Singaraja, koranbuleleng.com| Sebuah pabrik penyulingan daun cengkeh di Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Buleleng membuat resah masyarakat dan sejumlah pelaku pariwisata di Daerah Tujuaan Wisata (DTW) air terjun Sekumpul. Dikhawatirkan, air resapan limbah dari produksi penyulingan daun cengkeh tersebut tak dikelola secara profesional hingga berdampak mencemari aliran sungai yang menjadi andalan kalangan petani dan peternak di Desa Sekumpul.
Kekhawatiran warga dan juga para pelaku pariwisata tersebut diungkapkan Kepala Desa Sekumpul, Made Suarta saat ditemui koranbuleleng.com di ruang kerjanya. Kamis, 29 September 2016.
“Kami sudah ajukan keberatan dengan melayangkan surat kepada perbekel desa lemukih, Ketut Budiarta. Namun kenyataannya, pabrik penyulingan sampai saat ini tetap beroperasi,” ucap Made Suarta.
Menurut Made Suarta, warga sekumpul memilih mencari sumber mata air lainnya untuk memenuhi keperluan pertanian dan peternakan, itu dilakukan setelah mengetahui bahaya yang ditimbulkan oleh pencemaran limbah pabrik penyulingan daun cengkeh.
Dari kabar yang diterimanya, penutupan juga pernah dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja Buleleng terhadap pabrik penyulingan daun cengkeh yang berada di dusun Lemaya, Desa Lemukih, dengan menunjuk pada Surat Edaran Bupati Buleleng Nomor 4306 Tahun 2012 tertanggal 2 November 2012. Namun seiring tetap beroperasinya pabrik tersebut, dirinya pun menduga, ada oknum yang memback-up kegiatan yang terang telah melanggar Undang-Undang lingkungan.
“Di hulu terdapat dua sumber aliran, yang sebelah barat sebagai sumber air yang digunakan sebagai DTW Air Terjun dan itu aman, dan aliran air yang di sebelah timur inilah yang dikhawatirkan warga kami. Kedua sumber air bertemu di hilir sungai dan air sungai itulah yang biasa dimanfaatkan warga untuk kebutuhan pertanian dan peternakan, namun setelah belakangan diketahui air sungai tercemar yang diduga tercemar pabrik penyulingan daun cengkeh, kini warga kami memilih tak lagi menggunakan air yang bersumber dari hulu sungai yang berada di bagian timur.” tandasnya.
Kepala Desa Lemukih, Ketut Budiarta juga membenarkan bahwa dirinya telah menerima surat dari pemerintah Desa Sekumpul yang ditujukan kepada pemerintah Desa Lemukih. Inti dari isi surat tersebut, menyatakan keberatan warga Sekumpul atas beroperasinya pabrik penyulingan daun cengkeh yang menimbulkan pencemaran lingkungan.
“Surat keberatan dari pemerintah desa sekumpul itu kami sudah terima, namun disini kami kembali mengacu pada Surat Edaran Bupati Buleleng Nomor 4306 Tahun 2012 tertanggal 2 November 2012 yang menyebutkan, pengambilan daun cengkeh kering secara besar-besaran dapat menimbulkan penyakit jamur akar, yang berdampak pada musnahnya tanaman cengkeh. Itu sudah kami sosialisasikan dihadapan warga bersama Klian Desa Pakraman Lemukih dalam forum rapat dan juga paruman di desa. Kami selalu berupaya mengadakan pendekatan secara persuasif, bukan pada penindakan,” ujar Ketut Budiarta.
Budiarta mengungkapkan, usaha penyulingan cengkeh tersebut sudah pernah ditutup pada tahun 2013 lalu, bahkan setahun kemudian terjadi musibah kebakaran yang mengakibatkan pabrik itu ludes terbakar.
Informasi di lapangan, sebenarnya bukan hanya warga desa Sekumpul yang keberatan terhadap keberadaan pabrik tersebut, warga kami yang berada berdekatan dengan pabrik penyulingan juga mengeluhkan bau kepulan asap yang menyebabkan polusi udara.
“Jika itu sudah dianggap melanggar, kami meminta dinas terkait untuk menentukan sikap dan langkah selanjutnya. Sebenarnya, bukan hanya warga desa sekumpul yang menyatakan keberatan terhadap pabrik penyulingan, sejumlah warga dusun Lemaya juga mengeluhkan polusi udara dari cerobong asap,” ungkap Ketut Budiarta.
Ketut Budiarta menambahkan, jika dinilai dari sisi lingkungan, hal ini sudah jelas sangat merugikan, selain mengakibatkan polusi udara, pemilik juga kurang memperhatikan efek yang ditimbulkan oleh limbah pabrik penyulingan daun cengkeh. Limbah tersebut dibuang begitu saja di aliran sungai, hal tetsebut pastinya menimbulkan pencemaran, dan membunuh berbagai biota air tawar, bahkan usaha ini tak mengantongi ijin apapun.
Sementara, pemilik usaha penyulingan daun cengkeh, Gede Sunu, 57, saat ditemui di tempat penyulingan justru mengaku sejauh ini pihaknya belum pernah mendapatkan keluhan dari warga terkait dampak usaha penyulingan daun miliknya itu.
Untuk pengolahan air limbah dari usahanya itu, Sunu menjelaskan selama ini limbah telah dibuang melalui sumur resapan dan tidak langsung ke sungai demi menghindari pencemaran.
“Kami selalu memperhatikan faktor lingkungan, untuk limbah cair ditampung dalam sumur resapan, sedangkan limbah padat, kami gunakan sebagai pupuk, banyak pendapat bahwa limbah padat ini berbahaya, namun sebenarnya bagus digunakan untuk pupuk,” terangnya.
Dirinya mengungkapkan, dulu pernah didatangi pihak Satpol PP dan memintanya untuk memberhentikan usaha penyulingan sesuai perintah Bupati Buleleng.
“Usaha ini pernah dihentikan di tahun 2013, salah satu petugas Satpol PP yang hadir seingat saya, waktu itu namanya Pak Yudistira. Alasannya ditutup karena usaha ini tak mengantongi ijin. Saat ini untuk wilayah timur hanya pabrik penyulingan saya saja yang beroperasi, setahu saya di daerah Buleleng barat banyak yang beroperasi pabrik penyulingan, seperti Desa Padangbulia, Ambengan, Gitgit dan Dencarik. Usaha ini kami buka kembali sebab saya dengar ada juga pabrik yang yang sama sudah mulai menjalankan usahanya. Kami memang tidak ada ijin sebab pengajuan ijin ditolak oleh Bupati Buleleng,” ungkapnya.
Hasil penyulingan minyak ini juga tampaknya menggiurkan darisis bisnis. Untuk minyak asirin yang dihasilkan, dalam sekali proses pengerjaan biasanya sehari bisa menghasilkan 30 kilogram per hari, dengan harga per kilogram dijual seharga Rp 130 Ribu.
“Usaha ini saya rintis kembali pasca kebakaran setahun lalu. Butuh dana sekitar Rp 80 juta membangun usaha ini hingga bisa berjalan seperti sekarang. Ada 6 tenaga pekerja yang semuanya berasal dari Jawa Timur, 2 ditempatkan bekerja di pabrik penyulingan dan 4 orang lainnya sebagai buruh petik di ladang perkebunan cengkeh. Langganan datang sendiri mengambil minyaknya kesini, namanya Pak Dewa dari Pelapuan, Gerokgak. Sejauh ini saya belum pernah menerima keluhan atau teguran terkait dampak usahanya,” katanya. |NH|