Sungai Watch, sebuah organisasi nirlaba di Bali, merilis laporan bertajuk “River Plastic Report 001”. Laporan ini memuat hasil pemeriksaan atas 5,2 juta ton sampah plastik yang terkumpul dalam kurun waktu dua bulan (Agustus-September 2020) bersih-bersih sampah plastik di delapan lokasi di Bali. Disebutkan ada lima perusahaan yang plastik kemasannya paling banyak mencemari sungai di Bali: Danone AQUA, Wings Corp, Unilever, Santos Jaya Abadi dan Siantar Top.
Lokasi yang mereka pilih untuk pesta kecil jelang sore itu sudah bercerita banyak: sebuah gudang sampah tak berdinding. Di sana adalah tempat mereka saban hari memilah beratus-ratus jenis sampah plastik dari banyak sungai dan selokan di Bali. Namun dengan sedikit kerja ekstra di awal hari itu, gudang seketika terasa lapang.
Keranjang-keranjang penuh saset dan botol plastik kotor di pelataran tak lagi terlihat mata. Sebagai gantinya, yang tersaji adalah seperangkat alat band yang serba licin, termasuk sebuah bas betot yang tertidur di lantai dengan sebuah stiker Madonna yang seronok. The Hyndrant, band rockabilly lagendaris Bali, yang penyanyinya mudah mengingatkan orang pada Elvis Presley, sebentar lagi tampil dengan latar alami rerimbunan pohon pandan di belakang gudang.
Tuan rumah pesta yang dihelat akhir Oktober silam itu adalah Gary Bencheghib. Dia anak muda berdarah Perancis yang sudah lama menetap di Bali bersama orang tuanya. Banyak yang mengenalnya sebagai film-maker, aktivis sekaligus ‘selebriti’ lingkungan. Pada 2018 silam, dia pernah diundang untuk bertemu langsung Presiden Joko Widodo lepas memviralkan video gunungan sampah plastik di Sungai Citarum, salah satu sungai terkotor di dunia.
Bersepatu kets putih dan kemeja Hawai biru laut penuh corak, dia membaur di antara tetamu. Tak berapa lama, dia maju ke tengah ruangan, menyapa hadirin. Dengan sebuah mikrofon di tangan, dia memanggil rekan-rekannya relawan Sungai Watch yang sore itu tampil kompak berseragam kaos biru laut, untuk tampil bersama di depan.
Ini pesta bersama mereka. Sebuah selebrasi kecil untuk perjuangan organisasi membersihkan perairan sungai di Bali. Ini sekaligus pesta ulang tahun Bencheghib. Hari itu usianya 27 tahun.
Tepat satu tahun sebelumnya, Bencheghib menginisiasi Sungai Watch. Dia mengajak rekan, kenalan dan sahabat dari berbagai latar dan usia untuk sudi berkotor-kotor jadi relawan pembersih sungai. Target utama mereka adalah sampah plastik. Ini sebuah prakarsa, yang meski sekilas remeh, dengan cepat menjelma menjadi sebuah gerakan lingkungan yang membahana di seantero pulau Dewata.
Sebagai gambaran, awalnya hanya ada 22 orang relawan yang ikut kegiatan bersih-bersih sungai itu. Namun berganti tahun, tercatat ada 525 orang relawan yang aktif mengumpulkan sampah plastik dari sungai, jaringan irigasi dan pengairan lainnya di Bali.
Dalam sekali kegiatan, biasanya setiap Jumat, kerap hingga 200 orang relawan yang ikut berburu sampah plastik di sungai. Sampah plastik yang mereka kumpulkan kadang mencapai 200 kilogram. Bila banjir, angkanya bisa mencapai satu ton.
Sejarah Sungai Watch
Sungai Watch sejatinya berawal dari sebuah persoalan nyata: membanjirnya sampah plastik di perairan Bali. Bila mau jujur, ini sebenarnya cermin persoalan yang lebih besar di level nasional: Indonesia adalah penghasilan sampah plastik terbesar kedua di dunia, setelah China. Dalam catatan Bank Dunia, sekitar 187 juta orang Indonesia yang tinggal dalam radius 50 kilometer dari pesisir menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik setiap tahunnya. Hampir separuh dari sampah plastik itu berakhir di perairan laut.
Tapi di Bali, urusan jadi lebih pelik. Karena kawasan ini identik dengan turisme. Kawasan pantai yang seharusnya bersih, indah, dan nyaman, hari-hari belakangan penuh dengan pemandangan botol plastik, saset kemasan, sikat gigi, pempers bayi dan tak terhitung jenis dan ragam produk lainnya, utamanya yang berbahan plastik, kerap terlihat mengapung di perairan laut. Gerombolan sampah itu mengayun bersama ombak sebelum akhirnya tersapu ke pantai-pantai ikonik turis.
Dari penyelidikan sederhana, Bencheghib dan sejumlah rekannya menemukan bahwa 90 persen dari sampah plastik yang berakhir di laut Bali berasal dari sampah yang hanyut dari sungai. Lantaran itulah, Sungai Watch memulai prakarsa sederhana memasang jaring sampah (trash barrier). Selain menahan sampah plastik agar tak hanyut ke laut, jejaring sampah itu memberi waktu bagi relawan untuk menarik sampah yang terlanjur hanyut ke sungai.
Per September silam, Sungai Watch tercatat telah memasang 100 unit jaring sampah di berbagai lokasi aliran air di Bali. Lembaga menargetkan memasang 1.000 unit baru untuk setahun ke depan.
Audit Merek Pencemar Sungai
Inisiatif lingkungan Sungai Watch belakangan menggema ke luar Bali. Di Jawa Timur, misalnya, organisasi lingkungan Ecological Observation and Wetlands Conservation bahkan sampai tergerak membuat sebuah Museum Plastik. Museum itu antara lain memajang sebuah karya seni yang tersusun dari 3.500 lebih jenis sampah botol plastik yang mencemari banyak sungai di Jawa Timur.
Namun dibanding Ecoton atau inisitif sejenis dari lembaga lain di Indonesia, Sungai Watch punya keunggulan tersendiri. Ini lantaran alih-alih sekadar menarik sampah dari sungai dan memajangnya, relawan organisasi melangkah lebih jauh: mereka mensortir semua sampah plastik yang terkumpul, mendatanya berdasarkan jenis plastik, kategori produk, merek, dan kondisinya. Pendek kata, ini brand audit atas sampah perusahaan.
Separuh cerita lainnya adalah organisasi ini mempublikasikan semua temuannya secara terbuka. Laporan bertajuk “River Plastic Report 001” memuat hasil pemeriksaan atas 5,2 juta ton sampah plastik yang terkumpul dalam kurun waktu dua bulan (Agustus-September 2020) bersih-bersih sampah plastik di delapan lokasi, termasuk di seputaran Nyanyi, salah satu sungai paling kotor di Bali.
Detail laporan penuh data menarik. Laporan misalnya menyebutkan ada 400 merek plastik, terafiliasi pada 100 perusahaan, yang produknya mengotori sungai di Bali. Bentuk sampah korporasi itu disebutkan antara lain berupa botol plastik, sedotan, kantong kresek, kemasan saset, gelas plastik, ban, sendal, kertas dan kartus, styrofoam, dan plastik keras jenis HDPE.
Pukul rata, laporan mendaftar lima perusahaan yang plastik kemasannya paling banyak mencemari sungai di Bali: Danone AQUA, Wings Corp, Unilever, Santos Jaya Abadi dan Siantar Top.
“Perusahaan yang paling banyak mencemari sungai dalam laporan ini adalah Danone AQUA dengan 2.834 buah plastik, disusul Wings Corp dengan 1.928 plastik dan Unilever dengan 1.625 plastik,” kata laporan merujuk pada hasil pemilihan 5,2 juta ton sampah plastik yang terkumpul.
Laporan juga punya data rinci ihwal sampah botol minuman kemasan. Disebutkan umumnya jenis PET (Polyethylene terephthalate), dengan ukuran kebanyakan 600 ml dan 300 ml. Dari pemilihan berdasarkan merek, laporan menyebut botol air mineral dengan merek Danone Aqua yang paling banyak mengotori sungai, yakni sekitar 38 persen dari keseluhan sampah botol plastik. Di posisi kedua adalah botol Teh Pucuk Harum, minuman ikonik produksi Mayora.
Di luar dua merek itu, laporan memasukkan berturut-turut Sprite, Coca Cola dan Pocari Sweat dalam daftar lima besar merek botol kemasan yang paling mencemari sungai di Bali. Sementara dalam soal sampah gelas plastik, digambarkan sebagai “paling joroknya sampah di sungai”, ada lima merek yang paling mengotori sungai, yakni Aqua (Danone), Teh Gelas (Orang Tua), Okay Jelly Drink (Suntory) dan Ale Ale (Wings Surya).
Bila semua sampah plastik itu dikelompokkan berdasarkan induk perusahaan, laporan menyebut lima besar perusahaan induk paling jorok, yakni berturut-turut Danone, Coca Cola, Mayora Indah, PT. Sinar Sosro, dan PT. Amerta Indah Otsuka.
“Kami sungguh meyakini kekuatan data untuk memulai sebuah percakapan dengan korporasi (terkait kewajiban lanjutan mereka sebagai produser), distributor, pemerintah, dan konsumen,” kata Bencheghib menuliskan dalam pengantar laporan.
Lima Produk Paling Mencemari Sungai Sungai
Dalam laporan ini disebutkan pula enam produk dengan sampah paling mencemari sungai. Mereka adalah adalah:
Botol plastik. Sampah dari botol plastik berkontribusi 2,3% dari total sampah yang dikumpulkan, atau sekitar 3.775 botol. Dari ribuan botol tersebut, teridentifikasi botol plastik merek Aqua mendominasi dengan 1.394 botol, disusul pucuk harum (392 botol), Sprite (247 botol), Coca Cola (184 botol) dan pocari sweat (121 botol)
Gelas plastik sekali pakai. Di Bali, gelas plastik menjadi salah satu penyumbang sampah plastik yang paling buruk. Dalam laporan ini lebih dari 5.117 gelas plastik yang dikumpulkan. Ada empat merek yang teridentifikasi, yakni Aqua, teh gelas, okay jelly drink, dan ale-ale. Dimana merek Aqua (danone) mendominasi jumlah sampah yang ada yakni 27% dari total sampah gelas plastik yang dikumpulkan, atau 1.378 buah.
Sampah kaleng dan logam. Kaleng dan logam dikenal paling mudah didaeur ulang. Dari data yang dikumpulkan, sampah jenis ini menyumbang 1,2% dari toal sampah yang dikumpulkan dalam laporan ini. kebanyakan mereka adalah kaleng bekas soft drink.
Lima merek yang mendominasi sampah dalam penelitian ini adalah: Larutan produksi pabrik Sinde Budi Sentosa dengan 39 buah kaleng, disusul merek Sensacools dari Enesis (37 kaleng), Nestle Bear Brand produk Nestle (35 kaleng), Schweppes dari Coca Cola (15 kaleng), dan coca cola dari produsen minuman bersoda Coca Cola sebanyak 13 kaleng.
Kantong plastik. Kantong plastik menjadi sampah paling banyak ditemukan di sungai, mencapai 18,1 persen. Plastik warna putih menjadi plastik yang paling mudah didaur ulang dibanding plastik berwarna lain.
Sandal. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa mereka menemukan total 586 sandal dengan mayoritas berwarna hitam,, diikuti biru, hijau, dan pink. Mereka menyebut lebih banyak sandal bagian kiri (513) dibanding bagian kanan (271) buah.
Syrofoam dan Plastik keras. Adapun sampah styrofoam mengisi 0,7 persen dari total sampah yang dikumpulkan, atau sekitar 36kg. Sedangkan plastik keras, dilaporkan berkontribusi sebesar 2,1 persen ( 108kg) dari total smapah yang terkumpul.
Temuan Sungai Watch itu sejalan dengan brand audit, dalam skala yang global, keluaran Break Free from Plastic, sebuah organisasi nirlaba dengan 11.000 orang relawan di 45 negara, termasuk Indonesia. Dalam sebuah dokumen yang dirilis pada 25 Oktober silam, lembaga menyebut Danone, Wings dan Mayora Indah sebagai tiga perusahaan yang kemasan plastiknya paling banyak mencemari lingkungan di Indonesia selama dua tahun berturut-turut sejak 2020. Di level global, lembaga menyebut Coca-cola, PepsiCo dan Unilever sebagai tiga perusahaan teratas pencemar lingkungan.
Di Bali, harapan Bencheghib terpenuhi sebagiannya. Bertetangga dengan Bali, pemerintah daerah di Banyuwangi, belum lama ini mengundang Sungai Watch dan mengajak mereka bekerjasama dalam gerakan menjaga dan membersihkan sungai dari sampah.
Namun yang masih kurang dan bahkan praktis tak terdengar adalah adalah respon lugas dari korporasi yang namanya terang dalam dokumen Sungai Watch. Tak ada percakapan berarti dari mereka, seperti yang diharapkan dalam laporan, hingga hari ini. Mungkin sebab itulah tak ada pesta untuk mereka di Bali. |R|