Singaraja, koranbuleleng.com| Perayaan hari raya Pagerwesi yang jatuh pada Buda Kliwon, Wuku Sinta, di Kabupaten Buleleng berlangsung khusuk sama seperti perayaan hari suci Galungan dan Kuningan.
Namun, perayaan hari raya Pagerwesi ini hanya ramai dilaksanakan umat hindu di wilayah Kota Singaraja saja. Karena mereka percaya pada hari raya Pagerwesi leluhur yang sudah meninggal turun ke bumi. Mereka pun diwajibkan untuk membuat sesajen. Sesajen akan dibawa ke makam sanak saudara mereka yang sudah meninggal dunia dan belum di aben. Tradisi ini disebut munjung karena menghaturkan sesajen yang dinamakan Punjung.
Seperti yang terlihat di makam Desa Pakraman Buleleng, Rabu, 30 Maret 2022 pagi. Nampak beberapa orang, berada ditengah makam sanak saudara mereka yang sudah meninggal dunia. Mereka datang dengan sesajen punjung. Tradisi munjung tersebut sudah dilakukan oleh masyarakat Desa Pakraman Buleleng, sejak zaman dahulu. Khususnya masyarakat yang punya sanak saudara yang meninggal dan belum di aben.
Kelian Adat Desa Pakraman Buleleng, Nyoman Sutrisna mengatakan tradisi munjung itu untuk mendoakan para leluhur yang sudah meninggal namun belum diaben. Dalam sesajen punjung itu biasanya akan berisi, buah dan sayur yang dikemas dalam munjung. Sesajen punjung itu, sebelumnya akan dihaturkan terlebih dahulu sebelum krama biasanya menyantap sayur, buah dan daging yang ada di banten tersebut secara suka cita di kuburan. “Banten yang disajikan berupa buah, sayur dan daging. Setelah dihaturkan, banten itu dimakan bersama-sama di pusara,”ujarnya.
Namun, pada Pagerwesi saat ini, hanya ada sekitar ada sekitar 50 krama yang menjalani tradisi Memunjung ini. Sebagian besar merupakan krama yang ada di wewidangan Banjar Jawa. Jumlah ini pun diakui Sutrisna mulai berkurang. Sebab krama sebagian besar memilih untuk mempercepat proses pengabenan.
“Jadi yang menjalani tradisi ini mulai berkurang. Karena kebanyakan krama saat ini memilih untuk mempercepat proses pengabenan melalui sarana kremasi di Setra Desa Adat Buleleng juga terjangkau paling rendah Rp 7.5 Juta, paling tinggi Rp 50 juta dengan tidak mengurangi dresta atau tatanan banten dalam lontar atau kitab suci,” kata dia.
Sutrisna pun mengaku optimis, tradisi Mamunjung ini tidak akan hilang. Sebab salah satu dadia di wewidangan Banjar Jawa masih memiliki tradisi apabila meninggal dunia, harus mekingsan ring pertiwi terlebih dahulu. Upacara pengabenan baru dapat dilaksanakan setelah satu tahun kemudian. “Saya meyakini tradisi ini akan tetap ada. Namun jumlahnya memang tidak sebanyak dahulu,” pungkasnya.|YS|