Singaraja, koranbuleleng.com | Ketut Sri Guna Dika, menyapa ramah seorang pria yang masuk ke kios tukang cukur yang ia kelola. Sesat kemudian pria berusia 48 tahun itu mengambil sebuah sisir dan menyalakan bergas cukur. Sembari mendengarkan lagu My Love dari Westlife, dengan cekatan Sri Guna memangkas rambut pria yang baru datang ke kiosnya itu.
Sedikit demi sedikit rambut pelanggan dengan telaten dipangkas sesuai model yang diminta. Kemudian, Sri Guna mengambil gunting dan mencukur bagian yang kurang rapi. Sebagai sentuhan akhir dia mengoleskan sabun ke pinggiran garis rambut, lalu mengambil silet atau pisau cukur dan mulai merapikan bagian pinggir hingga tuntas.
Sri merupakan salah seorang tukang cukur yang masih bertahan hingga kini tatkala barbershop kian menjamur. Berbeda dengan layanan di Barbershop, Sri Guna hanya mengandalkan gunting, mesin cukur, sisir dan pisau cukur. Sementara layanan barbershop pastinya ada keramas, dn menggunakan media lainnya yang lebih moderen.
Sri Guna tetap melayani para pelanggan di kios yang bernama Potong Rambut Damarwulan. Pemilihan nama Damarwulan sebenarnya sederhana saja. Dia tinggal di Jalan Gempol Gang Damarwulan, Kelurahan Banyuning. Sehingga nama Damarwulan disematkan pada usaha cukur yang dirintisnya pada pertengahan 1990-an silam.
Keahliannya memangkas rambut didapat tatkala dia duduk di bangku kelas 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) – sekarang disebut dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas 8. Saat itu ada razia rambut di sekolah.
Banyak teman-temannya yang belum mencukur rambut. Karena cukuran rambut di sekolah itu terkenal acak-acakan, teman-temannya meminta Sri Guna mencukur rambut mereka. Kebetulan saat duduk di SMP kelas 7, dia sudah bisa memangkas rambut ala kadarnya. Permintaan teman-temannya untuk memangkas rambut diiyakan. Ternyata setelah selesai mencukur, hasilnya cukup bagus.
“Kan habis berantakan rambut temannya setelah dicukur alakadarnya pas razia rambut, lalu saya bilang ‘sini saya cukurin’. Di situlah mulai awalnya,” ceritanya.
Setelah menuntaskan pendidikan di jenjang SMP pada tahun 1990, dia memilih merantau ke Bali selatan. Alasannya tidak punya biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Bermodal ijazah SMP, dia hanya diterima sebagai kuli bangunan. Selama merantau, kehidupannya juga tidak pernah jauh dari gunting dan sisir. Tiap libur, ada saja rekan-rekannya sesama kuli yang minta bantuan potong rambut, dengan bayaran ala kadarnya. Sri Guna tetap menerima tawaran itu. Karena dia merasa bisa meningkatkan keahliannya memangkas rambut.
Pada tahun 1993, kehidupannya berubah total. Saat itu dia berencana pulang ke kampung halaman karena ada piodalan di Pura Gede Pemayun, Kelurahan Banyuning. Saat di tengah jalan, dia merasa ragu-ragu pulang kampung. Pikirannya kosong hingga tak fokus mengendarai sepeda motor. Apes dia mengalami kecelakaan.
“Sudah dekat antara Buleleng dengan Badung, sudah di tengah-tengah baru ragu. Akhirnya kecelakaan. Begitu sadar sudah di rumah sakit,” ungkapnya.
Selepas kecelakaan tersebut, dia berencana kembali ke Denpasar. Namun teman-temannya menyarankan agar Sri Guna tetap di rumah, membuka jasa pangkas rambut. Sejak 1996 dia akhirnya membulatkan tekad membuka jasa tersebut. Tarif awal yang dipatok sebesar Rp 500 per kepala.
Menurutnya mengawali sebuah usaha pada masa itu, bukan hal mudah. Kondisi ekonomi sedang tidak menentu. Dia akhirnya mendapat suntikan modal dari salah seorang rekannya. Ditambah bantuan promosi dari mulut ke mulut, ia mendapat banyak pelanggan. Bahkan usahanya bertahan hingga kini.
“Jadi karena teman-teman mungkin sudah puas dengan hasil karya kita, jadi teman-teman ikut mempromosikan gitu. Awalnya seperti itu, tidak seperti sekarang bisa share lewat FB, lewat medsos. Kalau dulu kan dari mulut ke mulut,” ujarnya lagi.
Dengan keyakinan dan kualitas, usaha pangkas rambutnya masih bertahan hingga kini. Kendati berada di dalam gang, usahanya mampu bersaing dengan berbagai barbershop yang menjamur di Kelurahan Banyuning. Menurut penuturannya, hingga kini setidaknya ada 15 buah usaha tukang cukur dan barbershop di Banyuning. Namun hal itu tak memengaruhi jumlah pelanggannya.
Suka duka sudah dilaluinya setelah menjalani karir sebagai juru pangkas rambut selama 27 tahun belakangan. Tatkala pandemi covid-19, usahanya goyah. Penghasilan turun drastis karena orang yang memangkas rambut bisa dihitung dengan jari.
Namun dia juga kerap berseri-seri. Terutama jelang tahun ajaran baru atau selepas libur semester. Karena banyak dari anak sekolahan yang memanjangkan rambut. Mereka tidak mau terjaring razia, sehingga memangkas rambut lebih awal.
Setiap pelanggan hanya ditarik ongkos Rp 15 ribu. Kendati permintaan dari pelanggan juga aneh-aneh. Dia mengaku ada pelanggan yang pernah meminta gaya cukur yang nyeleneh dan tidak ia kuasai. Tetapi itu tidak menjadi alasan baginya untuk menolak pelanggan. Sebaliknya dia merasa tertantang untk belajar lebih lagi.
“Setiap orang itu pasti ada, yang namanya permintaan pasti ada. Yang nyeleneh ada juga, itu dah suka dukanya” ujarnya. (*)
Kontributor : Kris Nanda Viriyadikha
Editor : I Putu Nova Anita Putra