Proses shooting film pendek berjudul Luh Tu
Singaraja, koranbuleleng.com| Banyak pengguna media sosial sedih, gregetan, marah, namun banyak pula yang memberikan pujian. Ungkapan rasa itu muncul, ketika netizen menonton sebuah film pendek berjudl “Luh Tu” yang diluncurkan di Youtube oleh rumah produksi Taksu North Bali. Sudah dua hari diluncurkan di youtube, penontonnya sudah mencapai 34.146 ribu. Film ini, karya independen seorang vidoegrafer asal Banyuning, Singaraja, Gede Pasek Sriada.
Garapan Pasek begitu viralnya, karena kisah ini seakan nyata padahal dengan tegas di awal filmnya menyatakan bahwa film ini hanyalah fiktiplah belaka. Jika itu ada kesamaan nama dan tempat, hanya sebuah kebetulan semata. Namun, jika ditelusuri dalam kisah kehidupan nyata, bisa saja kehidupan seorang menantu seperti yang dikisahkan dalam film “Luh Tu” ada yang mengalaminya.
Banyak warga netizen yang menilai, film berdurasi 9 menit 36 detik ini merasa jika cerita yang diangkat merupakan kisah yang sebagian besar dialami oleh pasangan rumah tangga.
Ya, “Luh Tu”, dalam film ini dia adalah seorang perempuan sederhana yang diperistri oleh lelaki kaya raya. Menjalani bahtera rumah tangga bersama Suaminya, tidak serta merta memberikan kebahagiaan. Namun, Ia selalu mendapat siksaan baik secara fisik maupun batin dari sang Mertua. Hingga kemudian, Ia pun harus menjemput ajal karena rasa sakit yang Ia derita.
Film ini banyak memberikan pesan moral yang baik. Mengingatkan bahwa, seorang menantu adalah anak manusia yang juga harus diperlakukan baik dan sama seperti anak kandung sendiri.
Gede Pasek Sriada menuturkan, proses shooting film ini terbilang sangat singkat yakni hanya berlangsung 2 hari. Shooting ini juga memanfaatkan tiga lokasi saja yakni rumah dari dr Ketut Putra Sedana suami dari Dewi Caput pemeran Mama Mertua, Pasar Banyuasri, dan RS Kerta Usadha Singaraja.
Persiapan pembuatan film diawali dengan pemilihan para pemain. Mulai dengan peran Mama Mertua dengan karakter judes dan pemarah, Suami dengan karakter “Anak Mama”, dan Luh Tu sebagai tokoh utama dalam film ini.
Proses pendalaman karakternya pun terbilang sulit. Mengingat para pemain yang terlibat memiliki karakter yang berbanding terbalik dari peran yang dilakoni.
Misalkan saja tokoh Mama Mertua yang diperankan Dewi Caput. Ia yang selama ini berkepribadian lembut dan penyayang harus memerankan tokoh judes dan pemarah. Kemudian ada Novi sebagai pemeran Luh Tu yang harus selalu nampak sedih dalam film. Padahal dalam kesehariannya, Novi adalah sosok yang periang dan jahil tapi selalu apa adanya.
“Jadi disinilah kesulitannya, karena karakter asli dan peran itu berbanding terbalik, makanya harus take gambar ulang beberapa kali,” jelasnya.
Menurut Pasek Sriada, cerita yang diangkat dalam film pendek ini memang tentang kisah yang ditemukan di masyarakat. Selama ini, Ia melihat ada beberapa kasus yang mirip dengan cerita film yang digarapnya. Pantas saja ketika film ini kemudian menuani berbagai reaksi dari penonton, terutama mereka memang telah berumah tangga namun masih berkumpul dengan orang tua atau mertua.
Walaupun demikian, Pasek menyebut jika film ini tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun. Karena sejatinya kata Dia, banyak pesan moral yang bisa ditangkap ketika menyaksikan filmnya ini. Melalui alur ceritanya, Pasek juga ingin mencarikan solusi bagaimana sepantasnya ketika sepasang suami istri yang tinggal bersama mertua. Sehingga tidak ada kejadian-kejadian muncul dimasyarakat persis seperti cerita yang dituangkan dalam Film ini.
“Pesan moralnya yang paling utama adalah komunikasi yang baik antara suami, istri dan mertua. Terlebih tinggal berkumpul dengan orang tua. Harus pintar mengolah dan mencari solusi dalam sebuah masalah,” tegasnya.
Disisi lain, keberhasilan film ini dalam meraih simpati dari penonton juga tidak lepas dari acting ketiga pemeran utamanya. Mulai dari Novi yang berperan sebagai Luh Tu, Ferry yang memerankan tokoh Suami, dan Putu Dewi Puspitawati atau yang akrab disama Dewi Caput yang berperan sebagai Mertua dari Luh Tu.
Selain sebagai pemeran mama mertua dalam Fim ini, Dewi Caput juga didapuk sebagai penulis naskah. Walaupun tidak dituliskan pada sebuah kertas, namun Dewi yang kesehariannya sebagai Sekretaris di Dinas Arsip dan Perpustakaan daerah Buleleng ini mengaku menyiapkan naskahnya sesaat sebelum proses shooting dimulai, setelah Gede Pasek Sriada, sang Sutradara baru menyampaikan jalan cerita film ini.
Walaupun kesehariannya sebagai seorang Birokrat, namun peran yang dimainkan Dewi Caput terbilang sukses. Apalagi dalam komentar yang dituliskan para penonton banyak yang mencemooh sifat dari mama mertua yang Ia perankan. Menurutnya, seni peran ini memang Ia pelajari sejak duduk di bangku SMP secara otodidak.
“Menggeluti dunia akting sejak SMP secara otodidak. Kebetulan ada casting di Denpasar yang mencari pemain cilik. Memberanikan diri ikut casting. Kemudian saat SMA ikut teater mendapat pelajaran seni peran, kuliah juga aktif teater, makanya seni peran itu sebenarnya sudah biasa saya lakoni sejak dulu,” ujarnya.
Sebagai seorang yang mencintai seni peran, Dewi Caput yang mendapat tawaran sebagai pemeran mertua yang judes dan pemarah ini awalnya ragu untuk menerima. Namun karena merasa tetantang, Ia pun menyanggupi tawaran yang diberikan. Alhasil, sejumlah adegan pun harus dilakukan berulang-ulang karena memang Ia belum mampu menguasai karakter sesuai dengan apa yang diinginkan sutradara.
“Awalnya ragu karena berbeda dengan keseharian saya, tapi karena tertantang saya terima. Dan memang, beberapa kali ahrus ulang, tetapi untung saja Pak Pasek (Sutradara,red) sabar, dan hasilnya memang memuaskan,” Jelasnya.
Nah, bagaimana dengan Luh Tu yang diperankan Nyoman Novi Purnama Yanti ?. Dia mengaku terkejut dengan film pendek yang dimainkan justru viral di social media, Youtube dan Facebook. “Saya mendadak artis, tidak menyangka. Terima kasih buat penonton yang sudah menonton dan member tangapan baik,” kata Novi.
Novi, yang kesehariannya sebagai salah satu pegawai Kementerian Sosial, UPPKH Kabupaten Buleleng mengaku mengalir saja saat memerankan peran Luh Tu. Cerita yang begitu mengharu biru ini membuat dirinya tertantang untuk bisa memerankan peran perempuan yang tersiksa.
“Saya merasa, saya harus bisa karena film ini sebuah edukasi bagi masyarakat. Dari sejumlah informasi di media, kasus-kasus kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga selalu tinggi. Saya sih berharap, melalui pesan yang disampaikan di film ini, tidak ada lagi kasus kekerasan dalam rumah tangga,” ungkap Novi, ibu satu anak ini. |Rika Mahardika|