Singaraja, koranbuleleng.com | Tradisi teks di Bali bukan sekadar kumpulan aksara, melainkan warisan intelektual yang sarat makna. Untuk menggali lebih dalam kekayaan literasi ini, Program Doktor Ilmu Agama dan Kebudayaan STAHN Mpu Kuturan Singaraja menggelar Seminar Internasional bertajuk “What Can We Learn from the Balinese Text Culture?” pada Rabu 26 Maret 2025 di Aula STAHN Mpu Kuturan Singaraja.
Seminar ini menghadirkan dua pakar di bidangnya, yakni Prof. Annette Hornbacher, Guru Besar Antropologi dari Universitas Heidelberg, Jerman, serta Sugi Lanus, filolog dan ahli naskah kuno Bali. Kehadiran mereka memberikan perspektif akademik yang mendalam tentang warisan teks dan budaya literasi di Bali.
Bali dan Tradisi Teks yang Hidup

Dalam pemaparannya, Prof. Annette Hornbacher menyoroti bagaimana Bali memiliki tradisi teks yang kaya dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakatnya. Menurutnya, Bali telah menjadi pusat kajian antropologi global, menarik banyak peneliti internasional untuk menggali lebih dalam mengenai budaya dan teksnya.
“Bali bukan hanya tentang ritual dan seni, tetapi juga memiliki sistem literasi yang luar biasa kuat. Beberapa peneliti seperti Hooykaas bahkan menegaskan bahwa Bali memiliki tradisi teks yang sangat hidup,” ungkap Prof. Annette.
Ia juga menjelaskan bahwa Clifford Geertz, seorang antropolog ternama, telah meneliti Bali dari aspek ritual dan oralitasnya. Dalam kajiannya, aksara Bali bukan hanya simbol bunyi, tetapi juga bagian dari kosmologi kehidupan masyarakat.
“Aksara di Bali tidak sekadar tulisan, melainkan juga simbol makro dan mikro kosmos yang digunakan dalam berbagai ritual keagamaan,” tambahnya.
Peran Aksara dalam Spiritualitas dan Pelestarian

Sementara itu, Sugi Lanus mengupas lebih jauh tentang naskah kuno Bali, khususnya yang tertuang dalam lontar dan kakawin. Ia menjelaskan bahwa aksara dalam tradisi Bali bukan hanya media komunikasi, tetapi juga bagian dari kehidupan spiritual.
“Dalam tradisi Bali, aksara adalah bagian dari banten (persembahan). Aksara tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai representasi kosmik yang menghubungkan manusia dengan alam semesta,” jelasnya.
Selain membahas nilai historisnya, Sugi Lanus juga menyoroti tantangan pelestarian teks kuno di era digital.
“Banyak lontar yang mulai rapuh dimakan usia, sementara generasi muda belum sepenuhnya memahami pentingnya teks-teks ini. Digitalisasi bisa menjadi solusi, tetapi tetap harus dibarengi dengan pemahaman mendalam tentang nilai filosofis di dalamnya,” imbuhnya.
Dukungan Akademisi dan Pemerintah
Acara ini dihadiri oleh mahasiswa, akademisi, perwakilan pengusadha Bali, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng, serta anggota DPRD Buleleng. Partisipasi berbagai elemen ini menandakan besarnya perhatian terhadap pelestarian tradisi teks Bali.
Dengan adanya seminar ini, diharapkan generasi muda semakin sadar akan pentingnya menjaga dan memahami tradisi literasi Bali yang sarat makna dan nilai historis. Digitalisasi naskah kuno dan edukasi mendalam tentang filosofi di dalamnya menjadi langkah konkret dalam menjaga warisan intelektual ini agar tetap hidup di era modern. (*)
Kontributor : Putu Rika Mahardika