Singaraja, koranbuleleng.com, Lomba Gangsing kembali digelar di Danau Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, untuk menyemarakkan even Twin Lake Festival, Jumat 24 Juni 2016. Desa Munduk, salah satu desa yang masih melestarikan permainan rakyat bersama sejumlah desa lain yang menjadi penyangga wilayah Danau Tamblingan, seperti Desa Gesing, Desa Umejero dan Desa Gobleg. Keempat Desa tersebut dalam tatanan adat di kawasan ini disebut sebagai Catur Desa.
Sementara, desa-desa lain diluar Catur Desa yang juga masih melestarikan permainan gangsing seperti Desa Bengkel, Desa Banyuatis, Desa Pelapuan, Desa Pedawa.
Serangkaian dengan even Twin Lake Ferstival, Pertandingan gangsing ini diramaikan oleh enam regu dari masyarakat Desa Gobleg, Desa Gesing, Desa Munduk, Desa Bengkel, Desa Pedawa, dan Desa Umejero. Masing-masing regu memiliki 13 anggota pemain gangsing.
Menurut salah satu tokoh Catur Desa, yang juga Klian Desa Pekraman Munduk, Jro Putu Ardana permainan gangsing atau megangsingan biasanya sering dimainkan atau ditandingkan setelah panen raya seperti panen kopi. Permainan gangsing selain sebagai ucap syukur serta hiburan rakyat setelah panen, juga digunakan sebagai media untuk menyama braya.
Di arena Gangsing, banyak orang yang bertemu warga antar desa. Pertemuan ini digunakan sebagi jalinan kekeluargaan. “Dulu masyarakat memainkan Gangsing ini setelah panen raya kopi, disini juga bertemu banyak orang, banyak warga sehingga hubungan kekerabatan juga terjalin. Ini jug amenjadi satu cara untuk menyama braya dengan sesama warga,”terang Jro Ardana di arena Gangsing, Danau Tamblingan.
Ardana juga mengatakan bahwa keberadaaan gangsing di Bali pada khususnya sudah sangat langka. Beberapa daerah yang masiah melestarikan Gangsing biasanya penduduk-penduduk yang tinggal diwlayah perbukitan. Di luar Kabupaten Buleleng, ada desa Pujungan yang masih melestarikan Gangsing ini. Menurutnya, Permainan gangsing yang sudah ada sebagai warisan nenek moyang, adalah permainan hiburan bagi petani kopi.
Di Buleleng, di wilayah Catur Desa dan desa lain biasanya terbentuk sekha-sekehaa gangsing yang biasa bertanding antar desa. Lokasi pertandingan gangsing juga seringkali bergiliran antar satu desa dengan desa lain.
Produksi gangsing juga dibuat sendiri oleh warga di masing-masing sekaa gangsing itu. “Tidak ada yang dijual belikan, semua produksi sendiri untuk kepentingan pertandingan saja,“ tambah Jro Ardana.
Gangsing yang dibuat ditentukan standarisasinya, yakni dengan diameter 66 sentimeter dan berat maksimal 1,6 kilogram. Permainan ini bisa dimainkan oleh siapa saja, asalkan sudah lihai dan tahu seluk-beluk mengikat tali gangsing hingga dilecutkan ke tanah atau arena gangsing.
Sementara itu, Salah satu pemain Gangsing mengatakan walaupun bisa dimainkan oleh siapapun namun harus tetap melalui latihan. Melecut Gangsing ke tanah butuh tenaga yang kuat serta ikatan tali gangsing yang benar.
“Kalau tidak lihai, gangsing itu tidak akan berputar. Jadi memang harus tahu seluk-beluknya, sering bermainlah,”ucap Sosiawan.
Sosiawan mengaku Lomba megangsingan ini cukup positif untuk melestarikan asset kearifan lokal di Buleleng.
Sementara pihak Pemerintah, Kadisbudpar Buleleng, Nyoman Sutrisna mengatakanPemerintah punya kewajiban untuk ikut dalam pelestarian permaina tradisional gangsing ini. Pihaknya sudah meminta melalui sejumlah prajuru adat di kawasan catur Desa supaya bisa membina sekaa-sekaa gangsing ini supaya tetap bisa eksis.
”Kami telah menyarankan kepada ke desa pekraman yang ada di Catur Desa supaya terus melakukan pembinaan-pembinaan mulai dari orang dewasa sampai ke anak – anak agar permainan gangsing tradisional yang ada di Catur Desa ini tidak punah,” ungkap Nyoman Sutrisna. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Wakil Bupati Buleleng, Nyoman Sutjidra supaya permaina nGangsing ini bisa tetap lestari di Buleleng. Final Megangsingan ini akan kembali digelar Sabtu 25 Juni 2016 di lokasi yang sama. |NP|