Singaraja, koranbuleleng.com |Aksen merah, kuning keemasan, hitam dan putih menghiasi setiap penjuru bangunan megah Klenteng Ling Gwan Kiong yang berdiri kokoh di Kawasan Pelabuhan tua Buleleng, Jalan Airlangga, Kelurahan Kampung Baru, Singaraja.
Kawasan Pelabuhan tua dan sekitarnya populer disebut sebagai kampung tinggi, padahal secara fisik wilayahnya justru cekungan. Disini, juga ada sebuah jembatan tua peninggalan kolonial.Jembatan itu dibangun oleh bangsa penjajah kala itu, Belanda. Sampai saat ini, masih kokoh berdiri walaupun cat putih sudah mulai memudar. Namun, pada momen tertentu, Pemkab Buleleng biasanya kembali memoles agar jembatan itu terlihat lebih baru.
Nuansa kota tua, memang masih terasa di wilayah Kampung Tinggi ini. Bangunan-bangunan tua yang digunakan sebagai pertokoan masih berdiri kokoh,walaupun lebih banyak cat tembok nya terlihat kusam. Di masa lalu, wilayah Pelabuhan tua Buleleng ini adalah perniagaan tersohor di benua asia. Banyak pedagang dari daratan India, Cina maupun dari sebagian eropa menurunkan barang dagangnya di pelabuhan ini. Dulu, beragam manusia dari berbagai ras di dunia pernah bertemu di Pelabuhan Buleleng untuk kepentingan bisnis. Salah satu bukti nyata, keberadaan Klenteng Ling Gwan Kiong adalah sisa fisik dari masa lalu dan sampai saat ini masih digunakan untuk melakukan peribadatan.
Memasuki area klenteng, sebuah bangunan mirip jembatan yang dihiasi ukiran naga, simbol naga diibaratkan simbol kebaikan dan kekuasaan. Aura terasa damai dan tentram menemani perjalanan hingga menuju penataran tempat beribadah.
Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Ling Gwan Kiong adalah salah satu klenteng tertua hingga pantas disebut sebagai kawasan heritage.
Mengunjungi kawasan ini, terlihat sejumlah wisatawan yang juga melakukan persembahyangan.
“Turisnya sepi disini, jadi diajak kesini dan mengenalkan budaya serta hal-hal yang menyatu dengan alam serta masih alamiah,” ungkap Darmadana, salah satu pramuwisata asal Gianyar yang mengantarkan sepasang wisatawan asal Jerman, beberapa waktu lalu.
Ada hal yang cukup menarik jika berkelana lebih jauh mengenai Klenteng ini, tempat ibadah tri dharma yakni menjadi tempat ibadah yang digunakan oleh umat beragama yakni Tao, Konghucu dan Budha. Indahnya toleransi menghiasi tempat ibadah ini dengan keberagamaan dan disatukan dalam satu tempat ibadah.
Berbicara mengenai toleransi, tempat ibadah ini sangat terbuka dan menerima dengan lapang dada setiap orang yang ingin beribadah dan memohon doa. Rasa keberagaman dan menghormati sangatlah tinggi.
“Nama tempatnya emang Tri Dharma, jadi itu ada tiga ajaran yakni Tao, Budha dan Konghucu. Tao ini sebenarnya bukan agama melainkan kepercayaan dan keyakinan. Orang-orang yang sembahyang bukan hanya ini saja (Tao, Budha dan Konghucu), kadang-kadang umat kristiani juga kesini atau umat lainnya. Kita disini, tidak menanyakan agama, jika mereka merasa yakin ya silakan” jelas Eka Lanus, Humas Tempat Ibadah Tri Dharma, Jumat 16 Juni 2023 lalu.
Hal unik lainnya ditemukan ketika berada di dalam terlihat kolam yang berisikan kura-kura dan sengaja dilepas berdekatan dengan penataran tempat ibadah. Konon kura-kura ini melambangkan panjang umur.
“Kura-kura ini ada kisah uniknya, dulu ada orang asal madura sakit (muslim) dan mendapatkan petunjuk dari orang pintar dan diarahkan untuk pergi ke Klenteng Singaraja minta kura-kura, kemudian datang kesini dan meminta petunjuk kepada pengurus, langsung sembahyang dan disetujui untuk membawa kura-kuranya satu” lanjut Eka Lanus
Sepanjang mengelilingi setiap sudut altar, datanglah sepasang wisatawan dari Prancis dan melakukan persembahyangan dengan damai tanpa merasa terganggu oleh lingkungan sekitarnya. Walaupun wisatawan dan belum mengetahui tata persembahyangan, namun dengan sigap perjaga mengantarkan serta mengarahkannya untuk melakukan persembahyangan di setiap sudutnya.
Sebelum berpamitan, mata dihiasi dengan indahnya lampion yang bergantungan di dinding atap dan konon setiap lampion itu berisikan harapan dan keinginan dari si pemiliknya.
Museum Soenda Ketjil Gudang Cerita Masa Lalu Buleleng
Berbicara mengenai pelabuhan khususnya di Bali, banyak wisatawan dan masyarakat Bali pasti akan langsung mengarah pada Pelabuhan Gilimanuk. Pelabuhan bukan hanya ada di Gilimanuk, melainkan Buleleng juga memilikinya bahkan pelabuhan ini memiliki nilai sejarah yang jauh lebih tinggi dan konon katanya menjadi pelabuhan terbesar dan pusat pintu masuk utama di Bali. Iya, Pelabuhan Buleleng,atau sekarang disebut sebagai Pelabuhan tua Buleleng.
Kisah pertarungan sengit dan saksi aksi perobekan bendera merah putih yang dilakukan Belanda semuanya selalu dikenang di Pelabuhan tua Buleleng. Meski tidak lagi dimanfaatkan seperti dahulu kala sebagai Pelabuhan sebenarnya, pelabuhan ini masih menyimpan nilai sejarahnya. Semuanya tersimpan rapi di museum Soenda Ketjil. Bangunan yang sudah berdiri kokoh itu adalah bekas kantor perniagaan di jaman emasnya pada masa lalu.
Museum Soenda Ketjil didirikan khusus untuk merekam sejarah Kota Singaraja dibersamai dengan gubernur pertama dan terakhir di Sunda Kecil yakni I Gusti Ketut Pudja, banyak yang memanggilnya Mr. Pudja.
“Museum ini sebagai pengingat bahwa disini (Singaraja) pernah menjadi ibu kota Sunda Kecil dan museum ini adalah museum tematik dengan tema sejarah” ungkap Teguh, salah satu staf museum.
Teringat salah satu kalimat penyemangat yang dihiasi pada bagian dinding dan dikutip dari perkataan Bung Karno “Negeri kita kaya! Kaya raya! Berjiwa besarlah! Gali!Bekerja! Kita adalah satu tanah air, yang paling cantik di dunia”.
Mengunjungi museum ini dipenuhi senyap dan sepi mengingat hari tengah terik. Menilik satu per satu lukisan lengkap dengan rangkaian penjelasan yang bernilai sejarah.
Bangunan museum masih sangat jelas terlihat gedung bekas kantor pada zaman kolonial Belanda, hanya saja direnovasi dan ditata kembali. Di dalam museum terdapat beragam jenis dokumentasi sejarah Sunda Kecil yang sangat bermanfaat sebagai bahan pendidikan, penelitian sekaligus sasaran objek wisata.
Foto dan profil singkat sang Gubernur pertama dan terakhir Sunda Kecil juga ikut menghiasi dinding museum, pahlawan nasional ini pernah menjadi orang yang berpengaruh pada masa proklamasi Indonesia dan ikut serta dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) serta rekan diskusi Bung Karno mengenai direvisinya sila pertama Pancasila.
Tidak hanya itu, Foto Bung Karno tengah menyalami sang Ibunda juga ikut meramaikan isi museum tersebut, Presiden pertama, Sukarno punya hubungan erat dengan Bali khususnya Buleleng, yakni Ibunda Nyoman Rai Srimben berasal dari Baleagung, Buleleng.
Meseum ini ditata dengan sedemikian rapinya, namun masih ada beberapa bagian yang terlihat masih kosong dan hal ini cukup menarik perhatian pengunjung untuk menyampaikan saran serta masukan.
“Museum ini dibagian dalam sudah tersusun rapi, hanya saja dibagian depan masih terlihat kosong dan ada beberapa benda yang sepatutnya diganti saja agar penataan menjadi lebih unik dan klasik lagi. Mengingat bangunan depan sangat terlihat klasik sekali,” ungkap seorang Pengunjung, Muhammad Satria.(*)
Pewarta : Ni Putu Lily Darmayanti
Editor : I Putu Nova Anita Putra
Catatan : Hasil reportase ini merupakan karya jurnalistik dari mahasiswa Undiksha yang melaksanakan magang sebagai jurnalis muda di media siber koranbuleleng.com.