Teknologi Gerabah Purba Apa Kabar ?

Teknologi tanah liat yang telah dikembangkan sejak zaman prasejarah oleh manusia purba di Bali, seperti ditemukan berbagai jenis benda tanah liat bekal kubur di situs Gilimanuk, mungkin kalah pamor ketimbang teknologi mengecor dan menempa logam.  Teknologi logam yang kelak dilembagakan dalam sistem sosial pada periode sejarah selanjutnya, identik dengan “kasta” lain, yaitu Pande. Mereka mewarisi teknologi logam purba. Walaupun kini perapen pande sering sebatas simbol sosial karena banyak warganya membiarkan bara api di perapennya padam dengan berbagai alasan, seperti industrialisasi peralatan rumah tangga modern dan redefinisi hubungan sosial pande dengan Kaum Brahmana atau Ksatria di tengah perubahan paradigma kasta.

Sebaliknya, teknologi pengecoran  dan penempaan tetap hidup melewati  zaman-zaman prasejarah dan kerajaan kuno di Bali, pada industri gong. Teknologi kuno masih mampu bertahan di rumah para empu pande gong. Gong tidak pernah menjadi industri, memang. Para empu gong tetap harus bekerja untuk menghasilkan berbarung-barung gamelan. Bagi mereka, deru dan panas  bara, hembusan udara dari tabung penglambusan atau denting penempaan campuran emas, tembaga, dan perunggu yang telah disatukan di cawan api pada waktu peleburan; adalah musik yang sejati. 

- Advertisement -

Teknologi penempaan logam yang diwarisi Pande tetap terhormat dalam pelembagaan sosial modern Bali hingga hari ini yang terbukti dari penggunaan “pande” sebagai identitas sosial. Jadi teknologi ini masih “hidup” dalam tataran historis dan simbolis.  Dan, memang telah mati sejak bara redup dan abu mendingin di perapen. Dan, memang sudah mati juga ketika air telaga penyeban telah surut. 

Tidak demikian nasib teknologi gerabah! Dalam kebudayaan Bali, teknologi ini pernah memasuki wilayah rumah tangga. Berbagai alat dapur (gebeh, jun, paso, pane, kekeb, pulu, payuk, jading, dan dulang) diciptakan oleh para perempuan di sudut-sudut rumahnya. Teknologi dan keahlian para empu gerabah yang hampir seluruhnya kaum perempuan  ini berkembang karena dukungan bahan baku di desa-desa mereka tinggal. Karena itu, hanya sejumlah desa di Bali yang memiliki industri  gerabah (payuk) kuno dan memang masih bisa disaksikan sampai kini, seperti di Binoh (Denpasar), Banyuning (Buleleng), dan Pejaten (Tabanan). Keadaan inilah memicu migrasi gerabah dalam sistem ekonomi lokal di Bali. Foto-foto kuno di masa lalu menunjukkan perempuan-perempuan berjualan jun keliling perdesaan Bali, dengan beban menjulang di kepalanya. 

Industri gerabah rumah tangga memang sudah berlalu. Jumlah empu yang tersisa hanya beberapa orang. Namun demikian, industri gerabah untuk keperluan berbagai upacara masih bertahan. Di titik inilah teknologi gerabah purba masih ada lebih lama lagi memasuki abad-abad yang akan datang. Walaupun di wilayah rumah tangga, gerabah tergusur oleh plastik, aluminum, dan stenlesstel,  tidak begitu ceritanya di ruang-ruang upacara. Ngaben misalnya memerlukan berbagai jenis, tipe, dan ukuran gerabah. Para empu bekerja untuk menyuplai kebutuhan tersebut. 

Laporan ini diturunkan dari kunjungan  ke  Desa Pejaten, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, 16-17 Juli 2022.  Pejaten memang sejak dulu dikenal dengan industri genteng. Warga desa menggali tanah pekarangannya untuk diolah menjadi genteng. Sampai akhirnya, lapisan tanah yang bagus untuk bahan baku habis maka industri  skala desa ini  tetap harus dipertahankan karena warga desa tidak memiliki sumber penghidupan lain, dengan mendatangkan tanah dari Desa Gadungan (di Kecamatan Selemadeg, Tabanan).  Pertumbuhan dan perkembangan industri genteng  di desa ini mau tidak mau telah mengubah bentang alam desa, menimbulkan ceruk-ceruk di dalam pemukiman sebagai akibat penggalian di masa lalu. Warga Pejaten tidak memiliki lahan khusus. Mereka menggali tanah pekarangan masing-masing dan berproduksi di lahan pekarangan yang juga sangat sempit. Di sini pula mereka menempatkan mesin pres, menata genteng yang masih basah, menjemur di halaman yang sangat sempit, membakar, dan akhirnya menyetok produksi, sebelum pembeli tiba. 

- Advertisement -

Persoalan perajin genteng Desa Pejaten tidak hanya perkara kelangkaan bahan baku di desa mereka, yang artinya meringankan biaya produksi karena bahan baku tidak dibeli; namun kini harus membeli tanah dari luar desa; juga karena serbuan genteng pabrik dari Jawa. Musuh terberatnya tentu saja Karang Pilang, yang telah terbukti sangat kuat. Namun demikian, karena harga genteng Pejaten masih cukup bersaing dengan jaminan kualitas yang bagus, memang masih laku di pasaran, walaupun sebagian besar di Bali. Untuk mendongkrak daya saing, perajin genteng pejaten pernah berjaya dengan penciptaan desain genteng bergaya Bali, seperti tampak pada genteng subeng atau tojeng pada pemugbug. Namun kini sudah terasa kuno karena gaya arsitektur memasuki zaman minimalis. Genteng subeng dan tojeng sudah tidak laku lagi. Sementara itu, perajin genteng di desa ini tidak sanggup menciptakan genteng untuk menyuplai gaya bangunan minimalis. Hal ini tentu karena persoalan modal. Mesin pres satu-satunya yang mereka miliki adalah mesin lama. Jika mereka harus berganti produksi genteng dengan desain yang baru maka mereka harus mengganti mesin.  

Di tengah keterbatasan ini mereka masih bertahan. Hari itu (17 Juli 2022) mendung tipis menghalangi sinar matahari memasuki halaman-halaman penjemuran genteng di Pejaten, dan mesin-mesin skala rumahan tetap bergerak. Yang bekerja pada umumnya pemiliki, suami istri bersama satu atau dua anggota keluarga lainnya.

Gerabah

Sangat jarang ada usaha genteng besar yang masih bertahan dengan mempekerjakan puluhan tenaga yang secara khusus didatangkan dari luar (seperti beberpa desa di Kecamatan Tejakula, Buleleng: Pacung, Julah, Tejakula, dll.).  Di sebelah Timur Pura Dalem, pada jalan menurun yang curam, sepasang suami istri tengah mengepres tanah dengan mengoperasikan satu mesin genteng pres di rumahnya. Musik pop Bali mengalun merdu dari tip minikompo kuno. Sudah pada ghalibnya, dalam berbagai liputan semacam ini, mereka bercerita kenangan masa jaya industri genteng di desanya dan tentu saja keluhan dan cerita tentang sulitnya hidup sebagai perajin genteng.

Ada rasa putus asa yang kuat. Ada penolakan pula. Plus ketidakberdayaan dan tidak ada pilihan lain. Pun demikian jadi satu-satunya alasan untuk tetap mengoperasikan mesin pres, yang mereka miliki. Tentu saja, mereka masih tetap bisa menikmati merdunya alunan musik pop Bali dari minikompo.  Tentu kisah lain di pertigaan desa, ketika para calo atau makelar genteng berteriak dan mencegat setiap orang asing yang masuk, yang dikira calon pembeli, yang terasa sebagai ancaman dan menebar rasa tidak nyaman. 

Masih cerita perjalanan dari masa gerabah purba di Desa Pejaten. Yang tidak mengeluh dan tetap dengan kesetiaan teragungnya memutar roda penguseran adalah Ni Wayan Buda dan Ibu Dana. Mereka dua orang perempuan yang masih bekerja di sektor gerabah tradisional, Pada usia senjanya (antara 90-95 tahun) Ibu Wayan Buda dan Bu Dana memulai dan menutup hari-harinya yang panjang di “studio”-nya. Berbagai tipe dan jenis gerabah peralatan yadnya dapat dilihat di sini. Siang ini (17/Juli/2022) tungku pembakaran telah padam dua atau tiga hari lalu. Di sana terlihat beberapa gerabah ukuran kecil telah mendingin dan akan diangkat ketika kedua perempuan ini akan membakar buah kesetiannya di tungku itu kembali. Beberapa payuk ukuran besar akan diangkat ke tungku oleh cucunya. “Tiang ampun ten nyidaang.” Kata Ibu Dana. Selama proses pembakaran dan api tungku menyala, kedua perempuan renta penjaga teknologi gerabah purba ini akan tetap mengisi hari, membentuk berbagai ukuran dan jenis keperluan yadnya, pencetakan laklak, hingga penyahnyahan kopi. Dengan itulah,  tungku tak lama dingin. Dengan itu pula, mereka berdua  menyambung hidup. Dengan itu pula mereka berdua menyambung hari tempat waktu purba mengalir ke masa kini. 

Ni Wayan Dana dan dan Ibu Buda hanya tahu bahwa mungkin mereka adalah sisa dua terakhir peradaban gerabah purba di Desa Pejaten. Namun demikian, mereka terus bekerja, memasuki pori-pori tanah yang mereka lumatkan dengan sisa tenaga dan telapak tangannya. Sesekali waktu, wisatawan datang dengan kekaguman yang sulit mereka pahami. Lalu para wisatawan itu minta berfoto. Ni Wayan Budi dan Ibu Dana hanya tetap berkarya di tengah sunyi waktu dan tanpa lagu pop Bali dari tip minikompo. Bu Dana menghela napas dan bercerita waktu yang telah dilupakannya. 

Gerabah tidak hanya berkembang di Pejaten tetapi juga di Nyitdah (sebelah timur). Namun pada satu sentra industri modern milik I Wayan Mayura, cerita panjang teknologi gerabah Purba Desa Pejaten, berbelok tajam. Semua itu terlihat pada rumah produksi untuk menyuplai berbagai jenis gerabah bagi KHanna Pottery yang beralamat di Banjar Tegal. 

Kafe yang sangat modern dibangun di depan, tepat di pinggir jalan menuju Pantai Kedungu. Para tamu yang datang tidak hanya ngopi, tetapi menyaksikan bagaimana proses pembuatan gerabah modern, yang tampak sangat berbeda jauh dengan gerabah tradisional, pada ukurannya yang sangat besar. 

I Wayan Mayura membawa gerabah Desa Pejaten purba melintasi zaman-zaman yang panjang, melampaui keperluan dapur tradisonal Bali yang sudah dijarah peralatan plastik atau sikap arsitektur Bali minimalis yang kurang berpihak kepada para perajin genteng Pejaten yang dulu pernah menjadi legenda. Tidak tanggung-tanggung, ia mendatangkan tanah dari Serang (Banten). “Untuk membuat gerabah yang ukurannya sangat besar, tanah dari Serang bagus.” Ungkap I Wayan Mayura. Demikian pula pekerjanya, didatangkan dari Serang. Secara gender, Khanna Pottery berbeda tentunya dengan gerabah tradisional, yang identik dengan kaum perempuan. Seluruh tenaga kerjanya adalah laki-laki karena terkait dengan ukuran besar dan desain gerabah. 

Teknologi gerabah yang menghasilkan berbagai jenis barang akan mati atau hanya bertahan antara hidup dan mati sangat ditentukan oleh pasar. Pasar sama dengan fungsi, bahan baku, dan desain. Khanna Pottery  tidak lagi berkutat pada teknologi keramik purba, termasuk peruntukannya. Khanna telah menjadikan teknologi purba ini gaya hidup kaum berduit. Gerabah tradisonal dan Genteng Desa Pejaten, legenda atap itu, merosot karena pasar menyusut. Sementara Khanna Pottery membangun pasar baru sendiri. Tipe produk dan desain gerabah yang rata-rata berukuran raksasa, yang mana pengerjaannya tidak bisa dilakukan oleh para empu gerabah tradisonal, menjadikannya merajai pasar gerabah, khususnya gerabah sebagai benda seni. 

Posisi Ni Wayan Budi dan Ibu Dana dengan kesetiaan agung atas dedikasi pada teknologi gerabah purba, adalah masa silam. Sementara itu I Wayan Mayura dengan sentra industri gerabah Khanna Pottery-nya adalah masa kini, ketika pasar gerabah dengan fungsi baru, menantinya. Dari penuturannya, semua bermulai dari tawaran desain. Pasar itu sejatinya pasif dan namun demikian amat potensial. Kreativitas atau inovasi penciptaan gerabah, seperti yang dilakukan oleh I Wayan Mayura adalah rangsangan yang menggoda. Terbukti teknologi purba itu menjadi hari ini dan modern. Pada sekaliber apapun ukuran dan desain gerabah yang diproduksi oleh Khanna Pottery, yang terisa dan yang paling purba itu adalah teknologi pengolahan, pembentukan, dan pembakaran tanah, warisan zaman perundagian pada abad-abad silam. 

Ni Wayan Budi dan Ibu Dana, sepasang suami istri perajin genteng sebagai wakil legenda genteng Desa Pekaten, dan I Wayan Mayura, adalah para pewaris yang sedang menapaki jalannya masing-masing. Apakah tenologi gerabah akan terkubur, tergusur atau memberi kemakmuran baru? Demikianlah cerita dari Desa Pejaten dan Nyitdah, menarik dikunjungi atau sekadar disinggahi ketika para turis menaklukkan ombak Pantai Kedungu dengan papan selancarnya atau melepas matahari tenggal menyambut remang petang di hamparan Pantai Cinta. (*)

Pewarta : Wayan Artika

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts