Singaraja, koranbuleleng.com | Letak desa ini tersembunyi, berada diantara rindangnya perkebunan dari barisan perbukitan di wilayah kecamatan Sukasada.
Yakni Desa Pegayaman, untuk menuju desa ini melalui wilayah Desa Gitgit di jalur raya Singaraja -Bedugul. Memasuki desa yang berhawa sejuk ini, sepanjang mata memandang adalah perkebunan cengkeh dan buah-buahan dari lereng-lereng perbukitan. Desa ini juga memiliki persawahan yang luas. Konon, di masa kerajaan Buleleng, leluhur warga desa ini adalah para prajurit kerajaan yang ditugaskan menjaga wilayah perbatasan Buleleng di masa lampau.
Desa Pegayaman ini merupakan gambaran yang istimewa tentang sebuah desa dengan mayoritas penduduk Muslim yang bertetangga dengan desa-desa mayoritas beragama Hindu. Walaupun begitu, desa ini mampu menciptakan kehidupan yang seimbang dan damai dengan lingkungan sekitarnya.
Menurut caatan dari para pesohor di Pegayaman, Asal nama “Pegayaman” berasal dari lokasinya yang berada di area hutan gayam. Pada awalnya, penduduk Desa Pegayaman terdiri dari komunitas orang Jawa Muslim yang diperintahkan oleh Kerajaan Buleleng untuk menetap di sana.
Dengan topografi yang berbukit dan membentang panjang, Desa Pegayaman menyerupai benteng alam yang kuat, memberikan perlindungan bagi wilayah Buleleng yang nyegara gunung.
“Asal-usul Desa Pegayaman tak terlepas dari sejarah kota Singaraja, pusat pemerintahan kerajaan Buleleng yang beragama Hindu sekitar 300 tahun yang lalu.” tutur Ketut Muhammad Suharto, Salah satu tokoh Desa Pegayaman mengawali cerita tentang Desa Pegayaman.
Pada abad ke-16, dalam situasi pertempuran antara Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Blambangan, sekelompok pasukan Blambangan yang membantu Raja Buleleng, dibawa ke Bali. Mereka kemudian ditempatkan di daerah perbukitan yang ditumbuhi hutan gatep, yang kemudian menjadi desa benteng, sementara pasukan itu sendiri bertugas sebagai penjaga istana. Para pasukan Blambangan menetap dan hidup di hutan gatep dengan bekerja di lahan pertanian.
Begitulah, sepintas sejarah dari Desa Pegayaman hingga masih eksis sebagai desa dengan berpenduduk Muslim terbesar di Bali. Kehidupan yang seimbang, bergaul dengan lingkungan dan budaya sekitar melahirkan berbagai kehidupan yang unikhingga terjadi percampuran budaya.
Salah satu keunikan yang dipunyai oleh Desa Pegayaman yaitu adanya Upacara mengarak Sokok dan Tradisi Mapag Toya yang dilakukan di kalangan masyarakat Desa Pegayaman yang dijadikan sebagai Syukuran Subak.
Dalam Pelaksanaan Upacara Mengarak Sokok diadakan pada hari yang dianggap suci, terutama pada bulan Rabiul Awal atau bulan Januari, ketika Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Terdapat dua bentuk Sokok yang digunakan: Sokok Base dan Sokok Taluh. Sokok Base tetap dipertahankan sesuai dengan bentuk aslinya tanpa banyak mengalami perubahan atau modifikasi. :Sementara Sokok Taluh mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan kreativitas masyarakat, namun tetap memperhatikan nilai dan tujuan sebenarnya dari berbagai bentuk yang diciptakan.” terang Suharto.
Tak hanya itu, Desa Pegayaman juga memiliki subak, sebuah pola pengelolaan distribusi periaran untuk perkebunan yang sudah ada berates tahun di Bali.
Pengelolaannya sama seperti sistem tradisional yang telah berjalan untuk mengelola distribusi air, mengatur jadwal pengairan untuk sawah, mengelola sistem irigasi, dan mengadakan upacara-upacara tertentu.
Di Pegayaman, Subak juga menjadi sebuah struktur organisasi dalam komunitas adat. Sebelum air dialirkan ke sawah-sawah, umumnya masyarakat Hindu Bali melaksanakan tradisi Mapag Toya. Mapag Toya adalah serangkaian upacara untuk mengambil air yang akan digunakan dalam pengairan sawah bagi para petani yang merupakan anggota dari Subak.
Ketut Muhammad Suharto, memaparkan Sistem Subak yang ada di Desa Pegayaman didominasi oleh penduduk yang menganut agama Islam.
Seiring dengan rentang sejarahnya yang telah berlangsung selama 400 tahun sejak pendiriannya pada tahun 1648 Masehi, subak di Desa Pegayakam tetap eksis seperti sekarang. Keberlimpahan air masih lestari sampai sekarang.
Sumber air utama di wilayah Pegayaman dikenal sebagai Yeh Buus. Sumber air ini memiliki aliran yang sangat melimpah, dengan jumlah air yang tetap stabil baik saat musim hujan maupun kemarau.
Namun, karena mayoritas penduduknya menganut agama Islam, sistem Subak di Desa Pegayaman mengalami beberapa perubahan dalam perbandingan dengan sistem Subak di Bali umumnya.
Di desa ini, terdapat modifikasi dalam pelaksanaan Subak. Perbedaan utamanya terletak pada aspek sakralitas dalam pelaksanaannya.
“Contohnya, dalam acara Mapag Toya, masyarakat Pegayaman menerapkan metode dan tata cara yang berbasis pada ajaran Islam. Mereka menggunakan dzikir dan membaca doa Abdau hingga akhir yang terdapat dalam Albarzanji.” terangnya.
Esensinya, dzikir ini menjadi ungkapan rasa syukur atas kelimpahan air, diakhiri dengan doa.
Sarananya juga berbeda saat menjalankan tradisi. Subak Hindu Bali menggunakan sarana banten dan sesajen yang dipersembahkan dan bisa dimakan kembali. Namun, dalam Subak Islam Pegayaman, makanan dibawa untuk dikonsumsi setelah dilakukan sesi dzikir.
“Namun lokasi Mapag Toya dilakukan di muara air, hal ini menjadi persamaan antara Subak Hindu Bali dan Subak Islam Pegayaman di Bali.” tutup Suharto. (*)
Kontributor : Ni Putu Melinda Dewi
Editor : I Putu Nova Anita Putra