Singaraja, koranbuleleng.com | Deburan ombak menggema, menghantam bibir pantai di Desa Tejakula. Panas terik menyengat kulit tubuh, hingga kilauan cahaya dari pantulan beningnya gelombang menyilaukan mata.
Dibawah terik itu, Gede Nesa terlihat tetap cuek menghadapi cuaca panas itu. Dia tetap asik saja menggemburkan tanah untuk persiapan produksi garam palungan.
Deburan ombak itu menjadi saksi kehidupan Nesa yang memulai memproduksi garam palungan, di musim kemarau ini. Pekerjaan sebagai produsen garam palungan ini adalah pekerjaan warisan dari nenek moyangnya. Termasuk Palungan yang digunakan untuk tempat mengkristalkan air laut menjadi garam itu adalah warisan aset dari pendahulunya.
Nesa sudah diwarisi Palungan dengan usia tertua sekalipun. Dia punya beberapa palungan berusia hingga 75 tahun, dari generasi sang kakek. Sementara dari orang tuanya, Nesa diwarisi Palungan berumur sekitar 25-50 tahun. Dan palungan-palungan terbaru baru berusia sekitar 7 tahun.
“Terakhir dibuat tahun 2012 lalu,” kata Nesa.
Tahun 2012 lalu, Nesa membuat palungan dalam jumlah sedikit, tidak sampai 50 batang palungan. Kendalanya, pohon kelapa kini susah dicari untuk palungan. Karena untuk membuat palungan garam ini, dibutuhkan pohon kelapa minimal berusia 60 tahun, bahkan lebih bagus jika pohon kelapa sudah berumur ratusan tahun.
Palungan ini dibuat dari batang pohon kelapa yang dibelah menjadi dua. Isi batang kelapa dikeruk, hingga membentuk sebuah palung dengan panjang. Satu palungan panjanganya sekitar dua meter. Palungan inilah menjadi salah satu media produksi garam khas dari desa Tejakula. Konon, dengan menggunakan palungan ini rasa garam justru lebih enak dilidah, dan lebih alami serta tidak pahit. Pori-pori dalam palungan itu mampu menyerap zat yang membuat pahitnya garam, sehingga garam Palungan in teras alami di lidah.
Kesulitan mencari bahan baku Palungan dari batang pohon kelapa tua inilah yang mengancam eksistensi garam palungan. Sementara, palungan yang ada saat ini, semakin tahun semakin sedikit. Karena setiap tahun, ada saja palungan yang rusak, terutama palungan yang sudah berumur tua.
“Palungan yang baru, setiap tiga tahun bisa diperbaiki. Perbaikinya juga harus hati-hati supaya tidak rusak, seperti bocor,” ceritanya.
Selama air laut masih utuh, garam tetaplah bisa diproduksi dengan media lain. Namun, pohon kelapa yang semakin sedikit membuat para produsen bisa beralih dengan media lain dalam memproduksi garam. Saat ini, sejumlah produsen garam di wilayah Buleleng timur menggunakan media terpal untuk menyemai air laut menjadi garam, karena palungan yang juga semakin sedikit. Jika sudah menggunakan terpal, maka bukan lagi dinamakan garam palungan.
Proses pembuatan garam Palungan ini memerlukan waktu yang relatif lama. Bisa menyita waktu hingga dua hari, untuk sekali produksi garam. Semua dilakukan secara tradisional.
Tanah yang telah digemburkan oleh Nesa, disirami air laut. Tanah tersebut dibiarkan kering, hingga retak-retak dibawah panas matahari. Tanah yang retak tersebut kembali digemburkan dan dibasahi. Begitu berulang hingga dua kali sebelum dimasukkan ke tinjung. Proses berulang itu dilakukan agar kadar garam tinggi saat diproduksi.
Setelah itu, tanah dari porses pembasahan dan pengeringan secara berulang itu ditempatkan ke tinjungan. Tinjungan ini bentuknya mengerucut ke bawah. Untuk menyangga tinjungan, Nesa memasang beberapa penyangga yang terbuat dari bamboo. Didalam tinjungan, tanah tersebut kembali diisi air laut. Produsen garam setempat mengukur dengan alat tradisional saja yang disebut sene. Ketika mencapai 20 sene, maka cukuplah tinjungan itu diisi air laut. Proses ini dilakukan pada sore hari, karena malam hari air tanah di tinjungan waktunya untuk disaring.
Hasil air saringan tinjungan ini, di pagi hari esoknya dibawa ke palungan untuk proses pengkristalan. Proses ini juga memakan waktu sekitar 10 jam, dari pagi hari hingga sore. Proses akhir di palungan inilah yang dipanen menjadi garam.
“Kendala yang kami hadapi cuaca dan jumlah palungan yang berdampak pada jumlah produksi. Jumlah palungan semakin sedikit, satu banjah terdiri dari 25 palungan. Sementara ini setiap banjah kurang dari 25 palungan,” cerita Nesa.
Untuk membuat Palungan, biayanya juga besar. Saat ini, sangat sedikit yang bisa membuat palungan. Jikapun ada, biaya jasa membuat palungan juga tinggi. Biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan tiap buah palungan kisaran Rp.100.000 per palungan.
Selama musim kemarau ini, produksi garam Palungan ini sudah berjalan hampir satu setengah bulan, dan sudah pernah di jual dengan harga perkuintal 1 juta rupiah atau 10 ribu per kg. Nesa menggunakan hasil penjualan garam itu untuk memenuhi kegiatan sehari-hari.
Menurut pria yang sudah berumur 53 tahun ini, menceritakan di desanya terdapat tiga kelompok pembuat Garam Palungan, yang tiap tahunya semakin berkurang jumlahnya. Kelompok 1 hanya aktif 1 orang saja, kelompok 2 hanya aktif sebanyak 5 orang, dan kelompok ke 3 aktif sebanyak 3 orang. “Bahkan, sebagian lahan untuk pembuatan garam palungan bahkan ada yang dijual, sudah dikapling investor,” ungkapnya.
Selain Nasa, cerita produsen lain yakni Nengah Tiarsa juga sama suka dukanya. Tiarsa menceritakan dirinya pernah selama satu tahun tidak bisa membuat garam karena cuaca. Saat musim kemarau, justru yang terjadi setiap hari mendung.
“Jangankan hujan mendung saja sudah dipastikan tidak bisa membuat garam, dulu pernah hampir setahun tidak membuat garam karena hujan turun terus menerus,” kata Nengah Tiarsa.
Jika tak membuat garam, Tiarsa lebih memilih mengambil pekerjaan sebagai buruh untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya.
Berbeda dengan Gede Nesa, Nengah Tiarsa hanya mengunakan sedikit Palungan. Menurutnya, modal yang besar untuk membuat Palungan menyebabkan Tiarsa hanya membuat sedikit garam.
“Saya sudah membuat Garam Palungan dari orang tua saya” dan Nengah Tiarsa. Tiarsa berharap, ada solusi dan bantuan modal dari pemerintah untk keberlangsungan tradisi pembuatan garam palungan ini.
“Saya sangat berharap ada bantuan modal untuk terus menjaga tradisi yang sudah ada sejak dulu,” imbuhnya. |Edi Toro|