Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.|FOTO : arsip|
Bagi kalangan orang tua yang masih memiliki anak usia sekolah, terutama tingkat SD dan SMP, keadaan darurat pendidikan saat ini, tentu menambah beban. Harus bisa membagi waktu untuk membantu anak-anaknya. Sejak lama, peran ini diserahkan bulat-bulat kepada sekolah, pusat bimbingan belajar, dan guru privat. Orang tua menghabiskan waktu untuk uang agar bisa membeli fasilitas dan layanan pendidikan bergengsi.
Saat ini, konsep belajar di rumah benar-benar dimaknai secara harfiah. Kegiatan belajar formal dipindahkan ke keluaga. Materi pelajaran memasuki pintu rumah dengan WAG atau diselingi dengan kelas daring secara live. Tapi kegiatan ini sangat jarang dalam BDR karena berbagai alasan teknis ekonomis.
Orang tua pun terseret ke dalam “kelas” anak-anak mereka yang berlangsung di ruang tamu. Anak-anak tidak siap belajar ala WAG dan orang tua pun harus “turut campur”. Seorang guru kelas III di sebuah SD di Singaraja mulai mafhum karena nilai-nilai tugas siswanya semuanya 100. Dia awalnya bertanya, kemana siswa-siswa yang masih gagap baca tulis itu? Si guru mestinya gembira dengan hasil pengajarannya yang hanya dengan WAG, para siswa mampu mencapai skor 100. Tapi ia cukup memahami, itu semua adalah hasil kerja para orang tua. Mau apa lagi? Sang guru pasrah!
Orang tua tak sudi malu jika skor tugas atau ulangan anaknya di bawah 6 karena semua anggota WAG akan tahu. Karena itu, ia “mati-matian” mengerjakan tugas anak-anaknya. Ia harus baca LKS, goggling materi pelajaran untuk menemukan siapa dewa Hindu yang suka naik angsa; bahkan hingga bikin kolase lady bug dari beras yang diberi pewarna makanan.
Peran orang tua di masa darurat pendidikan ini tentu sangat berbeda. Peran yang digambarkan di atas mungkin keliru. Tapi mau apa lagi, ini darurat!
Belajar di rumah bukan hal yang baru karena telah diatur dalam paradigm tri pusat pendidikan. Kesalahan memaknai pembangunan pendidikan, menyebabkan pendidikan di keluarga terkubur. Orang tua menyerahkan segala hal urusan kepada sekolah, lamanya kurang lebih 15 tahun (TK-SMA). Tidak disadari jika ini melahirkan ketimpangan. Anak-anak hanya mendapat pendidikan secara formal. Mereka menganut pandangan monolitik bahwa pendidikan atau belajar itu hanya sekolah, guru, perguruan tinggi, dosen. Mereka tidak tahu banyak “sekolah” alternatif yang bagus dan itu bukan di sekolah formal.
Tulisan ini mengajak para pembaca kembali menyimak hakikat sekolah. Dengan pemahaman itu, para orang tua akan dapat membantu anak-anak mereka dengan menjalankan “sekolah, belajar” di rumah, tidak menyalahi hakikat, tanpa harus melakukan tindakan instan.
Sekolah berasal dari skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti waktu luang atau waktu senggang. Sekolah pada mulanya bukanlah suatu lembaga formal. Orang Yunani dulu menggunakan waktu luang mereka untuk datang ke tempat orang pandai untuk mempelajari dan bertanya hal-hal yang mereka anggap perlu diketahui. Kegiatan ini dinamakan skhole, scola, scolae atau skhola yang bermakna ‘waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar’ (leisure devoted to learning). Karena kegiatan tersebut dinilai sangat bermanfaat oleh para orang tua, kini mereka yang pernah melakukan kegiatan itu mengajarkan apa yang diketahui pada anak-anaknya. Desakan waktu karena kesibukan memaksa mengirimkan anak-anak mereka pada orang pandai tempat mereka belajar dulu. Sejak itulah fungsi scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu) berubah menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti orang tua). Itu sebabnya lembaga ini disebut ibu pengasuh (alma mater).
Cikal-bakal sekolah dimana pendidikan formal lahir dimulai dari peranan keluarga atau orang tua. Di dalam keluarga Yunani sekolah-sekolah berjalan dan para orang tua atau orang dewasa sebagai guru. Kegiatan belajar itu kelak beralih karena orang tua sibuk bekerja maka anak-anak mereka dikirim ke “tempat pengasuhan”. Salah satu keberatan orang tua dengan BDR memiliki hubungan genetis dengan kejadian berabad silam di Yunani.
Yang patut diambil hikmahnya saat ini, dengan bersandar pada kutipan pendek mengenai asal mula sekolah adalah kembali kepada masa awal kegiatan belajar di tengah-tengah lekuarga Yunani, sebelum para orang tua sibuk. Pada saat darurat ini para orang tua harus kembali kepada konsep belajar di rumah di dalam kehangatan.
Orang tua harus meciptakan komunikasi belajar di tengah-tengah keluarga. Caranya bisa sangat sederhana, dengan menciptakan sirkulasi pengetahuan di dalam komunikasi. Dengan demikian, anak-anak tetap mendapatkan asupan pengetahuan yang diperoleh dalam relasi dan komunikasi verbal dengan anggota keluarga. Jika tidak menyukai pengetahuan dalam bacaan buku, maka kekayaan tiada batas yang ada dalam gawai bisa digunakan. Pengetahuan yang diambil dari internet dibicarakan atau saling dipertanyakan, atau dihbungan dengan hal-hal lain. Komunikasi ini tidak selalu dari orang tua. Bisa pula anak-anak mendapat kesempatan menyampaikan pengetahuannya. Seperti seorang anak kelas II SD menyampaikan informasi tentang ikan cupang yang didapat lewat YouTube. Ia bahkan memiliki “proyek” sendiri berupa pembibitan cupang.
BDR memang disalahartikan. Cikal-bakal kultural edukatif yang bertautan dengan BDR, telah ada, yakni pendidikan informal. Pendidikan selama BDR adalah kembali kepada peran keluaga sebagai “sekolah” dan para orang tua sebagai “guru”. Hal ini terkait dengan pola asuh. Anak-anak petani selalu bersama oang tua ketika mereka kerja. Dengan pola asuh ini pengajaran terjadi: orang tua kerja dan anak-anak bermain.
Perubahan pola kerja menyebabkan pola asuh tersebut berubah. Banyak pekejaan baru tidak mengizinkan anak-anak turut serta orang tua. Pekerjaan memisahkan anak dan orang tuanya. Pada waktu pulang kerja orang tua kelelahan dan tidak bisa lagi menemani anak-anak mereka tumbuh, seperti cita-cita Stephen Hawking, yang seolah menyesali keadaannya, “Saya tidak dapat menemani anak-anak saya, bukan karena sibuk mengejar impian dan reputasi internasional sebagai ilmuwan besar tetapi karena saya sakit.” Pola kerja modern memisah orang tua dan anak-anak mereka sama sekali: yang satu kerja dan yang satu belajar.
Penegasan-penegasan Bapak Nadiem Makarim kurang dicermati. BDR tidak sama dengan memindahkan sekolah formal ke rumah. BDR menuntut peran keluarga sebagai tempat belajar yang tidak sama dengan sekolah. Peran orang tua adalah mengisi anak-anak mereka dengan natural atau humanistik edukatif. (*)
Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)