Profesi dosen ada dalam kelompok pekerjaan yang menangani manusia yang hidup. Dosen berhubungan dengan jiwa yang sedang tumbuh. Berbeda dengan profesi lain, seperti insinyur teknik sipil yang berhadapan dengan benda mati. Petani atau peternak sama-sama menghadapi mahluk hidup namun profesi tersebut bersentuhan dengan hidup yang terjadi pada tumbuhan dan hewan. Dokter berurusan dengan pasien tetapi yang ditangani tubuh-tubuh dalam sistem jarringan fisik, minus jiwa.
Pekerjaan sebagai dosen ada dalam lingkup pendidikan. Dari namanya profesi ini sangat “riskan” karena melakukan pendidikan bagi manusia. Sepanjang masa kerja seorang dosen berhadapan dengan mahasiswa. Dosen menghadapi perkembangan mahasiswa dari tahun ke tahun karena setiap tahun mahasiswa berganti. Mahasiswa itu mencerminkan dinamika sosial kemasyarakatan di suatu negara.
Profesi dosen diatur dalam tridarma perguruan tinggi. Ada tiga kewajiban dosen, yakni mengajar atau memberi kuliah, melakukan penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam melakukan tiga kewajiban ini, dosen hadir sebagai manusia atau pribadi. Mahasiswa melihat dosen dengan ciri khas tersendiri dan cenderung menjadi sosok yang sangat kuat dan “menakutkan”. Karena integritas pribadi itu, dosen-dosen bekerja dengan penuh prinsip dan independen. Mahasiswa tidak “berkutik” di hadapan dosen. Apalagi dulu, ada sebutan “dosen killer” sungguh sangat seram di teling mahasiswa.
Kini paradigma pendidikan tinggi sudah banyak berubah. Dosen tidak dilihat dari pusaran menara gading lagi tetapi dosen dikonstruksi sebagai salah satu faktor penentu kehebatan universitas. Dosen telah melakukan banyak perubahan prinsip kerja keilmuannya, yang sebelumnya murni akademik sebagaimana yang dijiwai oleh modernisme. Pada konteks itu dosen ada di tengah sebagai pusat orientasi kebenaran, kewibawan, dan kuasa. Sementara mahasiswa di sekelilingnya diciptakan oleh budaya kampus yang berjarak karena kehebatan atau kepakaran seorang dosen. Dosen membangun integritas dirinya pada pemujaannya terhadap cabang kecil bidang ilmu yang dipelajari dan terus diperdalam dan dikembangkan lewat darma penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Namun kini, terjadi dekosntruksi pada profesi dosen ketika pemikiran manusia di dunia memasuki era postmodern, postrukturalisme, dekonstruksi, dan kini apalagi disrupsi. Bukan lagi dosen yang ada di tengah pusaran dan menjadi pusat mimbar akademik. Kini dosen ada di luar lingkaran itu dan harus bisa “melihat” mahasiswa dari dalam diri mahasiswa tersebut. Kini dosen harus yang menyesuaikan diri dengan gaya mahasiswa. Dosen membangun dan melayani kondisi-kondisi yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Dosen bekerja untuk memberi mahasiswa “bekal hidup” secara ekonomi di masa depan. Keasikan dosen pada diri sendiri dalam mengembangkan ilmu dan mengajar hanya salah satu bagian dari proses kerja laboratorium dan dalam melakukan analisis berbagai jenis teks, kini sudah tidak penting lagi. Jika hal ini masih kuat hanya dibatasi di dalam laboratorium atau di perpustakaan pribadi. Tugas dosen melakukan pelayanan akademik kepada mahasiswa, bukan lagi memuja ilmu. Pelayanan ini dilakukan dalam proses kuliah dan memberi konsultasi dalam penelitian, entah sebagai pembimbing skripsi atau tesis serta menjadi promotor atau kopromotor mahasiswa S3.
Dalam era yang mengubah paradigma profesi dosen, dari ilmuwan bohemian seperti Mendel sang rahib yang “bermeditasi” di kebun anggur di biaranya, hingga lahir hukum-hukum genetika, menjadi dosen yang melihat mahasiswa sebagai insan-insan yang harus dibantu; dosen kini lebih sebagai instruktur atau trainer. Mahasiswa pun dengan begitu sejalan paradigma profesi ini, tidak lagi disiapkan menjadi intelektual tetapi menjadi interpreneur.
Karena itu keasikan kerja ilmu yang seperti kerja seorang penyair, memburu kata-kata untuk mengisi baris yang kosong, dalam keheningan laboratorium, telah bergeser. Kerja penelitian, pengajaran, dan pengabdian dosen dituntut agar memberi kemaslahatan benda atau produk nyata (barang dan jasa). Inilah yang diterjemahkan dengan hilirisasi. Mahasiswa yang kuliah di kampus dituntut bisa menciptakan barang atau jasa. Ini dikembangkan baik dalam kurikulum universitas maupun lewat lembaga mahasiswa, di bawah ideologi kewirausahaan.
Kondisi ini menjadi era baru yang datang dan mengubah gaya mahasiswa Indonesia era Soe Hok Gie atau era Malari. Kampus tidak lagi mencetak atau memberi efek ikutan pendidikan yang menghasilkan parlemen jalanan atau mencetak mahasiswa pemikir atau man of analisys. Karena itu tampak sangat jelas, kampus sedang bergerak di bawah aliran besar filsafat yakni materialisme. Pada era sebelumnya, masih terasa kuatnya filsafat idealisme di kampus.
Sejalan dengan itu juga, di universitas telah terjadi regenerasi dosen. Hal ini memungkinkan terjadi perubahan-perubahan mendasar. Pada dosen-dosen yang baru, apalagi dosen milineal jelas memandang profesi dosen minus dengan idealism keilmuan. Mereka benar-benar sudah siap bekerja di hilir atau di wilayah dunia industri bukan lagi jauh di hulu kehidupan yang sepi. Kampus juga demikian, telah bertransformasi secara fisik menjadi “pusat perbelanjaan”. Kampus benar-benar berbaur dengan dunia usaha, industri.
Perubahan ini tidak hanya bersumber dari faktor luar universitas. Ada kesadaran lama bahwa para dosen universitas sangat ahli dan hebat dan keahlian atau kehebatan ini hanya digunakan dan dinikmati oleh industri atau dunia usaha untuk menghasilkan produk, lalu dijual, dan berujung pada diraupnya keuntungan dan kekayaan besar. Sementara itu, para dosen di universitas tetap miskin. Namun dalam hal ini “kemiskinan” dari kacatama produktivitas ekonomi dan benda tetap saja membuat para dosen bergeming, dengan nyala obor keilmuan yang tidak bisa ditawar dan menjadikan mereka semua para rahib yang membangun tapa brata atau meditasi dan yoga di kesunyian laboratorium kampus. Paling-paling dosen hadir sekali waktu dalam seminar dan konferensi atau mempublikasi temuan-temuan hebat di jurnal.
Di dalam forum-forum itu hadirlah para pengusaha atau kaum modal. Mereka “mencuri” temuan-temuan riset para dosen. Publikasi terbuka akses di jurnal-jurnal bereputasi, juga dibaca oleh pemodal itu. Setelah itu, produk-produk baru pun tercipta dan dijual di pasar.
Jika ada yang mengatakan penelitian dosen tidak memiliki nilai hilirisasi, ini adalah pandangan yang tidak sepenuhnya benar. Dosen harus dilihat pada posisi seorang ilmuwan yang cenderung lebih memilih hidup sebagai kaum bohemian.
Namun kini dosen tidak bisa lagi berprinsip demikian. Perubahan pandangan ini lahir dari kesadran di kalangan universitas sendiri. Dosen bekerja mati-matian dalam riset yang memelahkan dan dengan segala keterbatasan fasilitas, tetapi yang menikmati dan menjual hasil-hasil riset itu kaum pengusaha atau kaum pemilik modal. Maka kini universitas hendak memotong keadaan ini. Segala hasil riset harus dituntaskan sampai di hilir dan mampu menghasiljkan produk dan dijual untuk memberi keuntungan finansial yang utuh kepada universitas. (*)
Penulis : Dr. I Wayan Artika (Dosen Universitas Pendidikan Ganesha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput, pada Komunitas Desa Belajar Bali)