Singaraja, koranbuleleng.com | Perempuan ini mencatat angka kelahirannya, 31 Desember 1939. Sudah 80 tahun. Namun, dia masih segar, enerjik dan sehat sampai kini. Setiap hari, dia selalu melakukan aktifitas jalan kaki dengan jarak tempuh hingga 5 kilometer. Bukan hanya itu, dia selalu beraktifitas fisik secara ringan mulai dari membersihkan rumah, memasak hingga berkebun dengan tangan dan kakinya sendiri.
Dia, Luh Menek. Penari legendaris yang lahir di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan. Secara fisik, dia masih sangat sehat. Menari diatas panggung juga masih sangat enerjik. Soal gerak tari, ingatannya juga masih sangat sangar.
Dia kini tinggal di Desa Tejakula. Luh Menek adalah murid dari seniman tersohor asal Buleleng, Pan Wandres dan Gede Manik. Kedua tokoh tersebut sudah lama meninggal dan mewariskan sejumlah karya seni tari khas Buleleng.
Luh Menek, adalah generasi penari pertama yang menarikan Tari Teruna Jaya, karya seniman Gede Manik. Bahkan, Luh Menek beberapa kali menarikan Tari teruna Jaya dihadapan Presiden RI yang pertama, Soekarno di Istana Kepresiden di Bogor.
“Rasanya gimana ya, bangga bisa bersalaman dengan Presiden. Saya waktu itu tambah semangat menari, tidak ada rasa grogi karena bangga,” tutur Luh Menek saat ditemui di rumahnya.
Presiden Soekarno bahkan berpesan khusus untuk Luh Menek, agar terus melanggengkan karya seni tari Buleleng, termasuk Tari Teruna Jaya.
“Saya masih sangat ingat, Presiden Soekarno berpesan kepada saya, sambil menepuk pundak. Dia berpesan agar saya terus semangat menari dan melanggengkan Tari Teruna Jaya ini supaya tidak dilupakan orang.” kenangnya.
Sampai hari ini, Luh Menek masih setia dengan pesan Bung Karno itu. Itu menjadi salah satu semangat hingga usianya di 80 tahun ini terus menari, membina penari-penari baru agar tari khas Buleleng tidak terlupakan.
Begitulah, masa lalu Luh Menek yang sudah tersohor menjadi seorang penari sejak usia belia. Kini, di usia yang sudah tua, dia tetap setia menjaga warisan-warisan seni leluhurnya.
“Saya mengajarkan mereka agar bisa merawat dan memelihara wrisan orang tua. Bukan karena motivasi lain,” ujarnya.
Entah, sudah berapa remaja yang sudah diajarnya, dan diajaknya untuk menari ke berbagai daerah.
“Saya hanya ingin, karya seni khas Buleleng bisa terjaga dengan baik. Jangan dicampur aduk dengan gaya lain,” pintanya.
Tari Cendrawasih, adalah salah satu tarian yang sedang dipopulerkan kembali oleh Luh Menek. Sama, tarian ini juga karya pendahulunya, Gede Manik.
Tari ini juga sudah ditarikan dalam parade gong kebyar Anka-anak di panggung terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Denpasar oleh sanggar Seni Anglocita Suara dari Sekha Gong Kebyar Anak-anak, Selasa 25 Juni 2019 lalu. Luh Menek yang secara langsung menjadi pengasuh tarinya.
“Saya mengingat-ingat gerakan yang sebenarnya dari Tarian Cendrawasih ini karena sudah lam di tarikan.” Katanya.
Pakaian dari tarian Cendrawasih ini juga tidak menggunakan sayap. “Karena dulu, pakaian kana pa adanya, Tarian Cendrawasih yang asli tidak menggunakan sayap,” kata Luh Menek.
Luh Menek berharap, dirinya bisa melanggengkan segala karya seni tari dari Gede Manik dan Pan Wandres sebagai warisan seni yang adi luhung.
“Bukan hanya saya, saya berharap seniman di Buleleng juga terus menggali dan melestarikan seni tari khas Bulelengini,” katanya. |Putu Nova A.Putra|