Singaraja | Pembuatan Gula Merah di wilayah desa-desa Bali Aga seperti Desa Cempaga masih dilakoni oleh warga setempat sampai saat ini. Pekerjaan ini dianggap sebagai warisan tradisi dari nenek moyang mereka. Walaupun sudah tidak banyak seperti dulu, namun gula merah atau masyarakat Bali sering menyebut Gula Bali ini tetap ada dan dibutuhkan di pasaran. Nyoman Nangsi, salah satu warga Desa Cempaga yang masih memproduksi gula merah ini.
Menurutnya, membuat gula merah sudah menjadi kebiasaannya sehar-hari. Setiap hari, dia bisa mendapatkan hingga lima kilogram gula merah dan dijual ke warung-wartung atau ada pengepul yang akan menjemput gula merah buatannya.
Padaal, Di Desanya Nangsi bukanlah warga miskin, Dia punya perkebunan cengkeh yang cukup banyak. Baginya, membuat gula merah seperti ada sebuah dorongan untuk selalu mengerjakannya karena dia sudah terbiasa melakoninya dan mengerjakannya dari orang tuanya dulu.
Nangsi sudah membuat gula merah ini sejak kecil. Bahkan, batok kelapa yang digunakan untuk mencetak gula merah juga sudah sangat tua. “Mih.. niki sampun mekelo gati. Tiang gen be engsap kudang tiban kaden niki cetakane.Pianak tyange dogen sampun lebih telungdase tiban umurne,” ujar Nangsi dalam bahasa Bali.
Yang dimaksud Nangsi itu, cetakan gula merah yang terbuat dari batok kelapa itu umurnya hampir sama dengan umur anaknya yang sudah berumur tiga puluh tahun. Cetakan itu dari batok kelapa itu belum pernah diganti. Sedari awal. Cetakan itu memang hanya diperuntukkan untuk mencetak gula merah.
Bahan gula merah ini terbuat dari air pohon aren. Rasanya sangat manis. Air dari pohon aren ini biasanya diiris pada pagi hari diatas pohonnya, lalu diambil pada sore harinya.
Air aren inilah yang menjadi bahan utama dan dipanaskan selama beberapa jam hingga mengental dan menjadi gula.
Setelah mengental, gula merah dicetak di dalam batok kepala. Tunggu sampai kurang lebih dua puluh menit, gula merah didalam batok kelapa itu akan mengeras dan siap untuk dipasarkan ke warung-warung. Nangsi menjualnya langsung dengan harga Rp.27.000 perkilogram.
Rasa gula merah asal Desa Cempaga memang sangat renyah seperti kue. Ada kebiasaan warga Desa Tigawasa, jika mereka sedang menikmati kopi hitam maka gula merah inilah sebagai menu hidangannya. Berbeda dengan orang pada umumnya, jika menikmati kopi biasanya menu hidangan lainnya kue basah atau kue kering dan sejenisnya.
“Kalau orang disini ngopi biasanya teman setianya gula merah ini. Menyeruput kopi sambil memakan gula merahnya” ujar Nangsi. Jika bahan dar areennya cukup, Nangsi memastikan selalu membuatnya.
Sementara itu, Kepala Desa Cempaga Putu Suarjaya mengaku akan kembali menggalakkan produksi gula aren sebagai salah satu ciri khas Bali Aga di Desa Cempaga.
Diakuinya, dalam beberapa tahun terakhir produksi gula merah asal Cempaga memang menurun karena generasi saat ini jarang yang berminat untuk memproduksinya.
“Kami akan upayakan produksi gula aren ini sebagai aset khas Desa Cempaga. Mungkin desa-desa lain di Bali Aga ini juga banyak yang membuat tetapi tentu ada perbedaan baik dari sisi proses maupun rasa gula balinya. Ini salah satu ciri khas Bali Aga khususnya pula Desa Cempaga,” ujar Putu Suarjaya, Minggu (24/4).
Suarjaya mengakui saat ini, pihaknya sedang menata semua potensi Desa Cempaga untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat desa Cempaga. Potensi itu bisa alam, sumber daya manusia maupun potensi lainnya. |NP|