Singaraja, koranbuleleng.com| Tari Teruna Jaya ciptaan Maestro Gede Manik kini sudah menjadi hasil karya seni tari yang sangat dikenal. Namun, tidak banyak yang mengetahui jika tarian tersebut adalah hasil pemangkasan dan penyempurnaan dari Tari Legong Kebyar hasil karya Wayan Paraupan atau yang dikenal dengan Pan Wandres.
Pan Wandres adalah seorang seniman tabuh dan tari dari Desa Jagaraga Kecamatan Sawan. Sekitar tahun 1915 silam, Ia menciptakan sebuah tarian yang diberinama Legong Kebyar yang artinya Tarian yang diiringi Kekebyaran.
Elemen-elemen yang dijadikan konstruksi tari yang berdurasi panjang itu merupakan kombinasi tari Baris, Jauk, dan Legong. Awalnya, tarian itu diberinama Igel Negak, karena memang tarian itu lebih banyak ditarikan dalam posisi duduk. Kemudian, sekitar tahun 1925, Pan Wandres mendapatkan undangan untuk tampil di Denpasar dihadapan Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno.
Saat menerima tawaran itu, Ia menunjuk dua muridnya yakni Gede Manik dan Mangku Oka untuk membawakan tarian itu dihadapan Bung Karno. Presiden yang dikenal sebagai pecinta seni itu tak menyembunyikan ekspresi takjubnya terhadap pentas tari yang ditampilkan.
Made Keranca, cucu dari Pan Wandres saat mengikuti kegiatan Workshop di Sasana Budaya beberapa waktu lalu menjelaskan, setelah pentas untuk pertama kalinya dihadapan Presiden, Pan Wandres bersama kedua muridnya mendapat permintaan agar Legong Kebyar itu ditarikan di Jakarta, dengan catatan durasinya lebih dipersingkat.
“Kakek saya (Pan Wandres) memang sudah memangkas, cuma masih saja durasinya panjang sekitar 20 menitan. Tapi katanya Bapak Presiden tetap saja senang menonton,” jelasnya.
Setelah pementasan di Jakarta tersebut, Presiden Soekarno masih meminta agar tarian itu lebih disempurnakan lagi. Lalu proses pemangkasan dan penyempurnaan itu dilakukan oleh Sang Murid yakni Gde Manik.
Pada tahun 1925, Gede Manik menunjukkan jati dirinya sebagai seorang kreator tari. Berorientasi dari tariLegong Kebyar yang sering dibawakannya, Ia menggagas karya tari Kebyar Legong versi lain, lebih pendek durasinya namun tetap menunjukkan karakteristik tari yang dinamis. Tari yang bernuansa gelora taruna nan heroik yang belum diberinya nama itu kemudian disajikan dihadapan Presiden Soekarno di Istana Kepresidenan Tampak Siring di Kabupaten Gianyar.
“Pentas di Tampak Siring baru dinamai Teruna Jaya, dan yang memberi nama itu adalah Presiden Soekarno,” Ujar Keranca.
Made Keranca menuturkan jika Legong Kebyar itu diciptakan dari kisah sepasang muda-mudi yang sedang memadu kasih. Sehingga tarian itupun ditampilkan berpasangan. Tidak hanya Legong Kebyar, setelah menjadi Tari Teruna Jaya pun diawal-awal dipentaskan disebutkan masih menjadi tari berpasangan. Tarian itu dipentaskan dengan dua orang penari dengan karakter wajah yang hampir mirip. Karena disaat dulu, perlengkapan rias wajah masih sangat terbatas.
“Karena semakin sulit mencari penari dengan wajah yang mirip, makanya tarian itu menjadi tari tunggal. Karena dulu make up nya kan tidak banyak, paling hanya bedak atau dulu disebut pupur Belanda dan alis-alis. Sekarang kan lengkap, merias wajah supaya mirip juga mudah,” tutur Keranca.
Kini Legong Kebyar memang tidak setenar Tari Teruna Jaya. Sehingga bisa dibilang jika Legong kebyar hampir punah. Namun Pemerintah Kabupaten Buleleng pun tidak ingin hal itu terjadi. Serangkaian dengan pelaksanaan Buleleng Festival tahun 2019, Legong Kebyar karya Pan Wandres kembali dipentaskan di Wantilan Puri Seni Sasana Budaya Singaraja, Sabtu 10 Agustus 2019.
Sanggar Seni Virhanala akan menyajikan tarian tersebut saat akan mebarung dengan Sanggar Seni Tripitaka Sabtu, 10 Agustus 2019.
Kepala Bidang Kesenian Disbud Buleleng Wayan Sujana menjelaskan, parade Gong Kebyar dengan format mebarung itu salah satunya memang menyertakan pilihan Legong Kebyar untuk dipentaskan. Terlebih lagi kegiatan itu sebagai upaya untuk menampilkan hasil karya Buleleng Dangin dan Dauh Enjung yang diciptakan oleh maestro dari Buleleng.
Sesuai dengan misi dari kegiatan, hal itu dilakukan sebagai upaya penggalian, pengembangan dan pelestarian. Ia pun awalnya merasa pesimis jika ada Sanggar yang akan memilih Legong Kebyar untuk disajikan kepada penonton. Namun ternyata dugaannya berbanding terbalik ketika Sanggar Virhanala memilih tarian tersebut.
“Tari Teruna Jaya memang sudah sangat dikenal, namun kita tidak ingin masyarakat lupa kalau ada Legong Kebyar sebagai cikal bakalnya. Makanya kami sertakan dalam materi untuk dipentaskan. Beruntung ada Sanggar yang memilihnya,” jelasnya.
Menurut Sujana, dari kegiatan Gong Kebyar Mebarung Dangin dan Dauh Enjung ini, hasil karya maestro Buleleng yang dulu pernah tercipta dan hampir punah bisa dikenal lagi oleh Masyarakat Buleleng sendiri. Sehingga kedepan targetnya agar hasil-hasil karya maestro Dangin dan Dauh Enjung ini tetap ada dan akan lestari.
“Melalui sanggar-sanggar atau sekaa sebunan yang akan kita ajak kerjasama wajib megajarkan tarian ataupun tabuh-tabuh tempo dulu, sebagai upaya kita di Pemerintah melakukan pelestarian,” tegasnya. |RM|