Singaraja | Trauma dan tangisan warga korban Banjir Bandang di Desa Penyabangan masih belum kering. Ada banyak kisah haru dan menyedihkan ketika Banjir Bandang menyapu dusun Tri Amertha, Desa Penyabangan, dusun terdekat dengan wilayah longsor di perbukitan.
NI Wayan Budiasih, salah satunya. Sampai saat ini, air matanya tak bisa Dia tahan lantaran trauma akan bencana ini masih sangat membekas. Budiasih menceritakan, Kala itu, Sabtu sekitar pukul 16.00 wita dirinya masih bekerja di wilayah Desa Musi. Hujan Masih deras, dan namun Dia punya perasaan ingin secepatnya pulang, hingga akhirnya Dia memilih langsung pulang ditengah derasnya hujan.
Di rumah, Suaminya Kadek Gelgel yang berprofesi sebagai Satpam juga hendak berangkat ke tempat kerjanya di sebuah perusahaan produksi Mutiara di Desa Penyabangan. “Tetapi ketika mau berangkat, tiba-tiba saja air bah sudah datang sangat besar,membanjiri rumah-rumah disini,” ujar Budiasih.
Petang harinya, air semakin membesar dan justru membawa material longsoran berupa batu-batu besar dan kayu gelondongan. Mereka semuanya panik, dan warga lainnya.
Kebetulan, rumah mereka dekat dengan sebuah Pohon Enau, sementara rumah mereka sudah terendam banjir setinggi dua meter.
Suaminya berusaha menyelamatkan seluruh keluarganya, dan memilih menaikkan satu persatu keluarga mereka ke Pohon Enau.
“Dua anak saya yang terlebih dahulu dinaikkan, barulah kedua mertua saya dan terakhir suami saya. Kami berada diatas enau kurang lebih dua jam hingga debit banjir mulai mengecil,” papar Budiasih sambil menangis mengingat kejadian itu.
Di Pohon Enau itu, dua anaknya yang paling atas berusaha bertahan dengan kayu-kayu yang dipatok oleh suaminya. Sementara kedua mertuanya memeluk batang enau hingga tangan mereka banyak yang luka. “Yang kami pikirkan saat itu, kami bisa berkumpul sekeluarga. Walaupun awalnya, kami bingung mencari mereka, tapi akhirnya kami selamat,” ujar Budiasih.
Anak pertama, Luh Dewi Astini, dan anak kedua mereka Kadek Adi iIguna juga berusaha sekuat tenaga diatas Pohon memegang kayu-kayu yang dipatok itu. Dari atas pohon, kata Budiasih, semua sudah terlihat sangat gelap dan hanya bunyi air bah saja yang sangat besar.
“Dari atas pohon, warung milik kami terihat jelas dihantam batu besar-batu besar dan seketika saja roboh,’ ceritanya.
Kesedihan yang sama juga dirasakan hingga kini oleh Ni Made Suriani, tetangga dari Budiasih. Suriani bahkan sampai harus mencari cucu-cucu mereka lebih dulu disaat air bah sudah datang.
Beruntung saja, cucu mereka diajak oleh menantunya. “Tyang lega kenehe, cucun tyang sampun megandong di tundun memene, aduhh pak. Bayun tyange sube dije kaden dugasne nike. (Saya lega melihat cucu sudah digendong ibunya. Waktu itu, tenaga saya sudah habis sekali) ,” ujar Suriani sambil menangis.
Korban Banjir Bandang di Desa Penyabangan masih trauma
Awalnya Suriani tinggal terpisah dengan anak dan menantunya, namun rumahnya tersapu banjir bandang kini Dia tinggal sama anak dan menantunya.
Sepanjang alur banjir bandang sampai kini masih dipenuhi gelondongan kayu dan batu besar. Warga hanya bisa melakukan pembersihan lumpur danm emindahkan batu-batu yang berukuan kecil.
Kepala Desa Penyabangan Made Santika, pihaknya mengaku masih menunggu alat berat dari Pemerintah Propinsi Bali. Santika, menyatakan baru kali ini terjadi banjir bandang. Dia menyangkal, bila kayu gelondongan itu akibat penebangan liar. “Itu bukan karena penebangan liar pak, ini akarnya yang tercabut sampai batu besar pun ikut dibawa banjir,” ujar santika.
Santika memastikan, warga mereka tidak pernah mekaukan penebangan hutan secara liar. Banjir bandang ini murni akibat longsor di tengah hutan Negara. |NP|