Singaraja, koranbuleleng.com | Bendera adalah harga diri bangsa. Jika itu dikoyak, maka marahlah rakyatnya yang idealis. Di masa perjuangan, itulah sering terjadi. Para pejuang selalu bernafsu untuk mempertahankan dan mengibarkan bendera merah putih, itu adalah kewajiban. Tak ingin ada yang mengoyaknya, karena Merah Putih adalah segalanya.
Tugu Yudha Mandala Tama, di bekas pelabuhan Buleleng adalah penghormatan terhadap pejuang yang mempertahankan bendera Merah Putih. Tugu perjuangan ini dibangun tahun 1987, untuk mengenang perjuangan rakyat Bali di Pelabuhan Buleleng melawan keangkuhan tentara Belanda yang sempat mengoyak dan menurunkan Merah Putih dari tiang bendera di hadapan laut.
27 Oktober 1945 silam, dalam catatan sejarah pernah menjadi peristiwa berdarah mempertahankan tegaknya bendera Merah Putih di Pelabuhan Buleleng. Kala itu, awak kapal Belanda Abraham Grinjs, seluruhnya turun ke daratan di Pelabuhan Buleleng. Mereka membawa persenjataan yang lengkap.
Pasukan Belanda meringsek ke tengah kota Singaraja. Mereka melakukan provokasi dengan cara menurunkan sejumlah bendera merah putih yang berkibar di depan instansi pemerintahan maupun rumah milik warga. Diantara pasukan Belanda itu, ada yang mengoyak Bendera Merah Putih.
Kedatangan Belanda ke Singaraja sebenarnya untuk memperalat jepang yang tak lagi berkuasa, karena kalah dalam peperangan.
Belanda meminta Jepang untuk menekan hasrat dan kemauan Bangsa Indonesia yang sudah menyatakan Kemerdekaanya, termasuk di Bali.
Dari catatan buku Bali Berjuang, karya Nyoman S. Pendit, sikap culas tentara Belanda yang menurunkan secara paksa bendera merah putih karena tak mengakui kemerdekaan Indonesia membuat pemuda-pemuda Buleleng marah. Par apemuda membalasnya, walaupun harus kontak senjata dengan pasukan Belanda.
Serentak pula pemuda-pemuda bersiap membalas sakit hati kepada Belanda ini. Berisp-siap mereka berangkat menuju ke pelabuhan untuk mengadakan penyerbuan secara gerilya, di bawah pimpinan I Made Putu. Sampai di pelabuhan, kedapatan seluruh awak kapal Abraham Grinjs sudah naik ke dek kapal.
Beberapa pemuda, antara lain Anang Ramli, mendapat perintah menurunkan bendera Belanda itu dan menggantikannya dengan Sang Dwiwarna. Tetapi perintah ini tidak dapat dijalankan dengan sempurna, menyebabkan pimpinan BKR (Badan Keamanan Rakyat) sendiri bertindak menurunkan Bendera Belanda.
Berkibarlah kembali Sang Merah Putih dengan megahnya di depan kantor bea-cukai di pelabuhan Buleleng. Namun ini diketahui Belanda dari atas kapalnya. Mereka lalu menembak pemuda-pemuda Singaraja dari atas kapal Abraham Grijns.
Seorang pemuda terkena peluru Belanda hingga menyebabkan ia tewas seketika. Pemuda itu I Ketut Merta dari Banjar Liligundi, Singaraja. Akhirnya, para pemuda mendapat perintah mundur dari pelabuhan.
Sambil menembak, Belanda kembali menaikkan bendera tiga warna di kantor bea cukai, Belanda. Sang Merah Putih mereka turunkan lagi. Setelah itu pasukan Belanda naik kempali ke kapal.
Hari semakin gelap, Pemuda-pemuda kini dapat perintah maju, maju terus sampai ke pelabuhan, sampai ke tepi air laut. Seorang pemuda bernama Gde Muka mendapat perintah memimpin menurunkan bendera Belanda didampingi Wayan Mudana, Anang Ramli sebagai pelaksana dan Nengah Tamu sebagai penjaga keamanan pantai.
Perintah ini dilaksanakan dengan semestinya. Gde Muka dibantu Wayan Mudana berada dibelakang Kantor bea cukai, Nengah Tamu dibantu Ida Bagus Suamben menempatkan pasukanya disebelah barat kali Buleleng, sedang Anang Ramli berguling-guling mendekati bendera agar tidak terlihat dari kapal yang terus menerangi bendera dengan lampu sorotnya, tetapi sayang waktu menarik talinya dan kira-kira setengah tiang tali kerek putus dan bendera Belanda terkatung-katung setengah tiang.
Untuk itu lalu dicarilah galah dan arit untuk menggaet bendera Belanda. Segera setelah bendera Belanda digapai, Gde Muka dengan spontan merobek warna biru dari bendera itu hingga tinggal merah putihnya saja.
Pasukan kecil dibawah pimpinan Nengah Tamu, yang sudah berada dikanan-kiri jembatan pelabuhan, siap menyergap musuh, bersenjatakan bambu runcing, pedang golok dan senjata tanjam lainya, menunggu Belanda jika masuk kembali ke daratan. Rupanya, pasukan Belanda takut mendarat dan justru meninggalkan Pelabuhan Buleleng. |ET|