Singaraja, koranbuleleng.com | Warga Desa Adat Pedawa sedang riang, menyongsong tradisi luhurnya, Saba Malunin. Ini sebuah tradisi besar di Desa Pedawa dan berlangsung selama tiga hari. Saba malunin ini sudah berlangsung sejak kemarin, Minggu 13 Oktober 2019 tepat saat bulan purnama terlihat paling sempurna muncul, purnamaing kapat. Dan tradisi ini akan berakhir, Selasa 15 Oktober 2019.
Dalam tradisi Saba malunin ini, ada kewajiban dari krama adat untuk membawa balun atau banten lungguh. Banten lungguh itu adalah persembahan dari warga yang sudah bersuami istri dan mempuyai keturunan yang masih muda. Banten ini dipersembahkan di Pura Kemulan Puseh Bingin.
Menurut tetua Desa Pedawa, Wayan Sukerata, makna banten balun ini menunjukkan bahwa desa Pedawa dalam keadaan tegteg atau mapan. Dalam arti, desa ini sudah dalam keadaan mapan secara rohani dan jasmani.
Persembahan Balun ini tidak boleh sembarangan karena bisa memberi dampak buruk. Maka itu, Balun harus dipersembahkan secara baik supaya mendatangkan kemakmuran.
“Persembahan ini dari suami istri atau krama ngarep sebagai wakil dirinya kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa. “ terang Sukerata.
Balun ini diibarakan sebagai badan dari suami istri. Balun berasal dari muasal “Ba” yang berarti Banten dan Lun berarti lungguh. Jika diartikan, banten yang diserahkan oleh orang yang duduk dalam tata ungguh, mereka adalah orang yang sudah melalui proses perkawinan sebagai suami dan istri serta anaknya.
Banten lungguh ini juga perlambang sebagai banten tertua di Desa Pedawa. Perlambang itu digambarkan oelh warga langsung, entah tua dan muda, saat membawa Balun harus berbekal tongkat.
“Jadi ini adalah banten tertua, yang sangat disakralkan. Perlambang tua itu digambarkan bahwa setiap yang membawa banten ini harus juga membawa tongkat,” ujar Kelian Desa Adat Pedawa, Wayan Sudiastika.
Bentuk Balun inipun tidak seperti sarana banten umumnya di Bali. Namun bentuknya khas dari desa Pedawa dan unik. Isi Banten Balun itu nasi, sayur dari daun delundung, lalu berisi Gerang atau ikan laut yang sudah dikeringkan, daging babi, cabi, bawang merah mentah serta berisi pisang setandan.
Semua isi banten itu diikat dalam ulatan bambu yang disebut klatkat dan dibalut daun pisang. Klatkat dan daun pisang ini diikat lagi dengan daun aren muda.
Dalam tradisi saba malunin ini juga ditarikan sekitar 16 tarian sakral khas Desa Pedawa. Tarian ini ditarikan di Pura Desa Adat Pedawa. Diantaranya, tari baris, tari mepetokan, nabuin, meblangan, abuang abuangan, rejang akilukan.
Tari-tarian Sakral ini hanya boleh dibawakan saat upacara piodalan di Desa Pedawa semata. “Tidak boleh dibawakan untuk tarian penyambutan, ataupun untuk konsumsi hiburan, tidak boleh,” jelas Sukerata.
Penjor Suci
Dibalik tradisi adi luhung warga Desa Pedawa ini, ada pesan bagi generasi kini untuk selalu melestarikan alam. Leluhur warga Pedawa secara tidak langsung telah memberikan amanat bagi generasinya menjaga hal-hal yang pantas untuk dijaga demi keajegan desa dan semesta.
Semisal, Di pura juga dipasan banyak Penjor yang harus menggunakan bambu atau tiing Bali.
Menurut Sukerata, ada tiga jenis bambu yang dianggap sakral dan keperluannya dimanfaatkan untuk upacara keagamaan dipura. Yakni, Bambu buluh, bambu Bali dan bambu ampel. Tiga bambu ini disanggap sakral dan wajib digunakan untuk sarana upacara keagamaan.
“Dari kondisi itu, ketiga jenis bambu ini tidak boleh punah,” kata Sukerata.
Sukerata bersyukur karena di Desa Pedawa, ada anak-anak muda yang peduli terhadap lingkungan dan alam sehingga ketiga jenis bambu ini bisa lestari sampai kini.
“Anak-anak kami dari Kayoman Pedawa yang beranggotakananak-anak muda di Desa Pedawa dengan inisiatifnya menjaga dengan baik segala macam tumbuhan, termasuk tumbuh-tumbuhan untuk sarana upacara ini dijaga dengan baik,” ucap Sukerata.
Salah satu anggota Kayoman Pedawa, Made Suisen alias Made Saja mengakui itu. “Tugas kami sekarang ini memang menjaga agar bambu ini tidak punah, gampang-gampang susah,” kata Saja, panggilan akrabnya.
Gampang-gampang susah itu begini, kata Saja, bahwa kalau secara sengaja ditanam terkadang sangat sulit untuk tumbuh. Dari 10 tanaman bambu Bali kadang yang bertahan hidup hanya tiga saja.
“Tetapi kalau dibiarkan tumbuh sendiri, dengan sendirinya dia tumbuh beranak pinak banyak. Itulah yang kami jaga agar bambu ini tidak punah,” ujar Suisen.
Selain menggunakan bamboo Bali sebagai penjor, sejumlah pelinggih di Pura Desa Pedawa juga hanya dihias dari bahan alami dedaunan semata. Sehingga kelihatan klasik.
“Leluhur sudah memberikan piteket bahwa kami harus menjaga dan menghormati alam dan lingkungan ini, tanpa plastik ataupun bahan lainnya yang telrihat lebih mewah,” ungkapnya. |NP|