadi tahu. Di sinilah mahaberat dan mahamulia pendidikan yang humanis. Karena berat dan guru tidak mengejar kemuliaan, hal itu tidak dilakukan.
Lewat PR guru tengah mengejar ketuntasan materi. Tetap saja guru lebih mengejar target materi dalam satu semester. Pendalaman pada materi-materi esensial yang ditekankan dalam merdeka belajar, diabaikan. Guru tetap bercokol pada dirinya sebagai pusat belajar. Karena itu, sikap guru yang bergeming di bawah status quo yang hebat, merdeka belajar itu jauh panggang dari api.
Perubahan kecil yang nyata dan memberi arti baru dalam belajar di sekolah nyaris tidak ada. Guru tidak mau merancang belajar dengan suatu proyek bagi siswanya. Hal ini bisa dilakukan pada tingkatan manapun dan dimanapun. Merdeka belajar tidak membutuhkan fasilitas mewah, lingkungan khusus, atau siswa yang terpilih baik. Di SD kelas 4 misalnya guru bisa mengembangkan proyek literasi sederhana. Pada awal semester, siswa memilih atau dibantu memilih satu buku sebagai bahan proyeknya. Buku ini dibaca secara bertahap. Guru merancang beberapa kegiatan membaca, seperti membaca dan mengutip, membaca dan menyusun daftar kata, membaca untuk membuat bagan atau denah, dan bisa juga meringkas sebagai kegiatan membaca yang paling lazim dilakukan.
Bagus jika buku yang dijadikan bahan proyek literasi itu berhubungan dengan materi-materi pelajaran karena akan memperkaya pengetahuan siswa. Jika tidak tetap bagus dan bermanfaat juga karena akan menempa satu sisi perkembangan softskill siswa, yakni aspek literasinya akan bertumbuh lewat proyek ini. Guru dapat mencoba menerapkan merdeka belajar di ruang kelasnya dengan model proyek yang nyata namun realistis karena mudah dilakukan.
Proyek lain bagi siswa di daerah pegunungan adalah berkebun atau memelihara ayam. Kegiatan ini dijadikan proyek siswa dan dimanfaatkan di dalam pelajaran IPA. Ada banyak hal yang dapat dipelajari dari proyek kebun atau memelihara ayam. Jika ayam yang dipelihara di sekolah masih kecil dan seberapa besar nantinya setelah satu semester? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan realistis dalam pembelajaran berbasis proyek.
Dalam pembelajaran berbasis proyek siswa belajar secara nyata namun tetap ada kaitannya dengan pelajaran yang teori. Namun demikian, guru kiranya penghambat besarnya karena tidak mau repot. Guru pun bergeming dan proyek atau belajar berbasis pemecahan masalah dalam kerangka besar merdeka belajar adalah: tetap ceramah dan memberi PR yang berjibun. Makin banyak PR makin asik! (*)
Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)