Dampak terparah sangat dirasakan oleh ratusan penduduk yang bermukim di gang acep, Banjar Dinas Dalem. Ketika koran berkunjung, nampak setiap rumah memiliki bak penampungan air yang ukurannya bervariasi.
“Sudah puluhan tahun kesulitan memperoleh air bersih. Apalagi di gang acep ini, di belakang rumah saya, air sampai nggak bisa naik. Hampir dua tahun lebih harus giliran menikmati air bersih. Biasanya kami harus antri tiap dua atau tiga hari sekali dan itupun jika tidak ada kerusakan di pipa induk. Normal saja debit airnya sangat kecil,” tutur warga gang acep, Luh Sukri, Rabu 7 Desember 2016.
Wanita pengrajin hiasan penjor itu mengatakan, Ia dan puluhan warga lainnya menyiasati dengan menyediakan bak penampungan air agar tak kekurangan air bersih.
“Tiap rumah di gang acep memiliki bak penampungan dengan ukuran yang bervariasi. Bahkan yang rumahnya lebih tinggi harus pake sanyo untuk menaikkan air. Paling susah itu ketika rainan dan punya acara keagamaan, bingung pak,” jelasnya.
Kepala Desa Sinabun saat ditemui di ruang kerjanya mengungkapkan Secara umum Desa Sinabun memiliki sumber air yang begitu melimpah. Namun dalam perhitungan beberapa pipa mengalami kebocoran disebabkan pipa yang digunakan tidak sesuai sesuai standard. Bumdes berencana melakukan peremajaan pipa distribusi pada jaringan induk yang melintasi kawasan perbukitan Desa Sudaji.
“Kondisi pipa PVC dan pipa besi banyak yang telah berumur puluhan tahun, banyak yang korosi dan riskan mengalami kebocoran. Beberpa pipa juga ada endapan lumpur sehingga hal itu perlu segera diremajakan. Tentunya butuh dana cukup besar. Dalam hitungan kasar, pipa PE kualitas standar dengan diameter 3 inchi sepanjang 9 kilometer butuh dana sekitar 2 milyar. Transfer air bersih dari sumber mata air ke desa sinabun dengan gravitasi kurang lebih 400 meter, menghasilkan debit air 6 liter per detik,” jelasnya.
Ia menyebut pengelolaan air bersih mengacu pada Peraturan Desa Sinabun yang digunakan sebagai payung hukum mengatur tentang pengelolaan Air Bersih yang dibuat pada tahun 1998. Dalam peraturan disebutkan mengenai pengaturan pelaksanaan penyediaan air bersih, administrasi penyedian air, dan sanksi apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan tersebut.
“Pemberlakukan tarif kan berbeda. Itu tergantung dari penggunaan, jika 0-10 kubik mereka dikenakan tarif sebesar Rp. 7500,- dengan rincian Rp. 4000,- ditambah uang beban sebesar Rp. 3000,- jadi per bulannya. Jika penggunaan diatas 10 kubik menyesuaikan dikenakan tarif progresif,” ungkapnya.
Menurutnya warga yang kekurangan air untuk kebutuhan air sehari-hari terpaksa berbagi dengan warga lainnya yang masih memiliki stock air bersih jika belum mendapatkan giliran air bersih.
“Penggiliran adalah upaya agar bisa memperpanjang pasokan rutin air bersih bagi warga,” kata Sumenada.
Sementara itu, Pria yang telah tiga tahun menjabat sebagai Kepala Desa selalu menghimbau warganya yang akan menggelar upacara keagamaan agar menyampaikan pemberitahuan sebelumnya secara lisan atau tertulis pada pihak Bumdes.
“Ngaben, Tiga Bulanan serta acara keagaman lainnya harus disampaikan terlebih dulu ke Bumdes agar tak mengorbankan kepentingan ribuan warga lainnya. Minimal seminggu sebelumnya agar bisa dijadwalkan oleh Bumdes. Menanggulangi hal ini, kami sangat berharap agar Pemerintah Provinsi Bali mau turun tangan membantu krisis air yang kami alami saat ini,” harap Sumenada. (NH)