Singaraja, koranbuleleng.com|Desa Adat Buleleng menggelar prosesi Tawur Agung Kesanga menyambut perayaan Catur Brata Penyepian, Minggu 10 Maret 2024. Prosesi ini dipusatkan Catus Pata Singaraja. Dalam ritual ini, juga melibatkan krama Tri Datu Desa adat Buleleng, mereka mempunyai tugas khusus membawa tirta suci dari Pura Desa Adat Buleleng menuju Catuspata.
Dalam Lontar Sang Hyang Aji Swamandala, Tawur Agung Kesanga bertujuan untuk menuju kesimbangan alam dan lingkungan.
Adapun sulinggih yang memimpin pada upacara tawur kesanga yakni Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Kertha dari gria Taman Kerta Desa Bubunan Seririt, Ida Sri Bhagawan Rama Sogata dari gria Dalem Cili Ularan Sukasada, Ida Bhagawan Dharma Putra Yoga dari gria Agung Bhuwana Agung Desa pelapuan Busungbiu, Ida Pedanda Dungga Purdasa kemenuh dan Ida pandita Mpu Yoga Manik Geni dari gria Sekar Manik Penarungan kecamatan Buleleng.
Tampak hadir mengikuti prosesi upacara tawur kesanga. Diantaranya, Penjabat Bupati Buleleng, Ketua DPRD Buleleng, Sekda Buleleng, Forkopimda Buleleng, PHDI Buleleng, dan Kantor Kemenag kabupaten Buleleng.
Kelian Desa Adat Buleleng, Ir. Nyoman Sutrisna, MM mengungkapkan, upacara tawur kesanga ini dapat menyucikan bhuana alit maupun bhuana agung. “Semua prosesi upacara tawur sudah berjalan dengan lancar dan sukses, mudah-mudahan vibrasi positif dapat tumbuh usai penyucian bhuana agung dan bhuana alit. Pada keheningan dan kesucian muncul dimana-mana, tentu akan memberikan kesejatraan,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua PHDI Buleleng Gde Made Metera saat mengisi dharma wacana mengungkapkan, pada saat sipeng umat beragama harus dapat memanfaatkan momen ini sebagai kesempatan untuk introspeksi diri atau mulat sarira untuk saling menghormati, mengembangkan rasa toleransi hidup berdampingan menghormati keragaman budaya dengan bangkit bersama pasca pandemi. “Yadnya ini dilaksanakan oleh pihak yang memang patut melaksanakannya, diantaranya Guru Wisesa yang memfasilitasi semua kebutuhan yadnya ini dan yadnya ini sudah direncanakan sejak 1 tahun lalu,” katanya
Hal Senada juga diungkapkan Penjabat Bupati Buleleng I Ketut Lihadnyana mengajak seluruh masyarakat Buleleng untuk refleksi diri dalam kehidupan. Dihimbau kepada seluruh masyarakat untuk menghormati kesepakatan yang telah di tanda tangani oleh pemuka umat beragama.
“karena ini adalah tahun baru Caka kita harapkan mari kita pakai sebagai sebuah momentum merefleksi diri dan mari perbaiki saat ngembak geni, ” jelasnya.
Pada saat Upacara Taur Kesanga, Sebanyak 4 Pos penirtaan tersebar di areal catus pata Desa Adat Buleleng yakni, Pos 1 di central upacara kawasan catus pata, pos 2 sasana budaya dan sekitarnya, pos 3 sebelah selatan catus pata dan Pos 4 sebelah utara catus pata.
Nyepi sebagai Sarana Kontemplasi Diri usai Pesta Demokrasi
Perayaan Nyepi tahun ini dirasakan sebagai momen istimewa yang tak terlupakan. Nyepi pada tahun 2024 tahun saka 1946 ini, menghadirkan kesempatan yang berharga bagi umat Hindu untuk merenung dan berkontemplasi pasca hajatan demokrasi bernama Pemilihan Umum.
Pemilu, sebagai proses memilih pemimpin di berbagai jenjang, meninggalkan residu politik yang harus dipulihkan. Kohesi sosial, kerap menjadi korban dalam dinamika politik, memerlukan pemulihan yang mendalam untuk mewujudkan masyarakat yang harmonis dan solid.
Perayaan Nyepi Saka 1946 ini menjadi momentum krusial. Nyepi bukan sekadar ritual ogoh-ogoh atau perayaan semata. Lebih dari itu, Nyepi adalah panggilan untuk berkontemplasi dan merenung atas segala aspek kehidupan, khususnya pasca pemilu.
Kontemplasi Nyepi haruslah membawa semangat untuk menyatukan spirit “menyama braya” pasca hajatan politik. Momentum ini tak boleh disia-siakan, mengingat risiko ketidakharmonisan yang mungkin timbul pasca pengumuman hasil pemilu.
Akademisi STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja Dr. I Made Bagus Andi Purnomo, M.Pd menjelaskan, Nyepi, dalam esensinya, tak hanya berdiam diri secara fisik. Namun, lebih dalam dari itu, Nyepi mengajak kita untuk merenung dalam-dalam, menanyakan pada diri sendiri tentang kemerdekaan dari belenggu batin yang menghalangi pertumbuhan spiritual.
Menurutnya, dalam merenung, penting untuk mengendalikan “sad ripu”, enam musuh dalam diri yang harus dikendalikan. Keterikatan adalah inang dari musuh-musuh ini. Keterikatan pada hal-hal duniawi memunculkan hawa nafsu yang dapat membutakan pikiran dan hati.
“Catur brata penyepian pada Nyepi tahun ini harus dimaknai sebagai upaya memerdekakan jiwa dari cengkeraman keterikatan. Melalui kontemplasi, kita berusaha menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, mencari kedamaian dalam diri, dan menemukan kebijaksanaan spiritual,” jelasnya.
Lebih spesifik lagi kata Bagus Purnomo, adapun inang yang menjadi sumber sad ripu adalah keterikatan. Pertama yang harus dikendalikan adalah keterikatan kita terhadap hal-hal duniawi. Keterikatanlah yang menjadi pemicu munculnya berbagai musuh-musuh dalam diri.
Keterikatan terhadap hal-hal material pertama akan memicu munculnya hawa nafsu. Sifat hawa nafsu membuat suara hati dan jiwa tertutup dan tak terdengar. Ibarat kereta, roh individu ibarat penumpang kereta, badan ibarat keretanya, kecerdasan berperan sebagai kusir, pikiran sebagai tali kendali, dan lima indria sebagai lima ekor kuda penarik kereta.
“Nafsu membuat kecerdasan sebagai kusir dalam pikiran kita seakan menjadi tuli dan buta. Bayangkan saja jika sang kusir tak dapat mendengar dan melihat apa-apa. Kemana kereta akan dibawa oleh kuda-kuda tersebut,” ujarnya.
Bhagawad Gita mengajarkan bahwa pikiran adalah kawan terbaik bagi yang dapat mengendalikannya, namun menjadi musuh terbesar bagi yang gagal mengendalikannya. Oleh karena itu, Nyepi tahun ini menjadi panggilan untuk memerdekakan pikiran dari keterikatan dan mencapai kedamaian batin yang sejati.
“Sebagaimana para pahlawan yang memerdekakan bangsa, mari kita perjuangkan kemerdekaan jiwa dari belenggu keterikatan,” pungkas Bagus Purnomo. (*)
Kontributor : I Putu Rika Mahardika
Editor : I Putu Nova Anita Putra