Singaraja, koranbuleleng.com | Singaraja, kota yang memiliki liku peradaban yang berbeda-beda dari masa ke masa. Dari jaman kerajaan Buleleng hingga menjadi ibukota Sunda Kecil, di masa lalu. Semua menjadi warisan, walaupun sebagian diantaranya telah hilang.
Namun, sebagian jejak-jejak masa lalu masih ada, baik dalam rupa bangunan maupun tradisi adat istiadat. Dari kondisi itu, Singaraja bisa menjadi kota pusaka kebangsaan, walaupun sebenarnya Singaraja sudah menjadi anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia sejak tahun 2011.
Untuk menjadikan Singaraja sebagai kota pusaka kebangsaan, maka perlu ada tim ahli cagar budaya. Selain itu, Buleleng juga harus mempunyai produk hukum berupa peraturan daerah yang mengatur perlindungan terhadap cagar budaya baik berupa benda maupun tak benda.
Direktur Eksekutif Jaringan Kota Pusaka Indonesia, Nanang Asfarinal dalam diskusi akhir tahun Komunitas Jurnalis Buleleng (KJB) tahun 2019 yang mengambil tema “Singaraja Kota Pusaka” menjelaskan bahwa perairan Bali utara di masa lalu adalah jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat padat. Banyak pedagang dari luar negeri, singgah di Buleleng untuk berdagang dengan pola-pola di masa itu.
Buleleng sebagai jaur rempah sudah menjadi modal bagi Singaraja untuk menjadi warisan cagar budaya dunia. Cagar budaya ini sebagai sumber ikatan sosial, keragaman dan penggerak kreatifitas, inovasi dan regenerasi perkotaan.
“Jadi ini memang harus dimanfaatkan kelebihan-kelebihannya,” ungkap Nanang Asfarinal, di gedung Mr.I Gusti Ketut Pudja, Jumat 20 Desember 2019.
Dulu, Singaraja sebagai ibukota Pemerintahan Sunda Kecil. Pusat pemerintahan Indonesia timur, berada di Singaraja. Bahkan, kelahiran Bung Karno sebagai pendiri bangsa tidak lepas dari sejarah perjalanan cinta orangtuanya, Raden Soekemi Sosrodiharjo dengan Rai Srimben dari Bale Agung, Singaraja.
Nanang menegaskan untuk menjadikan Singaraja sebagai kota pusaka maka perlu ada tim ahli cagar budaya serta peraturan daerah yang mengatur tentang keberadaan benda-benda cagar budaya yang bisa dilindungi oleh pemerintah. Tim ahli cagar budaya ini nantinya dapat menentukan bangunan cagar budaya di kabupaten Buleleng sesuai dengan regulasi yang ada.
Nanang Asfarinal menjelaskan pentingnya peran pemerintah Kabupaten Buleleng untuk memfasilitasi membentuk tim ahli cagar budaya yang disetujui kementerian.
“Tentu kepala daerah harus mempunyai komitmen, langakah-langkah kedepan yang berurusan dengan cagar budaya Buleleng yang harus mempunyai legalisasi sesuai dengan undang-undang cagar budaya. Makanya Buleleng harus mempunyai tim ahli cagar budaya yang disertifikasi oleh Kementerian,” ujarnya
Sementara itu Dosen Pendidikan Sejarah Undiksha Drs. I Made Pageh,M.Hum menjelaskan bentuk nyata dari adanya jejak-jejak sejarah di Buleleng adalah banyaknya warisan dari masa lalu termasuk Pelabuhan Buleleng.
Pelabuhan Buleleng yang merupakan salah satu pelabuhan besar di Indonesia pada jamannya bukan hanya menjadi saksi perdagangan besar, tetapi juga menjadi saksi perjuangan para pejuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Peninggalan masa lalu dari jaman kerajaan hingga penjajahan juga tersebar luas di banyak tempat di Buleleng.
“Berbicara pusaka pasti erat kaitannya dengan warisan. Kota Pusaka harus diklasifikasi. Bisa dipusatkan sebagai daerah pusat kegiatan, pemerintahan, ekonomi atau budaya,” terang Pageh.
Sementara itu, Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana menjelaskan perlu studi lanjutan untuk menjadikan Singaraja sebagai kota Pusaka, termasuk untuk membentuk tim ahli cagar budaya.
“Kita diskusikan terlebih dahulu ada cagar budaya yang disampaikan warisan dari masa kolonial, jadi jangan dicampur adukan dulu. Kalau pembentukan tim kita belum tau, ya ditunggu buat tim dulu,” ujarnya.
Bupati Buleleng juga mengaku mendukung upaya-upaya untuk melestarikan warisan budaya sebagai cagar budaya di Kabupaten Buleleng. |ET|