Bumdes Giri Sedana sedang merintis produksi Dupa |FOTO : Edi Toro|
Singaraja, koranbuleleng.com |Usaha pembuatan dupa coba dikembangkan Bumdes Giri Sedana di desa Ambengan, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Hal ini dilakukan untuk menyiasati sektor wisata yang tutup di desa pandemi COVID 19. Penutupan tempat wisata ini berimbas kepada pemasukan Bumdes Giri Sedana.
Selama ini,unit usaha yang dikembangkan Bumdes Giri Sedana yang berdiri tahun 2019 ini lebih didominasi sektor wisata, antara lain pengelolaan obyek wisata air terjun jembong, air terjun blue lagoon, air terjun aling-aling, wisata tracking serta wisata lainya.
Sekretaris Bumdes Giri Sedana I Nyoman Nova Suparta menuturkan, pembuatan dupa sudah berjalan dari Juni 2020. Menurutnya, dengan mengembangkan usaha pembuatan dupa bisa mendapatkan pemasukan di bumdes Giri Sedana, mengingat selama pandemi pemasukan dari wisata tidak ada sama sekali.
Ide pembuatan dupa, kata Nova memang sudah direncanakan sejak dulu. Pihak Bumdes mengajukan proposal untuk pengadaan alat pembuat dupa ke Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Provinsi Bali. Namun karena belum ada tenaga yang bisa menggunakan alat tersebut terpaksa harus disimpan dulu.
“Nopember 2019 alat sudah datang, namun belum ada yang bisa menggunakan sehingga harus ikut pelatihan. Kebetulan istri saya yang ikut pelatihan, jadi kita buat di rumah, ini juga bisa membantu pemasukan untuk Bumdes,” ujar Nova, pria yang juga pernah jadi PMI ini.
Saat ini, pemasaran dupa hanya di wilayahn Desa Ambengan. Keterbatasan sumber daya manusia menjadi salah satu kendalam dalam untuk meningkatkan jumlah produksi. Sistem pemasaran juga dilakukan melalui sosial media.
“Harga bervariasi tergantung berat dan panjang dupa, paling murah Rp.10.000 dan paling mahal Rp. 35 .000,” imbuh Nova
Sementara bahan baku dipesan dari Desa Kubutambahan. Dupa yang diproduksi ada 3 jenis, yakni varian berwarna coklat, coklat tua dan hitam.
Sementara itu, pembuat dupa yang sekaligus Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Ni Luh Putu Suastini menjelaskan, proses pembuatan dupa dimulai sejak pukul 08.00 wita hingga pukul 16.00 wita. Sehari-hari, ia dibantu suaminya Nova bisa membuat hampir 20 hingga 30 kilogram dupa.
Dalam sehari biasanya pembelian dupa di tempatnya bisa mencapai 10 sampai 15 kilogram, namun permintaan akan bertambah ketika mendekati hari raya umat hindu. Bahkan stok dupa yang biasanya disimpan harus dijual juga.
“Yang beli dupa disini tergantung selera mereka masing-masing ada yang suka warna coklat, ada juga yang hitam, saya membuat di bantu suami. Mulai minggu lalu ramai yang beli, karena dekat hari raya” ujar Suastini
Untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat, kedepannya Suastini bersama suaminya berencana akan mencari pegawai yang bisa membantu untuk produksi, hingga pemasarannya bisa lebih luas tidak hanya di Desa Ambengan saja.
“Nanti mungkin kita latih juga dari anggota KWT, sehingga bisa menambah produksi” imbuhnya
Disinggung mengenai omzet yang didapat Suastini mengatakan sekitar Rp. 2,9 juta perbulan, dengan hasil yang didapatkan, sekarang pihaknya hanya bisa memutar uang tersebut hanya untuk membeli bahan-bahan pembuatan dupa.
“Kalau bulan lalu sekitar 2,9 juta, namun itu masih kita gunakan buat modal lagi, jadi masih kita putar dulu,”pungkasnya. |ET|