Tabanan, koranbuleleng.com | Gerimis tipis membasahi pertiwi Desa Batungsel, Kabupaten Tabanan, Minggu 5 Januari 2020 pagi. Mendung memang terus bergelayut tebal, namun hujan deras tak datang hari itu.
Memasuki Banjar Dinas Batungsel Kelod, Desa Batungsel, semerbak aroma kopi tercium khas. Di banjar ini terdapat pabrik kopi bubuk asli dari desa setempat, bernama Kopi Mutiara. Jika dinikmati, aromanya menggugah selera apalagi diseruput kala gerimis. Desa Batungsel adalah salah satu penghasil kopi terbaik di Bali. Letaknya di lereng kaki gunung Batukaru bagian barat.
Di beberapa meter di seberang jalan dari lokasi Pabrik Kopi Mutiara itu, memasuki sebuah gang, sejumlah anak-anak desa setempat terlihat sudah khusuk belajar. Mereka terlihat membaca majalah bobo serta buku-buku cerpen lainnya.
Mereka sedang mengikuti program literasi akar rumput yang digelar oleh Komunitas Desa Belajar Bali, Desa Batungsel, Kecamatan Pupuan, Tabanan. Gerakan ini digelar setiap hari minggu.
Komunitas Desa Belajar Bali ini sudah aktif sekitar dua tahun lalu, namun sebelumnya pergerakan literasi sudah dilakukan walaupun dalam langkah-langkah kecil. Literasi ini bermula dari kesungguhan pendirinya, Wayan Artika untuk menanamkan “investasi” pendidikan bagi anak-anak di Desa Batungsel.
Bagi Artika, literasi bukan hanya sekeda memberikan bahan bacaan kepada anak-anak, tetapi lebih kepada membangun nalar, merubah kebiasaan belajar yang terburu-buru, membalik kebiasaan mendengarkan menjadi mengisahkan (naratif).
“Saat ini, mungkin proses yang kami jalani belum berbuah, tetapi hasil dari proses ini nanti, bisa lima atau enam tahun di depan,” ungkap Wayan Artika.
Made Agus Jaya, siswa yang berumur 12 tahun, ikut kelas ini. Agus kini duduk di bangku kelas 6 SD. Dia bergabung di program literasi akar rumput sekitar dua tahun lalu. Saat hari minggu kemarin, seluruh anak ditugaskan membaca dan mencari informasi penting yang dekat dengan kehidupan mereka.
Agus melakukan presentasi dari informasi yang didapatnya. Dia tulis dalam bukunya. Salah satu info penting yang didapatnya adalah, tentang air terjun. Bahwa kebanyakan air terjun di Indonesia justru mengalami peningkatan volume air yang banyak ketika musim hujan, dan musim kemarau aliran air terjun justru mengecil.
Apa itu air terjun? Wayan Artika memulai dari pertanyaan itu kepada Agus dan akan-anak lain agar mereka mencari artinya dari referensi yang didapat. Dari referensi itu, anak-anak mampu mendefinisikan dan mempresentasikan air terjun itu.
Terlihat sepele, tapi disitu ada pola untuk membentuk anak-anak menjadi lebih berani mengisahkan sesuatu, bukan hanya mendengar semata.
“Jadi ini membutuhkan proses, mungkin di sekolah terbiasa dengan cepat dan dikejar waktu, tapi proses literasi tidak bisa seperti itu. Tidak boleh anak-anak ini tahu sepintas saja, tetapi harus detail dan bisa mengungkapnnya,” ungkap Artika.
Pada satu sesi, Artika meminta mereka membentuk kelompok-kelompok. Satu kelompok terdiri dari 5 sampai 7 orang. Masing-masing anggota kelompok diminta membuat tabel. Tabel tersebut berisi kolom Nama (Nama pendek), tinggi badan, berat badan tahun lahir. Masing-masing anggota kelompok ini menuliskan namanya di kolom tersebut.
Setelah semua tertulis, kelompok tersebut kembali membuat sebuah tabel yang merangkum dari tabel yang dibuat oleh masing-masing anggota kelompok.
Setelah terangkum semua, dari dalam tabel tersebut diketahui, perbedaan tahun lahir dan tinggi badan yang berbeda-beda. Seseorang yang mempunyai angka tahun 2007 dan angka tahun lahir 2009, tinggi badannya bisa berbeda.
Bisa saja anak yang lahir di tahun 2009 atau usianya lebih muda akan lebih tinggi dibandingkan anak yang lahir di tahun 2007 atau lebih tua. Dalam kondisi tertentu, angka itu bisa berbeda makna.
Masing-masing anak menarasikan angka-angka yang ada di dalam tabel, sehingga secara tidak langsung, nalar atau logika mereka terlatih.
“Jadi kemampuan anak untuk literasi numerasi akan terasah dengan desain seperti ini,” katanya.
Literasi dan numerasi, kata Artika penting diajarkan dalam kehidupan pendidikan anak-anak. Dia sepakat akan konsep yang juga digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.
Literasi adalah kemampuan bernalar dengan menggunakan bahasa dan numerasi adalah kemampuan menganalisis dengan menggunakan angka-angka.
Seperti itulah. Kegirangan anak-anak lereng Batukaru dalam belajar juga didukung oleh hamparan alam yang menghijau. Mereka bisa belajar diatas padang rumput, ataupun dalam bangunan yang dibiarkan kelihatan corak bata tanpa polesan.
Bangunan yang menaungi anak-anak saat belajar, adalah rumah milik Wayan Artika. Artika selain sebagai seorang dosen di Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Pendidikan Ganesha, dia juga seorang penulis buku serta penggiat sastra. Ide kehidupan yang dimunculkannya terlihat dari apa yang telah dibuat jadi nyata, termasuk rumahnya.
Wayan Artika juga sudah menyediakan bangunan khusus jika ada kolega yang menginap disana. Semua bangunan rumah langsung menghadap hamparan alami.
“Saya memang punya keinginan agar rumah bisa dijadikan tempat yang bermanfaat untuk dunia pendidikan,” kata Artika.
Akhirnya, dari bangunan-bangunan itu, dia mengundang sejumlah anak-anak desa untuk ikut berproses dalam gerakan literasi. “Saya bekerja di dalam kesunyian, bagi saya tidak beban mereka datang ke sini dalam jumlah kecil atau banyak.” katanya.
Ada beberapa sukarelawan yang ikut membantu dalam membangun gerakan literasi akar rumput ini. “Siapa yang mau mari kita berjalan bersama, saya tidak memaksa bagi siapa saja yang tidak mau,” ujarnya.
Selama ini, ada beberapa sukarelawan yang datang ke Komunitas Belajar Desa Bali. Kemarin salah satunya adalah seorang perempuan muda asal Jerman. Namanya, Merry.
Merry adalah salah satu perempuan muda yang merdeka. Dia seringkali bolak balik Lovina-Batungsel dengan sepeda motornya. Kesiapsiagaan dirinya mengajar anak-anak di Desa Batungsel dalam gerakan literasi akar rumput karena didasari keinginan untuk bisa sama-sama belajar dengan siapapun. Di Komunitas ini, Merry merasa mendapatkan sesuatu yang berbeda.
Mendekati pukul 12.00 wita. Anak-anak ini mulai mengemas buku dan merapikannya ditempat semula. Mereka telah selesai belajar selama hampir empat jam tanpa henti.
Untuk menurunkan tensi dan kegawatan pikiran selama belajar, mereka diajak makan bersama ditempat itu. Masing-masing anak sudah membawa bekal makanan dari rumah dengan menunya masing-masing.
“Jadi sebelum pulang, kita makan bersama disini. Sebenarnya ini untuk menurunkan tensi saja agar anak-anak ini kembali tenang setelah belajar. Setelah makan bersama barulah pulang dengan santai di jalan, tidak ada beban,” Artika.
Artika mengaku, semenjak membangun komunitas ini memang selalu mendapatkan panggilan berbicara di banyak forum sehingga bertemu pula dengan orang-orang dengan pergerakan yang sama bidang literasi berbasis akar rumput.
Dari pertemuan dan apa yang disaksikan itu, ternyata banyak yang melakukan gerakan yang sama dengan komunitas Belajar Desa Bali ini.
Dia mengaku banyak melihat daerah sama kondisinya, masih ada yang terbelakang bidang pendidikan, lalu ada orang yang intens untuk membangun kondisi itu menjadi lebih baik dengan gerakan literasi ini.
“Saya melihat, Indonesia ini masih seperti ini. Dari situ, saya semakin percaya, era revolusi 4.0 itu baru tumbuh di ruang-ruang seminar yang dilengkapi dengan pendingin ruangan. Jikapun sudah, baru sedikit sekali,” tegasnya. .
Dari kondisi itu, Artika merasa harus terus membangun gerakan literasi itu tanpa harus merasa bosan. Lelah iya, tetapi semangat itu tidak boleh kendor. Karena kuncinya, membangun literasi itu berada pada kontinuitas yang tak boleh berhenti. |Putu Nova Putra|