JAKARTA | Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo segera mencabut Keppres buatan Soeharto mengenai Hari Pers Nasional (HPN). Sebagai gantinya, Presiden Jokowi menetapkan 1 Januari hari lahir Medan Prijaji sebagai Hari Kemerdekaan Pers Indonesia (HKPI).
Ketua Umum AJI Indonesia, Suwarjono, mengungkapkan hal ini, Jumat (12/2/2016), di Jakarta.
Seruan AJI ini dilontarkan menyusul pencatutan nama AJI sebagai salahsatu peserta perayaan Hari Pers Nasional di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Pada Harian Jawa Pos, Rabu 10 Februari 2016 dalam tulisan berjudul Dahlan : Pers Harus Identik dengan Anak Muda, memberitakan kemeriahan perayaan Hari Pers Nasional di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dalam tulisan tersebut, ditulis acara HPN dihadiri seluruh organisasi wartawan. Selain Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), media ini menyebut kehadiran Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
“Kami perlu meluruskan dengan memberikan hak jawab, sebagaimana diatur dalam kode etik jurnalistik. Seluruh pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia tidak hadir, termasuk pengurus AJI Kota seluruh Indonesia. AJI perlu menegaskan bahwa perayaan Hari Pers Nasional yang diselenggarakan setiap 9 Februari tidak tepat bila mengacu pada peringatan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),” terang Suwarjono.
Gagasan Hari Pers Nasional (HPN) muncul pada Kongres Ke-16 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Padang, Desember 1978, saat PWI Pusat dipimpin Harmoko. Keputusan kongres adalah mengusulkan kepada pemerintah untuk menetapkan tanggal 9 Februari, hari lahir PWI, sebagai HPN.
Tahun 1984, Harmoko yang sudah menjadi Menteri Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 2/1984 yang menyatakan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan, wadah tunggal di Indonesia. Tahun 1985, lahirlah Surat Keputusan Presiden Soeharto No 5/1985 yang mengesahkan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional, merujuk pada Kongres Wartawan Indonesia yang melahirkan PWI pada 9 Februari 1946.
Sejak itu, HPN menjadi perayaan korporatisme negara Orde Baru terhadap organisasi-organisasi kemasyarakatan. HPN menjadi ritual rutin tahunan, sarana efektif untuk melakukan mobilisasi pers, menjadi ajang kumpul dan pesta para petinggi PWI dan media.
Setiap HPN, ada prosesi baku, menghadap presiden atau wakil presiden, meminta mereka untuk membuka acara seremoni, kemudian dalam acara puncaknya, ada pemberian penghargaan kepada pejabat publik, perusahaan-perusahaan besar, dan sebagainya. Pers, PWI dan HPN menjadi tiga serangkai yang benar-benar berada di bawah ketiak Orde Baru. Soeharto mengisi pembukaan HPN dengan pidato-pidato glorifikasi kekuasaannya.
Setelah Reformasi 1998 bergulir, praktik HPN ini ternyata diteruskan Presiden-presiden berikutnya.
“AJI mengulang-ulang pernyataan bahwa HPN ini adalah pemborosan anggaran negara dan lebih daripada itu membuktikan pers tidak independen dari kekuasaan, salah satu dari sembilan elemen jurnalisme yang ditulis jurnalis kawakan Bill Kovach,” jelas Jono.
Hampir menjadi cerita klise, usai HPN digelar, terkuak kasus-kasus korupsi anggaran yang diselewengkan pejabat negara untuk perayaan ini. HPN justru menjadi tontonan tidak lucu rakyat yang melihat pajak yang mereka bayar dihambur-hamburkan.
Tidak sekali dua kali AJI mengusulkan ada peninjauan terhadap Keppres Soeharto soal HPN ini. Tidak terkecuali pada pada Presiden yang banyak didukung kaum reformis, Joko Widodo.
“Tahun 2015 lalu, melalui Sekretaris Kabinet saat itu, AJI sudah menyampaikan perlu peninjauan soal HPN ini. Selain menghambur-hamburkan anggaran negara, HPN seperti merayakan kooptasi pers dan kebebasan rakyat berpendapat di masa kediktatoran Soeharto,” jelasnya.
Lalu apa alternatifnya? Sejarawan dan budayawan sudah banyak mengusulkan hari alternatif untuk merayakan pers nasional. Mantan Ketua Umum AJI Lukas Luwarso pernah mengusulkan Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang didirikan antara lain Mas Marco Kartodikromo, Dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara pada
tahun 1914 di Surakarta mungkin lebih pas untuk dirayakan.
Sementara Taufik Rahzen yang meneliti sejarah pers nasional dan diterbitkan dalam buku “100 Tahun Pers Nasional” mengusulkan tanggal penerbitan perdana Medan Prijaji, koran didirikan Tirto Adhi Suryo, 1 Januari 1907.
“AJI berpendapat, kelahiran Medan Prijaji (baca: me-dan-pri-ya-yi) penting untuk dirayakan oleh insan pers Indonesia dan publik secara umum. Meski diketahui Medan Prijaji bukan media pertama yang berbahasa
Melayu, namun media ini menjadi penanda munculnya pers nasional yang berani berjarak dari kekuasaan yang saat itu adalah pemerintah kolonial Belanda. Medan Prijaji di sisi lain juga menjadi penanda cetusan patriotisme jurnalis untuk membela tanah airnya yang sedang terjajah. Kelahiran Medan Prijaji sangat layak dirayakan sebagai Hari Kemerdekaan Pers Indonesia (HKPI),” tandasnya. (MJ)
sumber : media jakarta (mediajakarta.com)