“Kerjakan LKS Halaman Sekian”, “Bikin Video Anu”: WAG dan Salah Paham Belajar Daring

|FOTO : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.|

Mungkin saat yang tepat mengutip peribahasa, “Tiada rotan akar pun jadi.” Hal ini untuk menggambarkan kegiatan belajar mengajar semasa pandemi. Idealnya tidak ada hambatan karena tersedia jaringan internet, gawai, dan berbagai aplikasi belajar. Tapi sangat sedikit yang mengerti belajar daring dan berpengalaman. Jaringan internet pun tidak mencapai seluruh wilayah Negara yang sangat luas. Tidak semua siswa memiliki gawai yang memadai.

- Advertisement -

Maka belajar di rumah memang jalan dalam keterbatasan, termasuk pemahaman guru yang benar terhadap belajar secara daring. Belajar asal jalan dengan memanfaatkan jaringan komunikasi WAG. Guru membentuk grup.

Lewat grup ini guru “mengajar” dan siswa “belajar”. Kegiatan pokok adalah “mengirim tugas dengan petunjuk kerjakan halaman …”, “buat video anu”.

Siswa SMA/SMK, SMP, SD kelas V dan VI tentu bisa “belajar” lewat WAG tanpa campur tangan orang tua. Pada siswa SD kelas rendah yang belajar bukan anak-anak tetapi orang tua. Orang tua merasa berat mendapat tugas tambahan “menjadi” anaknya. Inilah alasan mengapa banyak orang tua ingin agar sekolah cepat buka. Guru-guru di satu sekolah terkadang tidak koordinasi mengirim tugas sehingga pada hari tertentu menumpuk. Orang tua sering tidak paham maksud tugas guru karena tiada penjelasan.

Belajar daring tidak sama dengan belajar lewat WAG. WAG bukan komunikasi pembelajaran. Komunikasi pembelajaran bukan sekadar mengirim tugas dan menunggu tugas kembali. Komunikasi pembelajaran sudah memiliki pakem yang baku. Guru tidak sembarang memulai kelas karena kelas diawali dengan salam, pemeriksaan kesiapan siswa, dan membuka pembelajaran dengan komunikasi khusus namun fungsional. Selanjutnya adalah komunikasi pada inti pembelajaran yang merupakan kegiatan pokok.

- Advertisement -

Komunikasi pembelajaran diakhiri dengan penutup yang biasanya berisi rfleksi atau pengulangan cepat seluruh proses pembelajaran. Tujuan penutup adalah untuk mengingat kembali keseluruhan peristiwa belajar dan materi yang telah dipelajari sehingga pada diri siswa terjadi internalisasi pengetahuan, sikap, dan psikomotor.

Komunikasi pembelajaran dalam WAG sama sekali bukan komunikasi pembelajaran yang berdasar pada pedagogi. Komunikasi WAG adalah komunikasi umum, sebagaimana terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tanpa ada hal-hal yang spesifik. Karena itu, komunikasi WAG tidak banyak membantu siswa selain hanya menginformasikan suatu hal, misalnya meminta siswa mengerjakan tugas atau menjadi saluran guru mengirim materi tugas kepada siswa dan sebaliknya.

Belajar “daring” ala WAG adalah belajar tanpa penjelasan guru atau pemahaman siswa. Belajar via WAG hanya menjejali siswa dengan tugas-tugas. Skor tugas dijadikan nilai rapor oleh guru untuk memenuhi administrasi belajar. Jadi nilai-nilai pedagogi tidak ada dalam WAG.

Belajar daring adalah belajar yang terencana, terjadwal, alokasi waktu jelas, sebagaimana pada tatap muka. Belajar daring menggunakan salah satu aplikasi belajar. Siswa mengikuti suatu kelas dari rumah melalui jaringan internet. Siswa memasuki kelas virtual sesuai dengan aplikasi atau flatform yang digunakan guru. Di dalam kelas ini siswa membaca materi pelajaran, mengerjakan tugas, menjawab kuis, menyimak video, berdiskusi dengan teman-temannya, bertanya kepada guru, menanggapi guru, berpendapat, melakukan presentasi, dan lain-lain.

Belajar daring tidak terikat waktu. Siswa bisa masuk kelas sesuai dengan pilihan waktu yang disediakan guru. Namun demikian jam “tatap muka” dalam jaringan sudah ditentukan (walaupun secara fleksibel). Pada satu sesi belajar siswa harus berada di dalam kelas virtual melakukan beberapa kegiatan belajar, misalnya membaca untuk memahami materi, berdiskusi, dan menjawab kuis. Setelah itu siswa keluar kelas atau beralih ke kelas pelajaran lain.

Semua proses belajar daring telah direkam oleh sistem aplikasi pembelajaran yang digunakan, misalnya terlihat dengan jelas materi pelajaran apa saja yang sudah disiapkan, skor yang diperoleh siswa, siswa mana yang belum mengerjakan tugas atau menjawab kuis. Rekaman ini tersimpan dengan baik dan bisa dijadikan bukti pelaksanaaan kegiatan belajar serta terakses secara daring. Setiap siswa juga memiliki dokumen belajar dalam satu mata pelajaran, seperti materi apa yang sudah dipelajari, tugas-tugas apa saja yang telah dikerjakan, pendapat-pendapat yang disampaikan dalam diskusi, hasil penilaian guru, dan lain-lain. Dengan demikian siswa bisa melihat kembali “jejak” belajarnya dan melakukan pengulangan atau pengayaan materi.

Belajar daring dengan aplikasi atau flatform pembelajaran tertentu adalah belajar secara mandiri dan sendiri karena siswa berada di rumah masing-masing, guru “hadir” dalam kata-kata tertulis atau dalam rekaman. Kegiatan belajar yang paling pokok dalam daring adalah membaca dan menulis. Semua materi dibaca dan dipahami sendiri oleh siswa. Lalu siswa menulis ringkasan materi. Siswa juga menjawab kuis. Di pihak lain guru juga demikian, membaca tugas siswa, member siswa komentar, bertanya sesuau kepada salah seorang siswa atau kepada seluruhnya. Semua kegiatan ini dilakukan secara tertulis.

Guru dengan teratur merencanakan dan merancang  materi, menyiapkan kuis, tugas untuk siswa. Bisa pula guru menyiapkan topik diskusi. Cara kerja guru sama dengan cara kerja ketika mengajar tatap muka. Beda mengajar daring hanya pada segi ketidakhadiran siswa dalam ruang dan waktu yang sama. Jadi belajar daring tidak sesederhana mengirim tugas lewat WAG. Dalam belajar daring kreativitas pedagogik guru tetap dibutuhkan. WAG membunuh kreativitas guru karena guru hanya kirim instruksi “kerjakan LKS halaman sekian” atau “kerjakan soal seperti dalam foto”. Selalu demikian!  

Pandemi memaksa semua sekolah dan guru melakukan belajar daring yang jauh sebelumnya telah sering digaungkan oleh pemerintah bahwa pembelajaran abad 21 berbasis pada teknologi. Pandemi membuka kenyataan yang sebenarnya bahwa sekolah dan guru tidak pernah siap beradaptasi dengan abad 21. Buktinya belajar daring hanya sebatas “flatform” WAG.

Untuk melegakan hati, ketimbang libur sama sekali, ya mungkin seperti pepatah “Tiada rotan akar pun jadi”. (***)

PENULIS : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts