Ketua Kompada, Ketut Ngurah Mahkota |FOTO : Yoga Sariada|
Singaraja, koranbuleleng.com| Komite Penyelamat Aset Desa Adat (Kompada) Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan meminta Pimpinan DPRD memfasilitasi penyelenggaraan paruman agung di Desa Adat Kubutambahan untuk memperjelas situasi pengelolaan tanah duwen pura setempat.
Keinginan itu disampaikan saat bertemu dengan Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna didampingi Pimpinan dan Anggota lainnya yakni Wakil Ketua DPRD Buleleng Ketut Susila Umbara, Wakil Ketua DPRD Gede Suradnya, dan Ketua Komisi I DPRD Buleleng Gede Odhy Busana di ruang gabungan komisi, Selasa 15 Desember 2020. Pertemuan juga dihadiri Bendesa Madya Majelis Desa Adat Buleleng Dewa Putu Budarsa serta Kepala Kantor Pertanahan Buleleng Komang Widana.
Ketua Kompada Ketut Ngurah Mahkota membeberkan sejumlah persoalan yang terjadi di Desa Adat Kubutambahan, terkait dengan pengelolaan tanah duwen pura. Salah satunya terkait dengan kejanggalan pengelolaan tanah duwen pura yang direncanakan akan dijadikan lokasi untuk pembangunan Bandar Udara (Bandara) baru di Bali Utara.
Salah satu kejanggalannya disebutnya adalah jika tanah duwen pura dikontrakkan dalam kurun waktu 30 tahun, sampai dengan waktu tidak terbatas. Dari kejanggalan itulah, Kompada menuntut agar segera dilakukan Paruman Agung oleh Prajuru Desa Adat Kubutambahan.
Terlebih lagi jika merujuk pada awig-awig Desa Adat Kubutambahan, paruman agung seharusnya dilaksanakan dua kali dalam setahun. Namun belakangan paruman tak pernah diselenggarakan lagi. Pihaknya sudah sempat menyurati kelian desa adat, namun tak ada jawaban.
“Kami mohon bantuan pada dewan agar bisa memfasilitasi untuk pelaksanaan paruman agung, bukan paruman desa linggih. Paruman ni dengan mengundang seluruh pengulu pura dadia. Karena ini menyangkut keselamatan tanah duwen pura. Apalagi ada kabar tanah yang akan dilelang bank,” kata Mahkota.
Ketut Ngurah Mahkota mengatakan, dalam paruman agung tersebut, krama desa ingin mendapatkan kejelasan tentang pengelolaan tanah duwen pura yang telah dikontrakkan. Apalagi dalam tujuh tahun kebelakang, surat perjanjian antara Kelian Desa Adat dan investor yang diminta tidak pernah diberikan kepada desa linggih. Menurutnya desa linggih sama sekali tidak pernah memberikan persetujuan jika tanah duwen pura dikontrakkan.
”Tidak ada keterbukaan sama sekali baik dengan desa linggih, desa negak, apalagi kepada masyarakat. Paruman desa linggih sudah setahun tidak dilakukan, apalagi paruman desa yang enam bulan,” terangnya.
Sementara itu Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna mengatakan, pihaknya hanya memediasi dan memfasilitasi apa yang menjadi aspirasi krama. Pihaknya sengaja menghadirkan Kantor Pertanahan dan MDA untuk saling memberi informasi. Sehingga seluruh pihak bisa mendapat informasi yang valid. Terkait permintaan pelaksanaan paruman, Supriatna mengaku akan melayangkan surat kepada tim yang dibentuk oleh Pemerintah.
“Pemkab sempat membentuk Tim Pembina dan Penanganan Permasalahan Desa Adat. Setahu saya tim ini belum dibubarkan. Kami akan surati tim ini untuk memberikan atensi terhadap permasalahan ini,” ujarnya.
Disisi lain, Bendesa Madya Majelis Desa Adat Buleleng Dewa Putu Budarsa menjelaskan jika sesuai dengan Peraturan daerah (Perda) Provinsi Bali nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat menyebutkan jika Paruman hendaknya dilaksanakan setiap enam bulan sekali.
Dewa Budarsa juga menyebut jika pengelolaan tanah duwen pura semestinya dimaksimalkan untuk kepentingan krama. Terkait permasalahan yang ada di Desa Adat Kubutambahan, Bpihaknya akan menyurati Kelian Desa Adat Kubutambahan Jro Pasek Ketut Warkadea untuk melaksanakan paruman agung. Apabila paruman tak juga dilaksanakan, maka pihak-pihak di internal desa adat dapat menyelenggarakan paruman.
“Kalau tidak dilaksanakan oleh kelian desa, prajuru dapat melaksanakan. Kalau prajuru tidak juga, bisa dilaksanakan oleh sabha desa dan kertha desa,” katanya. |RM|